Bismillahirrahmanirrahim,
Meskipun aku kini sudah dewasa, aku tetap menganggap diriku
bagian dari Garuda Keadilan (insyaAllah masih bisa menyandang status ini
mumpung belum menikah :D_). Karena sejatinya Garuda Keadilan adalah komunitas
anak-anak. Ya, anak-anak yang menuntut keadilan dari kedua orang tuanya yang
sering meninggalkan rumah dan sering membatalkan agenda akhir pekan dengan
alasan ada urusan. :D Becanda kog,
insyaAllah kalaupun ada urusan, itu adalah urusan dakwah, dan insyaAllah, kami akan
tetap menjaga husnudzon itu hingga menua nanti.
Masih teringat betul, dulu ketika tinggiku baru 120an, Abah
menggandengku ketika turun dari bis sekaligus sesekali menggendongku, bersama
orang ramai yang aku tak tahu darimana saja mereka berasal, namun mereka
berseragam senada denganku dan dengan Abah. Segerombolan anak-anak kecil yang
lain bersama orang tua mereka juga menuju titik yang sama, GBK, Gelora Bung
Karno.
Ah lucunya, dulu, ketika aku bisa mengibarkan bendera besar
yang dikibarkan juga oleh orang-orang dewasa di sekelilingku saat itu, rasanya
bangga turut serta memutihkan GBK. [2004]
Abah, Umi, garuda ini telah beranjak dewasa. Meskipun tahun
ini tak bisa mengulang kembali kenangan di GBK, tapi hari ini [25/3], aku
berangkat dengan tak lagi bergelayut, berangkat dengan tak lagi bermanja, namun
berangkat dengan penuh rasa bangga, bahwa garuda ini turut memutihkan Maguwo
Harjo, Yogyakarta. Cukup untuk membangkitkan kenangan bertahun-tahun lalu itu.
Terimakasih Umi, terimakasih Abah, telah mengantarkanku
hingga 17 tahun lamanya, menyandang nama Garuda, dengan euforia yang ada. Tapi
sekarang, umurku mendekati 21 tahun, tak layak hanya urun dalam euforia, seharusnya ada hal lebih yang bisa kulakukan.
Dan sejak berumur 18 tahun lalu, aku baru mengerti, apa tugas Sang Garuda, aku
baru menyadari kenapa aku disebut Garuda, aku baru bisa berfikir dan memantapkan
diri mampu menanggung segala resiko menjadi anak kader PKS.
Ya, semenjak masuk ke kampus, aku dipaksa mengerti, aku
dipaksa memahami tanpa banyak tanya. Walau sebenarnya aku benci dengan itu
semua. Tapi baru kusadari dan kurasakan hasil dan efeknya memasuki usia dewasa.
Tentang rasa benci.
Mungkin jika sejak bayi aku sudah bisa membenci, maka aku
membenci Abah dan Umi selama 17 tahun lamanya. Aku benci Abah dan Umi yang
mendidikku dengan cara keras, aku benci dengan peraturan-peraturan ketat, aku
benci harus menangis di hadapan teman-teman hanya karena dimarahi, terlebih dimarahi
karena urusan sepele.
Aku benci ketika pulang ke rumah tak ada makan siang
tersedia, karena Abah dan Umi belum pulang juga.
Aku benci ketika orang tua teman-temanku mengambil rapor dan
menanyai nilai dan rangking mereka, tapi Abah dan Umi tidak melakukannya.
Kemana Abah dan Umi(?!).
Aku benci ketika Umi lebih banyak mengurusi anak-anak orang,
daripada mengurusi anaknya sendiri, pergi pagi pulang sore, dan petangnya tak
ada waktu untuk kami.
Ampun, Bah, Mi, ampun, aku kini tau, tau sepenuhnya(!) :’)
Masa Memasuki Kampus.
Semenjak masuk kampus, aku bertemu orang-orang hebat, yang
menyadarkanku tentang dakwah ini. Kini, garuda ini kembali menyandang namanya
dengan bangga, Garuda Keadilan, dengan separuh kesadaran, di awal masuk kampus.
Sedangkan sekarang, (aku mantapkan kembali bahwa) aku mengerti dan memahami sepenuhnya,
ya(!), dengan sepenuh kesadaran.
Awalnya kupikir untuk apa menggelar nama Garuda di dada,
bahkan aku sempat membencinya, bukan lagi dikatakan sempat kalau sudah 17 tahun lamanya, tapi aku rasa itu benci yang
membabi buta.
Benciku salah,
Ya, benciku salah,
Di kala ada banyak mahasiswa tak mengetahui orientasi
hidupnya, berkat didikan Abah dan Umi 17 tahun ditempa, aku tak mengalami
kesulitan tentangnya, dengan bekal agama dan didikan keras yang kalian berikan
.
Di kala banyak teman-temanku diambilkan rapornya, dan
ditanya rangking berapa, Abah dan Umi memang tak menanyakannya, tapi entah
bagaimana kalian bisa tahu terlebih dulu sebelum aku berinisiatif memberi tau.
Rupanya kalian menggunakan cara-cara yang tak biasa untuk memberikan perhatian
ke anak-anaknya.
Persoal makan siang belum tersaji di meja, waktu di petang
hari yang bahkan tak bersisa, ampuni aku yang membenci kalian karenanya. Dulu
aku mengutuki diri ini kenapa menyandang nama Garuda, sejak awal masuk kampus
sudah harus ‘bekerja’ berat, ketika aku bertanya kenapa begitu kenapa yang lain
tidak, jawabannya selalu: suatu saat kau akan tau, atau mentok-mentok
jawabannya adalah: karena kau Garuda. Sejak saat itu aku mencoba tak banyak
bertanya, hanya menyimpan sisa-sisa benci dalam hati, dan mencoba terus
menunggu yang bernama ‘suatu saat’ itu tiba.
Sejak saat itu pula, aku merasakan usaha untuk sekedar memenuhi
makan pagi, makan siang, makan malam, dan segala kebutuhanku sendiri. Rupanya
tak gampang. Sering aku mencoba menahan lapar saat siang, dan kembali terkenang
ketika dulu makan siang tak tersajikan di meja makan. Sekarang aku sudah
belajar memaafkan. Ternyata menyiapkan makan siang ketika ‘kerja berat’ sedang
disandang bukanlah pekerjaan mudah. Kini aku yang merasakan pergi pagi pulang
petang. Lelah? Iya, tapi jika teringat Umi sudah melakukannya sejak dulu, aku
hanya mencoba menahan untuk tidak memukuli diri sendiri, dan mengutukinya
mengapa dulu sempat membenci. Seharusnya sekarang aku membenci diri sendiri.
Dulu tak jarang Abah harus pergi malam hari dalam jarak yang
jauh, dengan alasan liqo. Umi selalu menunggui untuk membuka kunci di malam
hari. Dulu aku juga membenci itu, kenapa harus malam hari, membuat khawatir
orang rumah saja, apa sih liqo’ sampai harus segitunya. Ampun Bah, Ihti minta
ampun. Kini aku sadar, betapa penting menjaga liqo’.
2014.
Dengan sadar, aku mengubah rasa benci itu sepenuhnya menjadi
CINTA. Kini (karena sekali lagi mumpung belum menikah) aku dengan bangga
menyandang kembali nama Garuda, Garuda Keadilan.
Aku memilih jalan ini, merasakan apa yang dulu (bahkan
sampai sekarang) Abah dan Umi rasakan, menjaga keistiqomahan dalam agama Islam.
Aku memilih jalan ini dengan sepenuh kesadaran, ya, kini aku sadar dengan
sepenuh kesadaran, aku memilihnya, bukan ikut-ikutan, dan bukan fanatisme
semata.
Aku tak ingin menjadi orang yang fanatis, maka aku memilih
karena aku berfikir. Aku memilih karena sekarang aku faham dan mengerti. Aku
memilih dengan segala konsekuensi tenaga, fikiran, dan hati.
Aku memilih jalan ini.
Dakwah ini berat, dakwah ini berkerikil, dakwah ini sesekali
berbau amis darah, dakwah ini sesekali dipenuhi cerca, dakwah ini tak jarang
dipandang sebelah mata, namun sudah kupenuhi hati ini dengan cinta. Pesan dari
salah satu orang tua Garuda Keadilan, “Tak usah sibuk memikirkan
gangguan-gangguan orang lain, tak usah sibuk memikirkan seberapa kuat musuh,
karena yang harus terus dipikirkan adalah Allah, yang harus senantiasa diingat
adalah Allah. Bergeraklah untuk dakwah ini dengan terus mengingat Allah, tak
usah diingat sudah kehilangan apa saja, bahkan kalau perlu tak usah khawatir
kehilangan diri kita sendiri, cukup ingat Allah saja.”
Sebegitukah besarnya beban dakwah ini hingga ada yang
mengatakan tak usah khawatir untuk kehilangan diri kita sendiri. Jawabannya:
sudah kurasakan sendiri. Pilihannya sekarang, bergerak dalam kemuliaan, atau
mati dalam kelelahan.
Garuda ini akan terbang bersama garuda-garuda yang lainnya
Bah, Mi, jazakumullahu khoir untuk didikannya selama ini. Selamat berjuang Umi,
kalau lah nanti terpilih menjadi anggota legislatif, kami akan mendukungmu
dengan sepenuh cinta, banyak yang membutuhkan pemikiran dan tenagamu, kami mengerti, kau harus
berjuang keras untuk dakwah ini. Kalaupun nantinya Allah belum merestuimu
menjadi Aleg, cinta kamipun tak akan berkurang. Abah adalah orang yang hebat di
balik segala kesederhanaan yang kau sandang. Aku mencintai kalian karena Allah,
Bah, Mi.
Garuda yang (beranjak) dewasa.
Ihtisyamah Zuhaidah
Baca juga: http://ihtisyamah.blogspot.com/2013/06/ibuku-guru-tk-itulah-ruang-jihadnya.html
Baca juga: http://ihtisyamah.blogspot.com/2013/06/ibuku-guru-tk-itulah-ruang-jihadnya.html
0 comments:
Posting Komentar