16 Oktober 2015
Hari
ini, saya mendapati kisah yang luar biasa dari adik-adik saya persoal
sertifikasi AB1. Cerita ini adalah cerita mengharukan di pagi hari saya di hari ini.
Saya bangga memiliki adik-adik seperti mereka.
Ceritanya,
pagi-pagi saya membuat pesan broadcast ke peserta sertifikasi yang telah
mendaftarkan diri untuk mengikuti DM2. Pesannya adalah pesan seperti biasanya, hanya mengingatkan tentang sertifikasi. Selain itu saya juga mengingatkan tentang
proses pendaftaran DM2, dimana ada beberapa tugas yang harus dipenuhi agar
dapat dinyatakan lolos sebagai peserta DM2. Jadi ada 2 (dua) hal yang harus
dilewati oleh seorang kader AB1 (Anggota Biasa 1) KAMMI untuk bisa mengikuti DM2,
yaitu (1) sertifikasi (2) tugas-tugas dari KAMMDA penyelenggara DM2.
Namun
di UNY agak unik. Proses sertifikasi adalah proses yang sangat sakral. Proses
yang sangat sangat dihormati oleh seluruh kadernya, dan tidak jarang proses
sertifikasi ini akhirnya menjadi momok. Pasalnya, proses sertifikasi AB1 di UNY
mengharuskan kadernya melewati 2 (dua) tahap, yang pertama adalah sertifikasi
tulis, yang kedua adalah sertifikasi wawancara. Setelah sertifikasi tulis
selesai, baru kader dapat lanjut ke sertifikasi wawancara.
Maka
dari itu, proses sertifikasi adalah proses yang panjang, dan membutuhkan effort yang lebih untuk dapat dinyatakan
lulus sertifikasi. Nanti akan saya jelaskan tentang uniknya sertifikasi, kali
ini akan saya ceritakan kisah haru yang saya dapati pagi ini.
Melihat
para kader yang mendaftar sertifikasi bekerja keras menjalani sertifikasi periode ini, dan setelah sekian lama sertifikasi berlangsung (bukan waktu yang
sedikit), sekarang ini saya sudah sampai pada tahap “merasa kasihan” kepada
mereka. Saya tahu persis bahwa mereka yang menjalani proses sertifikasi
bukanlah orang-orang yang punya banyak waktu luang. Saya menjadi salah satu
saksi proses sertifikasi yang mereka jalani, saksi kerja keras mereka, saksi
pemenuhan komitmen dan tanggungjawab mereka. Mereka membaca buku dan membuat resume nya. Mereka harus rela melakukan wawancara di tengah-tengah kesibukan mereka, mengatur ulang kembali jadwal, menyesuaikan dengan jadwal tester. Sering pula mereka rela melakukan sertifikasi hingga tengah malam, pukul 24.00 (ikhwan).
Di
dalam manhaj kaderisasi, departemen kaderisasi memiliki hak untuk dapat
melakukan “percepatan” kader jika dirasa perlu. Pun dalam hal sertifikasi. Tim
kaderisasi diperbolehkan melakukan kebijakan khusus untuk meluluskan
kader-kadernya dari proses sertifikasi, dengan beberapa catatan. Saya pikir
sudah saatnya saya menggunakan kebijakan khusus tersebut. UNY sedang memiliki
banyak “pekerjaan”, karena momen sekarang ini adalah momentum mahasiswa baru memasuki
kampus, ada banyak agenda yang dikerjakan, dan peserta sertifikasi kali ini adalah
mereka-mereka yang menjadi “pekerja” nya. Maka dari itu mereka pasti sangat
sibuk dan kelelahan. Ya, ini saatnya menggunakan hak istimewa, pikir saya.
Lalu
saya tawarkan kepada adik-adik saya, peserta sertifikasi. “Khusus untuk antum,
antum diperbolehkan untuk fokus menggarap penugasan DM2.” Hal itu saya lakukan
karena penugasan menuju DM2 sangat banyak dan tidak mudah. Tentu langkah itu diambil dengan beberapa
pertimbangan dan perhitungan. Dengan hak istimewa ini mereka bisa langsung fokus pada pengerjaan tugas
DM2 Sleman. Pesannya masih saya lanjutkan, “Pada tahap ini antum bisa
‘menomorduakan’ sertifikasi, tim kaderisasi akan mengusahakan jalan tol untuk
antum.” Saya kira ini menjadi kabar gembira bagi mereka, saya lanjutkan
kembali, “Namun, jika masih mau lanjut sertifikasi sangat tidak apa-apa.”
Hal
ini yang membuat saya terharu, saya memberikan pesan tersebut melalui PM
(Private Massage), artinya tidak ada koordinasi di antara mereka. Namun, mereka serentak memberikan jawaban yang sama,
meskipun dengan redaksi yang berbeda. Begini jawaban mereka, “InsyaAllah
sembari lanjut (sertifikasi) ya mbak, dibarengi dengan ikhtiar.” Jawaban adik saya yang lain,
“Tinggal 3 (tester) kog mbak, sante aja.”, Lalu jawaban satu adik lagi, “Hahah…
Jangan memanjakan saya… Anak e tentara kog dialem.” Mereka seluruhnya memutuskan untuk melanjutkan sertifikasi sembari mengerjakan tugas DM2. Artinya mereka memilih level kesulitan yang lebih tinggi dari sebelumnya.
Ya
Allah Ya Rabb, di tengah-tengah kepenatan saya, saya pernah berdo’a agar Allah
memberikan kabar gembira kepada saya. Apapun kabar tersebut. Untuk mengendorkan
urat-urat syaraf yang sedang tegang. Dan ini adalah kabar gembira yang membuat saya bernafas lebih lega dari sebelumnya. Mendengar jawaban mereka, saya menjadi sadar, bahwa saya telah
merendahkan mereka. Ternyata mereka telah dewasa, mereka memilih pilihan
mereka dengan penuh tanggung jawab. Proses panjang sertifikasi tidak mematahkan semangat mereka. Saya sempat heran, dan bertanya-tanya, bahan bakar semangat apa yang mereka gunakan. Saya senang melihat adik-adik saya bersemangat. Mereka akan naik jenjang menjadi AB2 dengan kapasitas yang dapat dipertanggungjawabkan. Salut kepada mereka.
'Beban' itu bukan beban yang ringan. Beberapa orang kalang kabut dan collapse menjalani
sertifikasi. Namun mereka, membuat saya terharu dengan kerja keras dan
ketulusannya.
Proses
sertifikasi semacam ini memang bukan sekedar bertujuan untuk mengetes tasqofah
(pengetahuan) dan kemampuan teoritis kader saja, tapi sekaligus menguji
jiddiyah kader, untuk menciptakan kader yang qowiy dan “tahan banting”.
Uniknya sertifikasi AB1 di UNY.
Ini uniknya.
Ketika saya mengkomparasikan proses sertifikasi di UNY dengan kampus lain,
sertifikasi di UNY terbilang unik dan “menggemaskan” bagi para kadernya. Alasannya, karena sertifikasi wawancara mengharuskan kader menemui beberapa “tester
bidang” untuk dapat lulus sertifikasi. Sedangkan di kampus lain, cukup
wawancara dengan 1 (satu) tester saja untuk dapat lulus sertifikasi.
Ada 7 tester bidang. Agar dapat lulus sertifikasi maka harus menemui 7
tester tersebut satu per satu, menyesuaikan jadwal tester. Jika dihitung, maka
seorang kader minimal harus melakukan 7 kali pertemuan mendebarkan untuk
melakukan sertifikasi wawancara. Ternyata tidak cukup di sana, jika ada tester
yang merasa bahwa wawancara belum bisa dilanjutkan di pertemuan pertama karena
di rasa pengetahuan peserta sertifikasi masih kurang tentang bab sertifikasinya, maka kader
tersebut harus datang di pertemuan ke-dua.
Jika seluruh tester memberlakukan cara semacam itu, maka terhitung satu
orang kader harus melakukan 14 kali pertemuan. Antara terharu, ingin tertawa, dan kasihan, namun sangat bangga dengan kader-kader yang bisa melewatinya.
Telebih, saya
bangga memiliki adik-adik semacam mereka. Barakallah adik-adik. :) bertumbuhlah
dewasa dan berkapasitas, dan yang paling penting bermanfaat untuk lingkungan
sekitar sebanyak-banyaknya. Selamat berjuang. Fii sabilillah. Panggil saya jika
kalian tidak menemukan saya di surga nanti ya.... Selamat berjuang fii sabilillah.
0 comments:
Posting Komentar