Kalau salah satu teman saya cerita, katanya ketika dia
menggunakan kata ‘gue’ dalam kalimatnya, itu artinya dia sedang memberikan
penekanan lebih, artinya dia sedang bicara serius, atau bisa dibilang sangat
serius.
Ya, kali ini saya serius. Salut!
Begini ceritanya...
08.46
Ini baru namanya pasar! Awesome! Kalau dulu aku pernah
menulis tentang “Mengapa Allah Membenci Pasar”, kini aku menemukan hal yang
bisa ku kagumi dari pasar.
Yaitu pengorbanan dan kerja keras.
Motor ku parkirkan, ditata oleh tukang parkir berseragam
orange. Pagi-pagi seperti ini si bapak sepertinya sudah sangat sibuk, banyak
motor yang harus ditata. Sepertinya tata pasarnya belum begitu settle, belum ada lahan parkir yang
cukup, jadi bapak ini harus bekerja lebih keras. Mulut bapak itu jarang
mengatup, or you can call it: mlongo.
Bukan, bukan mlongo karena keterbatasan mental, atau pikiran
kosong. Wajar, bagi pekerja keras seperti si bapak ini, ia akan sangat terbantu
dengan mulut yang terbuka, sebagai jalan nafas tambahan. Karena paru-parunya
memompa udara lebih cepat, karena gerak yang ia lakukan juga cepat, sehingga
membutuhkan udara lebih banyak pula. Seperti halnya atlet, ia sesekali bernafas
dengan mulutnya, untuk memasok oksigen lebih banyak ke darahnya.
Ia tak banyak bicara, bukan karena bisu, bukan karena tak
mampu berbahasa, tapi karena tangannya selalu sibuk bekerja. Kalaupun mulutnya
berbicara, bicaranya pun merupakan kerja. Seperti memasukkan motor yang baru
parkir, mengeluarkan motor yang telah selesai parkir, menanyai pemarkir akan
menuju ke arah mana, memutar posisi motor, kemudian berlari lagi menuju motor
lain, belum lagi jika ada motor lain pula yang datang sebelum motor sebelumnya
selesai diparkir. Begitu seterusnya. Kau tau betapa rumitnya?
Belum selesai pemandangan itu, dan belum selesai juga pikiran-pikiran
salutku pada pak tukang parkir, aku harus segera bergegas karena parkiran
penuh, aku harus memberi space pada
orang lain.
Baiklah, aku menuju ke dalam pasar. Dan aku melebarkan mata,
meregangkan alis, dan terpesona seperti seorang ratu yang berhasil menemukan
putera mahkotanya yang lama hilang #huek. Excited. Aku membayangkan seisi pasar
berada pada kondisi slow motion. Lalu lalang para pembeli dan kesibukan para
penjual menjadi panggung pertunjukkan yang menarik untuk dilihat di setiap
sisinya.
Penjual klitikan duduk berdiam dengan mulut yang sibuk
mengunyah makanan, membiarkan para calon pembeli memilah dan memilih
dagangannya. Ia paham sangat, tak setiap calon pembeli akan membeli dagangannya,
banyak yang hanya melihat-lihat dan berkomentar, “Ah yang ini kurang bagus, gag
jadi beli aja.”
Lain sisi, di kiri gang pasar, penjual jajanan pasar sibuk
mengusir lalat dari atas jajan-jajan tradisionalnya yang berwarna warni.
Sembari menanyakan kepada pembeli, “Yang lain lagi mbak? Ada onde-onde, klepon,
atau lumpia ini... ini mbak, atau cucur.” Dan mengakhiri usahanya merayu
pembeli jika pembeli gagal dirayu dengan mengatakan, “Oh ya, semuanya sepuluh
ribu mbak.” Namun tak pantang menyerah, ia masih mencoba lagi, “Yang ini juga
enak lho mbak.” Dan hanya dibalas senyum oleh para pembelinya, atau kemungkinan
terburuk adalah ditinggal pergi begitu saja, masih untung jika ada yang
membalas, “Sampun bu, cekap (sudah bu, cukup)”
Suara penjual jajanan pasar tak membuatku cukup fokus, ada
hal lain yang lebih menarik, dan memang menjadi tujuan utamaku. Penjual daging
ayam potong.
Bayangkan, dalam satu lokal, yang hanya berjarak 1 meter
satu sama lain, bahkan kurang, ada begitu banyak barang dagangan yang beraneka
rupa, karena masih pagi, kau tak akan begitu merasakan baunya bercampur. Ah
sayang sekali ya :D
Tapi ini luar biasa, kalung, gelang, aksesoris, berjajar
dengan jajanan pasar, berjajar pula dengan daging ayam potong, berjajar pula
dengan sepatu sandal dan tas, lalu berjajar di sebelahnya kelopak-kelopak mawar
berbau semerbak untuk nyekar (menabur
bunga di kuburan), tak kalah juga buah berbau harum seperti sirsak, apel,
berjejal juga di dalamnya baju celana rok, aku mengakhiri pandangan slow motion
ku, dan tersenyum. “Ih wow! Keren!” :D
Sampai tiba pada saat aku berhadapan langsung dengan ibu
penjual daging potong. Ya Allah, apa yang
harus aku katakan pertama kali. Ohya, tanya harga, “Berapa bu satu
kilonya,” mungkin kau bingung kenapa aku bingung menentukan kata pertama.
Bukan, bukan karena aku tak pernah ke pasar dan gagap dengan
hal seperti itu. Tapi aku berpikir, Tuhan,
kalau Kau jadikan aku ada di posisi mereka, aku tak akan sanggup sepertinya.
Ibuk penjual daging potong itu menggunakan baju panjang, seperti
daster, dengan kerudung kecil menutupi bagian kepalanya yang menjadi aurat, dan
menggunakan celemek yang sudah kotor terkena darah dan cipratan ayam potongnya,
yang sepertinya bukan hanya darah hari ini saja, tapi sepertinya celemek itu
sudah lama dipakai menemaninya bertahun-tahun berjualan, karena darah hari-hari
sebelumnya berbekas dan membuat celemek itu terlihat sangat lusuh, mungkin
sudah dicuci berkali-kali.
“Dua puluh lima ribu mbak,” Tuhan kata apa yang selanjutnya harus aku ucapkan, “Dua Puluh Lima
sudah tidak bisa kurang ya Buk?” Dalam hati aku mengutuki diriku, “Berani beraninya kau menawar Ih!”
Si Ibuk hanya menjawab, “Seharusnya dua puluh enam mbak,”.
Aku tak akan memikirkan kata apa lagi yang harus kuucap. “Ohya bu, satu setengah
kilo ya Buk.”
Sembari ibuk itu memotong-motong daging pesananku, aku hanya
memperhatikan sekelilingnya, “Maaf ya aku tak sarapan duluan, sendirian ini,”
kata seorang perempuan sebaya di sampingnya yang duduk tak begitu jauh, kulihat
tempat nasi itu berisi nasi putih dan lauk beberapa potong, dan sayur gori (nangka).
“Iya, duluan aja gag papa buk.” Kata si Ibuk dan teman satu
lagi di sampingnya. Ibuk yang duduk itu makan dengan lahap.
Allahuakbar. Ya Allah,
gue pengen meledak! Gue balik lagi dengan pandangan slow motion. Apa yang terjadi
dengan dunia gue?! Kemana aja gue selama
ini? Hidup dimana gue? Hidup di buminya siapa? Kemana syukur gue selama ini?
Selama ini gue banyak
mengeluh ini itu, mengumpat diri sendiri seolah ujian paling berat di dunia ini
Tuhan limpahin ke gue semuanya. Gila ya, ada orang-orang kayak si ibuk-ibuk ini
yang sabar banget ngadepin idup. Gue gag ngebayangin kayak apa anak-anaknya di
rumah, yang minta dihidupi disekolahin, dicukupin kebutuhannya. Gue salut! Ok
stop slow motion nya.
Ibuk penjual daging potong ini sangat cekatan dengan pisau
besarnya. Sebuah koyo persegi berwarna putih menempel di dagunya, sepertinya
ibuk ini sedang sakit gigi, tak peduli dengan sakitnya itu ia terus melanjutkan
memotong daging di meja kecilnya yang hanya sepetak. Aku tak ingin lagi menawar
harga, biarlah kumakan ayamnya, dan ibuknya mengambil untung dari penjualan
ayam itu. Aku kembali melihat sekeliling.
Tuhan, kalo gue
dilahirin jadi anaknya, mau gimana gue? Bisa apa gue? Gue jadi mulai kepikiran,
sebenernya sebagai siapa lo dilahirin, itu adalah keberuntungan doang.
Beruntung lo dilahirin dengan keadaan orang tua berkecukupan. Atau sekarang
pilihannya, kalo elo dilahirin jadi ibuk penjual daging potong itu, lo bisa
apa?
Ternyata hidup gue
selama ini payah!
Kemana syukur gueeee?
Dikit aja cobaan gampang ngeluh. Payah!
Aku salut buk, aku salut
dengan apa yang ibuk lakukan, bertahan dan terus bekerja keras dalam keadaan
sesempit apapun, tak peduli berjejal dengan penjual lain, tak peduli harus
sakit-sakitan dan tetap menjalankan usaha.
Salut!
Tak hanya pada si
ibuk, tapi juga pada teman-temannya, yang mensyukuri makanan yang dimakannya,
yang senang dengan apa yang dimakannya, yang tak sungkan berbagi dalam
kesempitan. Pada orang-orang di pasar yang bekerja keras tangan daripada mulut.
Buk, Pak, semoga
anak-anak bapak dan ibuk jadi orang-orang yang hebat kelak, dan tetap berbakti
pada kalian, hingga ketika kalian tua nanti, tak usah lagi bekerja, biarkan
mereka yang membalas jasa.
Begitupun dengan gue,
semoga gue bisa segera membuat orang tua gue rehat, gag usah kerja, biar gue
yang kerja.
09.25
Aku mulai menuliskan cerita di atas. Dan mengambil
pelajaran, aku bersyukur dengan apa yang aku punya sekarang, bahagia dan indah
rasanya, dan berpesan pada adek-adekku di rumah, “Makan ayamnya dihabisin ya,
kasian yang capek motong-motong.
Sekian. Maaf kali ini aku mengutip bahasamu bercerrita
(“Gue”) dalam cerita kali ini, Dek.
Dedicated for: Adek Tri Nurhayati, dan Ibuk Penjual daging
potong.
3 comments:
Keren (y)
Ini di Cilacap? Mungkin cerita tentang tukang parkir akan berubah kalo liat pasar di tempat saya hehe
Over all tulisan kamu keren haha
emang pasar di Kalimantan semacam apa?
Ribet.. Kepanjangan kalo ditulis, takut ndak salah tangkep.
Posting Komentar