Senin, 06 Januari 2014

"Kakak" -Romantisme Menjadi Tua-

Sebutan ini akan lebih lazim ketika diubah menjadi mbak dan mas. Karena mbak dan mas menjadi lebih familiar di telingaku.

Menjadi tua itu ternyata tak sepenuhnya tentang kabar buruk -tentang kulit yang akan mulai mengeriput- atau -tentang ingatan yang akan menjadi pelupa- atau -tentang tenaga yang tak sekuat dulunya- menjadi tua adalah romantisme tersendiri buat saya.

Dipanggil kakak (red: mbak).

Aku punya banyak 'adik' sekarang. Entah darimana mereka didatangkan, tau-tau mereka melendot, bermanja, berteriak, menyapa, marah, ngambek, melucu, merangkul, mengagetkan dari belakang, memelas, merengek, menangis. Hei! Aku tak pernah diperlakukan seperti ini sebelumnya.

Canggung.

Ya, jelas. Aku yang biasanya melakukan semua itu. Semua aktivitas "me-" dan "ber-" di atas, akulah yang melakukannya. Aku melakukannya pada "kakak"-ku.

Apa ini artinya aku sekarang adalah seorang kakak? Aku kakak :')

Romantis.

Bagiku cengkerama antara kakak dan adik adalah romantisme tersendiri. Seolah dunia berubah mengecil, ya, dari dunia yang semula seperti milikku sendiri, sekarang aku harus mulai belajar membagi dunia itu untukku berikan pada orang lain, "Inilah dunia, adikku," lalu kuberikan sebagian duniaku... Mengecil bukan berarti mengurangi kebahagiaan, sudah kubilang ini romantis. Bayangkan ketika kau terbiasa menikmati rumah yang sangat besar, lalu ada orang yang -entah bagaimana- kau (menjadi) sayang, bukankah rumah itu kini menjadi hangat? Dan kuyakin kau tak akan menyesal dengan rumahmu yang semakin menyempit.

Romantisme itu menjalar dan tak tentu di hati, bergejolak, ah nano nano rasanya. Cinta yang ku punya tak seberapa, namun aku harus belajar berbagi. Bercanda, tertawa, itu sudah biasa, lalu bagaimana dengan pertengkaran, tangisan, omelan, justru itu semua yang menguatkan, meski ketiganya tidak kuharapkan.

Namun menjadi kakak itu luar biasa. Terkadang kau tak perlu banyak dan boros mengeluarkan kata, cukup hadir dan menyapa, cukup datang dan mendengar :D betapa lucunya mereka, melihat dan mendengar mereka seperti menengok masa lalu, ketika bermanja, dan kadang aku bertanya, lalu sekarang aku harus bermanja pada siapa?

Itulah yang kurasakan, kini duniaku tak hanya berisi aku seorang, aku berbagi dengan banyak orang sekarang, dan aku semakin mengerti dunia tak ada apa-apanya tanpa "mereka" yang menyebutku kakak.

Maaf ya, jika aku tak ingin mengakhiri semua ini. Tak ingin mengakhiri romantisme ini.

Ah hanya saja,

aku tetaplah memiliki keterbatasan, setiap sungai memiliki ikannya sendiri, setiap sifat ada kecocokannya tersendiri. Jika aku jadi sungai, aku ingin bisa menjadi tempat bagi seluruh ikan, tapi tak seluruhnya cocok dengan airku. Aku menjadi kakak pun ingin bisa menjadi kakak semua adik, tapi tak semuanya cocok dengan perangaiku.

Jika aku menjadi sungai, kupersilakan semua ikan mencicipi airku, ambillah, tak apa, pun jika pada akhirnya tak cocok dengan siripmu, dan kau harus mencari air lain, mampir lah sesekali :)

Jika aku menjadi sungai, aku tipe sungai yang memiliki tipe aliran deras, terkadang hantamannya keras, aku hanya tak mau ada banyak sampah di badan sungaiku, sehingga air di badan sungaiku harus terus bergerak, agar tak ada sampah yang tertinggal di antara bebatuan.

Ah bagaimanapun romantisme ini, kuharap tak berujung, tak seperti alur sungaiku yang berujung hinga tak bisa menemani para ikan hingga ke laut...

dariku - yang masih canggung-
_Ihtisyamah_

Minggu, 05 Januari 2014

Bukan Salah Ikhwan (saja)

Tidak 'sehat'!

Frasa ini yang pertama terpikir oleh saya. Banyak kasus VMJ di kalangan aktivis dakwah kampus yang berawal dari komunikasi yang berlebihan. Komunikasi berlebihan itu yang pada akhirnya menimbulkan penyakit hati, alias tidak sehat! antara ikhwan dan akhwat.

Jika selama ini yang dipersalahkan adalah ikhwan yang 'genit' saya rasa tidak sepenuhnya ikhwan dengan kegenitannya yang salah. Mengingatkan waktu solat, mengingatkan berdzikir, mengingatkan kajian, mengingatkan sampai ke detail-detail kebiasaan akhwat. Itu yang dilakukan ikhwan 'genit' bisa jadi itu si ikhwan genit perlu ditraining lima kali sehari lari muter alun-alun kidul Yogyakarta kali ya, biar sibuk ngurusin diri sendiri, gag pake ngurusin akhwat yang dikenalnya. Tapi jangan salahkan ikhwan.

Akhwatus salihah, pernahkan terpikir, saudara kita sesama akhwat sangat berharga? Jika iya, seberapa pedulikah kita dengannya? Seberapa sering kita mengingatkan waktu solat, seberapa sering kita mengingatkan saudari kita untuk senantiasa berdzikir, mengingatkan waktu makan, sampai menanyakan kabar barangkali ia sakit?

Sebenarnya ini lah yang terjadi. Kita sesama akhwat kurang perhatian. Kita membiarkan komunikasi-komunikasi manis antara (saudari kita) si akhwat dengan si ikhwan (genit) terjadi. Hal itu terjadi (mungkin) karena kita sendiri yang tidak mengisi komunikasi manis itu, saling mengingatkan dan menanyai kabar, melainkan malah si ikhwan yang melakukannya.

Ketika ada seorang akhwat dan ikhwan terindikasi VMJ kita langsung menyalahkan keduanya, tanpa berpikir kita memiliki urun (bahasa Indonesianya apa ya?) besar dalam terjadinya penyakit itu, yaitu karena kurang perhatian dan kepo nya kita ke saudari kita sendiri. (Gimana sih, malah lebih kepoan ikhwan.)

Jangan salahin ikhwan. Bukan salah ikhwan (saja).

Sudah banyak kasus, apa tidak malu dan sakit hati, ketika ada saudara kita seorang akhwat yang sakit, tapi yang tahu terlebih dulu adalah ikhwan? Tau-tau si ikhwan nanya ke kita, "Ukhti fulanah sakit ya?" dan kita menjawab, "Oh iya kah? Biar saya cek dulu."  Atau tentang kabar baik, "Ukhti fulanah masuk ke pimnas ya?" dan lagi-lagi kita menjawab, "Oh iya kah?"

Ah sepertinya tidak akhwat tidak ikhwan. Kita semua harus sama-sama menimbang komunikasi. Menakarnya sesuai kebutuhan dan keseriusan. Kita sesama akhwat saling berkomunikasi adalah karena kebutuhan bukan? Butuh memahami dan dipahami, butuh bercerita dan mendengar cerita, butuh bercengkerama dan bermanja. Ya itu sesama akhwat, yang tidak seharusnya ikhwan mengambil peran kita. Dan mengenai keseriusan, akwat dan ikhwan perlu memperhatikan poin ini dalam berkomunikasi, sudah dijelaskan di dalam buku Kebebasan wanita, bahwa komunikasi antara sahabiah dan sahabat nabi di zamannya selalu dilandasi keseriusan, tidak ada perbincangan yang tidak serius yang menyebabkan mereka saling berkomunikasi. Apalagi sekedar mengingatkan waktu solat.

Jadi, jangan salahkan ikhwan, jika ada kasus seperti itu lagi, cukup laporkan saja ke pihak yang berwajib, (Murobbinya barangkali) dan selesailah urusan kita dengan si ikhwan, sehingga tidak perlu menyalahkan ikhwan lagi, melainkan kita perbaiki bersama ukhuwah kita sesama akhwat ^_^

Eh tapi ini juga berlaku bagi ikhwan (juga), karena terkadang, anehnya, kalau ada kabar tentang ikhwan, yang semangat akhwatnya, dan tidak jarang, ketika ada kabar tentang akhwat, yang semangat ikhwannya. Misal ada kabar fulan sakit, para akhwat dengan semangat mengusulkan menjenguk, sedangkan temen-temen ikhwan cuek-cuek saja, (iya gag si ya? :3 bisa jadi). Dan sebaliknya juga, ketika ada fulanah sakit yang ribut ikhwan, yang akhwat ributnya belakangan kalau sudah ada ikhwan yang 'terlalu perhatian'.

Akhwat, sedang apa sekarang? Udah mimum obatnya kan? :) (aku perhatian kan? :3 barangkali komunikasi melalui pertanyaan-pertanyaan kecil seperti itu yang harus ditumbuhkan sesama akhwat). Bukan dari ikhwan! :)

-nasihat sepanjang hayat untuk diri sendiri dalam menjaga saudariku sayang-

Akhwat tangguh, akhwat Qowiy, akhwat maco, akhwat keren, akhwat 'SEHAT'. Yuk ^_^


_Diana_

 
Design by Wordpress Templates | Bloggerized by Free Blogger Templates | Web Hosting Comparisons