07.00
Berangkat dari Jogjakarta menuju Purbalingga.
Tapi salah niat :D Karena sedang dalam keadaan lelah yang sangat, aku meniatkan untuk tidur dan beristirahat di mobil. Dan benar! Niat terlaksana. Sepanjang perjalanan, dari Jogja Purbalingga, dan Purbalingga Kebumen aku tidur!
19.00
Berpamitan dari Kebumen, sekolah politik dimulai, Pemateri sekolah politik semalam di mobil petualangan ini adalah Alfian Ramadani dan Triyanto 'Mekel' Puspito Nugroho. Tak menyangka, sekolah politik di sepanjang perjalanan ini berlangsung singkat namun mengena, semenjak 19.30 sampai 23.30
Berawal dari peran eksekutif dan legislatif di kampus, komentar yang membuat saya malu adalah, "Kamu itu gag perlu repot Ihti, jangan buat yang gampang jadi susah... Gitu aja kog repot..." Kata para aktivis masyarakat itu.
Kemudian bullying demi bullying terlontar... Menyalahkan satu sama lain, berakhir dengan senyum bahagia. Kata mas Alfian, "Kalau ada yang bisa disalahkan, kenapa harus kamu yang salah," kalimat itu tenang tapi mematikan kami seisi mobil. :D
Pembahasan berlanjut, kadang serius sampai panas, dan kadang meledak tergelitik lelucon-lelucon yang dilontarkan mas Mekel.
Dari masalah politik sampai masalah pembangunan perkotaan, dari masalah kampus sampai adat istiadat masyarakat, dari kalimat-kalimat sederhana hingga kalimat-kalimat langit yang entah apa maknanya.
Satu yang ingin saya bahas karena menarik adalah mengenai kehidupan orang-orang perkotaan.
"Kota yang indah (bahagia) adalah kota yang orang-orangnya banyak di luar rumah, Ihti." Kata mas Mekel yang sedang sakit gigi.
"Kog bisa mas?"
"Ya,"
Mas Mekel menjelaskan panjang lebar,
"Lihat. Sekarang, apa yang membuat banyak sekali orang di titik nol KM ini? (kebetulan sudah sampai di Jogja). Tidak ada apa-apa di Nol KM, tapi banyak orang berkumpul di sana, dan merasakan bahagia."
"Bahagia darimana mas?"
"Oh, apa mau berhenti di sini, nyoba nongkrong di sini?"
Seisi mobil tertawa.
"Itu lihat, anak-anak nyebrang aja sambil ketawa-ketawa."
"Iya ya... Tapi kan mereka beraktivitas sendiri-sendiri mas, berkelompok-kelompok, gag saling membaur. Individualisme nya besar banget."
"Iya kita sedang membicarakan perkotaan Ihti, bukan pedesaan. Itu makanya, ada kebijakan di setiap 1 (satu) kelurahan harus ada minimal 1 (satu) ruang publik, supaya masyarakat perkotaan bisa berkumpul. Itu baru kota yang baik," penjelasan dari Mas Mekel.
Mas Alfian Menyambung, "Iya itu yang dilakukan Ridwan Kamil. Dengan membangun banyak ruang publik di Bandung."
Mas Mekel ndagel, "Iya, itu Ridwan Kamil udah tak bisiki sebelumnya haha..."
Mas Mekel melanjutkan, "Ruang Publik itu dibutuhkan masyarakat perkotaan supaya masyarakatnya bisa bertukar sapa satu sama lain, supaya mereka keluar dari rumah-rumah mereka. Itu mengapa kota yang indah adalah yang banyak orang-orangnya di luar rumah."
Sekolah politik semalam ini berakhir dengan pertanyaan, "Mas, kayaknya aku merasakan ada missing link di Indonesia soal peran ulama. Dulu, ulama berperan besar di masyarakat, bahkan tatanan negara. Nama ulama mengudara. Tapi sekarang bahkan tak ada bekasnya. Bener kah?"
"Ya itu, sejarah itu tergantung Penguasa. Penguasa itu berhak menuliskan sejarah. Sedangkan orang kecil tak berhak menentukan cara dia mati -smoker one peace- haha.
Dulu perjuangan bangsa Indonesia itu banyak diwarnai oleh para Ulama. Ulama yang menggerakkan masyarakat untuk menentang penjajah. Mereka yang berkoar-koar dan menyemangati bangsa ini untuk berjuang mempertahankan tanah air, karena para penjajah itu musyrik, dan tak bisa kita membiarkan orang-orang musyrik mengobrak-abrik negara ini."
"Masalahnya penulis sejarah adalah penguasa. Dulu kenapa tanggal 28 Oktober bisa dijadikan hari sumpah pemuda itu karena ada Muh.Yamin di sana. Muh.Yamin adalah menteri saat itu."
"Berarti Indonesia ini sekuler ya mas... membedakan antara urusan agama dengan urusan agama. Seperti yang terjadi di luar negeri."
"Haha, sebenernya bisa jadi kita juga sekuler lho Ihti, sekarang kamu menganggap kamu di BEM itu sedang beribadah atau gag?"
"Nah itu mas gkgkgk, kadang bertanya-tanya dengan itu."
"Itu, kadang saya juga berpikir, kita ini menuduh orang lain sekuler sedangkan kita sendiri menjadi pelaksana sekulerisasi... haha."
-Berakhir-
Berangkat dari Jogjakarta menuju Purbalingga.
Tapi salah niat :D Karena sedang dalam keadaan lelah yang sangat, aku meniatkan untuk tidur dan beristirahat di mobil. Dan benar! Niat terlaksana. Sepanjang perjalanan, dari Jogja Purbalingga, dan Purbalingga Kebumen aku tidur!
19.00
Berpamitan dari Kebumen, sekolah politik dimulai, Pemateri sekolah politik semalam di mobil petualangan ini adalah Alfian Ramadani dan Triyanto 'Mekel' Puspito Nugroho. Tak menyangka, sekolah politik di sepanjang perjalanan ini berlangsung singkat namun mengena, semenjak 19.30 sampai 23.30
Berawal dari peran eksekutif dan legislatif di kampus, komentar yang membuat saya malu adalah, "Kamu itu gag perlu repot Ihti, jangan buat yang gampang jadi susah... Gitu aja kog repot..." Kata para aktivis masyarakat itu.
Kemudian bullying demi bullying terlontar... Menyalahkan satu sama lain, berakhir dengan senyum bahagia. Kata mas Alfian, "Kalau ada yang bisa disalahkan, kenapa harus kamu yang salah," kalimat itu tenang tapi mematikan kami seisi mobil. :D
Pembahasan berlanjut, kadang serius sampai panas, dan kadang meledak tergelitik lelucon-lelucon yang dilontarkan mas Mekel.
Dari masalah politik sampai masalah pembangunan perkotaan, dari masalah kampus sampai adat istiadat masyarakat, dari kalimat-kalimat sederhana hingga kalimat-kalimat langit yang entah apa maknanya.
Satu yang ingin saya bahas karena menarik adalah mengenai kehidupan orang-orang perkotaan.
"Kota yang indah (bahagia) adalah kota yang orang-orangnya banyak di luar rumah, Ihti." Kata mas Mekel yang sedang sakit gigi.
"Kog bisa mas?"
"Ya,"
Mas Mekel menjelaskan panjang lebar,
"Lihat. Sekarang, apa yang membuat banyak sekali orang di titik nol KM ini? (kebetulan sudah sampai di Jogja). Tidak ada apa-apa di Nol KM, tapi banyak orang berkumpul di sana, dan merasakan bahagia."
"Bahagia darimana mas?"
"Oh, apa mau berhenti di sini, nyoba nongkrong di sini?"
Seisi mobil tertawa.
"Itu lihat, anak-anak nyebrang aja sambil ketawa-ketawa."
"Iya ya... Tapi kan mereka beraktivitas sendiri-sendiri mas, berkelompok-kelompok, gag saling membaur. Individualisme nya besar banget."
"Iya kita sedang membicarakan perkotaan Ihti, bukan pedesaan. Itu makanya, ada kebijakan di setiap 1 (satu) kelurahan harus ada minimal 1 (satu) ruang publik, supaya masyarakat perkotaan bisa berkumpul. Itu baru kota yang baik," penjelasan dari Mas Mekel.
Mas Alfian Menyambung, "Iya itu yang dilakukan Ridwan Kamil. Dengan membangun banyak ruang publik di Bandung."
Mas Mekel ndagel, "Iya, itu Ridwan Kamil udah tak bisiki sebelumnya haha..."
Mas Mekel melanjutkan, "Ruang Publik itu dibutuhkan masyarakat perkotaan supaya masyarakatnya bisa bertukar sapa satu sama lain, supaya mereka keluar dari rumah-rumah mereka. Itu mengapa kota yang indah adalah yang banyak orang-orangnya di luar rumah."
Sekolah politik semalam ini berakhir dengan pertanyaan, "Mas, kayaknya aku merasakan ada missing link di Indonesia soal peran ulama. Dulu, ulama berperan besar di masyarakat, bahkan tatanan negara. Nama ulama mengudara. Tapi sekarang bahkan tak ada bekasnya. Bener kah?"
"Ya itu, sejarah itu tergantung Penguasa. Penguasa itu berhak menuliskan sejarah. Sedangkan orang kecil tak berhak menentukan cara dia mati -smoker one peace- haha.
Dulu perjuangan bangsa Indonesia itu banyak diwarnai oleh para Ulama. Ulama yang menggerakkan masyarakat untuk menentang penjajah. Mereka yang berkoar-koar dan menyemangati bangsa ini untuk berjuang mempertahankan tanah air, karena para penjajah itu musyrik, dan tak bisa kita membiarkan orang-orang musyrik mengobrak-abrik negara ini."
"Masalahnya penulis sejarah adalah penguasa. Dulu kenapa tanggal 28 Oktober bisa dijadikan hari sumpah pemuda itu karena ada Muh.Yamin di sana. Muh.Yamin adalah menteri saat itu."
"Berarti Indonesia ini sekuler ya mas... membedakan antara urusan agama dengan urusan agama. Seperti yang terjadi di luar negeri."
"Haha, sebenernya bisa jadi kita juga sekuler lho Ihti, sekarang kamu menganggap kamu di BEM itu sedang beribadah atau gag?"
"Nah itu mas gkgkgk, kadang bertanya-tanya dengan itu."
"Itu, kadang saya juga berpikir, kita ini menuduh orang lain sekuler sedangkan kita sendiri menjadi pelaksana sekulerisasi... haha."
-Berakhir-
0 comments:
Posting Komentar