Sabtu, 21 Desember 2013

Cinta yang Bersih

Aku (sempat) kehilangan makna cinta. Ia begitu mempesona, hingga membuat semua orang terlupa. Tidak. Bukan itu yang seharusnya. Bukankah seharusnya cinta membuat orang tersadar? Bukan terlupa?

Lalu kemanakah cinta pergi.

Mungkin aku salah mengenal. Mungkin yang ku kenal bukan cinta. Ia orang lain. Ia bukan cinta. Ya, mungkin aku salah, salah mengenal.

Lalu mana cinta.

Ini permasalahan besar. Aku benar-benar terlupa, selama ini. Terlupa, ah cinta membuatku lupa. Oh bukan, salah untuk kedua kalinya, itu bukan cinta, aku salah mengenal. Aku harus cari tahu siapa dia.

Rupanya dia bukan cinta.

Benarlah apa yang dikata Raihan dalam lagunya, Mengemis Kasih... Ternyata aku mengemis kasih, bukan mencinta.

Tuhan dulu pernah aku menagih simpati
Kepada manusia yang alpa jua buta
Lalu terhiritlah aku di lorong gelisah
Luka hati yang berdarah kini jadi kian parah

Semalam sudah sampai ke penghujungnya
Kisah seribu duka kuharap sudah berlalu
Tak ingin lagi kuulangi kembali
Gerak dosa yang menghiris hati

*)
Tuhan... dosaku menggunung tinggi
Tapi rahmat-Mu melangit luas
Harga selautan syukurku
Hanyalah setitis nikmat-Mu di bumi

Tuhan... walau taubat sering kumungkir
Namun pengampunan-Mu tak pernah bertepi
Bila selangkah kurapat pada-Mu
Seribu langkah Kau rapat padaku


Mana ada cinta menimbulkan dosa, bukankah cinta murni adanya. Kemurnian bersih dari dosa. (Idealnya). Cinta itu ridho, ridho siapa? Allah tentunya. 

Maafkan aku yang mendua, mencintai dunia. Padahal kutahu Kau Maha cemburu. 

Baiklah. Katakan putus! Aku cinta pada apa yang Allah cinta. Menumbuhkan cinta berbeda jauh dengan menumbuhkan dosa. Ayo, buat Allah percaya, bahwa Ia satu-satunya.


Jumat, 13 Desember 2013

Aku Penggembala

Aku lah penggembala...

Berjalan pelan menahan ikat gembala.

Aku penggembala emosi, kurasa emosi adalah gembala yang liar. Ia mudah saja melakukan hal-hal reaktif. Awalnya aku canggung memegang ikat/ kekang gembalaanku. Selain reaktif, ia pun agresif.

Ada dua emosi yang kugembala. Dua gembala ini kunamai gembala 'senang' dan gembala 'sedih'. Dua gembala saja sudah membuatku kewalahan. Mereka berdua luar biasa.

Aku pernah mendengar istilah, "Di dalam hatimu ada dua macam serigala, serigala baik dan serigala kejam, mana yang akan menang berperang di hatimu, adalah ia yang paling banyak kau beri makan."

Aku jadi teringat dengan dua gembalaanku. Si 'Sedih' dan si 'Senang'. Barangkali benar apa yang dikatakan dalam istilah tadi, yang paling banyak kuberi makan lah yang akan cepat besar, yang akan lebih unggul, yang akan menang.

Kupikir awalnya aku akan memenangkan salah satunya, memenangkan gembala yang baik, yaitu gembala 'Senang'. Selama menggembala, gembala 'Sedih' memang seringkali berperangai buruk, ia sering tak semangat, ia lesu, ia malas, bulunya tidak segar dipandang mata. Sedangkan gembala 'Senang' selalu memiliki energi yang lebih, ia memiliki bulu halus dan enak dipandang, ia berperangai baik, dan sering membawa keuntungan.

Ya, pada akhirnya aku lebih suka memberi makan gembala yang satu dibanding gembala yang lain, gembala 'Senang'. Aku lebih suka membawanya berkeliling padang rumput, berlari-lari dengannya, meladeni kemauannya, ah seketika gembala itu membesar.

Itu lah yang setiap hari aku lakukan, bersamanya,  menggembalanya, dan aku melupakan si gembala 'Sedih'. Maka tak heran jika setiap hari aku tertawa, setiap hari aku terbahak, perasaanku melayang. Aku akan selalu mencari alasan untuk membuat si gembala 'Senang' ini terus senang, agar aku tetap senang.

Banyak usaha yang kulakukan. Aku mulai menggembala lebih pagi karena aku sangat bersemangat. Banyak orang yang memujiku, aku tampak rajin di hadapan mereka, aku semakin rajin dan rajin. Tidak hanya di pagi hari, di siang hari aku lebih giat mencarikan makan untuk si 'Senang', aku berusaha keras, meramu makanan untuknya bertumbuh besar, besar, dan terus besar, akhirnya banyak pujian berdatangan, gembalaanku pun semakin besar, ya si gembala 'Senang' semakin besar.

Aku semakin senang menghabiskan waktu di luar rumah. Aku jauh dari rumah bersama si 'Senang'.

Hingga datang suatu saat, dimana aku kelelahan bermain besama si 'Senang', aku merasakan ada yang hilang, energiku habis untuk tertawa, berlari-lari, dan meladeni pujian orang. Dulu aku pergi menggembala dengan si 'Sedih' juga, tapi aku lupa dimana si 'Sedih' sekarang. Lama aku tak pulang ke rumah, aku lupa pada rumah.

Aku lupa rumah.

Tapi aku masih ingat jalan pulang ke rumah. Ketika aku pulang ke rumah, betapa kaget diriku, si 'Senang' ternyata tumbuh begitu besar, hingga ia tak bisa lagi aku masukkan ke dalam kandang, ia tak terkontrol ketika aku masuk ke dalam rumah, tak kusangka, ia meng-obrak abrik segalanya di luar rumah, hanya karena ia tak bisa kumasukkan ke dalam kandang. Ia membuat tetanggaku marah padaku, karena memberinya makan terlalu banyak. Ah bagaimana orang-orang ini, dulu mereka memujiku dengan beribu pujian karena aku menggembalanya dengan baik, tapi kini semua orang lari dariku, sungguh mengecewakan. Dan perasaan kecewaku kulampiaskan pada si 'Senang'. Ia tak lagi terurus sekarang.

Aku terlanjur kecewa padanya.

Ia yang sudah bermain denganku sepanjang waktu, kini merusak segalanya. Bahkan merusak rumah-rumah tetangga.

Aku sadar kini. Aku terlalu asik bermain dengannya, hingga aku lupa semuanya, dan kini aku kecewa.

Kecewa memang seringkali datang di akhir. Aku lama termenung di rumah, memikirkan bagaimana caranya memperbaiki semua ini, dan si gembala 'Sedih' yang sudah kutinggal dalam beberapa waktu itu menghampiriku. Kini aku bersamanya. Aku tahu, sebenarnya ia tidak seburuk itu, si 'Sedih' hanya ingin mengingatkanku pada rumah. Ia ingin aku berlama-lama di rumah.

Ya memang, jika berada di rumah aku selalu merasa sedih, teringat akan banyak masalah. Tapi ketika aku keluar rumah, aku merasa semua masalah hilang (hilang secara semu), itu lah mengapa aku banyak menghabiskan waktu bersama si 'Senang'.

Kini aku sadar, Tuhan memberiku 2 gembala, 'Senang' dan 'Sedih' agar aku bisa menggembala nya dengan seimbang. Aku menggembala keduanya tidak dengan memberatkan pada salah satu, namun bagaimana aku bisa mengatur keduanya agar seimbang, mungkin itu yang dimaksudkan Tuhan.

Bahaya ketika aku terus selalu bersama si 'Senang' karena ia membuatku lupa akan tempat awal aku berpijak, rumah. Kesenangan membuatku lupa pada awal aku diciptakan, pada siapa Yang menciptakanku, kesenangan membuatku melayang tanpa pijakan. Kesenangan itu melenakan. Pujian-pujian yang kurasa menyenangkan itu ternyata hanya semu saja. Ya semua yang datang dari manusia itu semu. Seharusnya apa yang keluar dari mulut manusia tak membuatku senang berlebihan, aku harus tetap bisa mengendalikan. Kukendalikan kau gembala 'Senang'!

Si 'Sedih' sering membuatku kembali ke rumah. Ia membuatku terus mengingat Tuhanku. Aku sering bercengkerama dengan Tuhan ketika merasa bersedih, teringat dengan semua masalah. Dan perasaan sedihlah yang membuatku semakin dekat dengan Tuhan, aku semakin mendekat pada Nya dan Ia pun semakin dekat dengaku. Hingga aku berlama-lama bersama Nya.

Namun bahaya jika aku terus bersama si 'Sedih', memang, aku akan selalu dekat dengan Tuhanku, tapi Tuhan pernah mengutuk orang-orang yang hanya memikirkan kedekatannya dengan Tuhannya, tanpa memikirkan kedekatannya dengan orang-orang di sekelilingnya. Bahkan manusia paling sempurna, sebut saja Muhammad SAW, pernah ditegur tentang wajahnya yang masam di hadapan salah satu manusia. Jika ia ditegur ketika melakukannya sekali, maka aku seharusnya aku mendapatkan teguran berkali-kali ketika bermuka masam, karena perasaan sedih sering mengikat wajahku menjadi wajah yang sangat tidak enak dipandang oleh saudara lainnya.

Aku bertekad untuk menggembala keduanya dalam keseimbangan, tidak membiarkan salah satunya menang, namun aku gembala kan mereka dalam ke-tawazun-an, seimbang sesuai kebutuhan.

Patokan yang aku gunakan adalah tengah-tengah, yaitu tidak mudah sedih dan tidak mudah senang, melainkan tetap tenang (calm). Ketika merasa senang kutahan untuk memanjakan si 'Senang', supaya aku tak bertambah senang, karena itu akan menjadikannya tumbuh berlebihan, seperti halnya aku senang dipuji orang, itu adalah hal yang berlebihan akibat memanjakan si 'Senang' padahal pujian adalah sesuatu yang melenakan.

Aku pun tak akan terus bersedih hati, ketika sedih, sedih sekali, aku tidak akan memanjakan si 'Sedih' dan memberinya makan terus menerus, aku takut kesedihan itu membesar dan berlebihan.

Yang aku cari adalah ketenangan.

Entahlah, dua gembala ini sangat membingungkan, tetapi harus terus mencoba tawazun, seimbang.

Pujian manusia, tak seharusnya menjadikan besar hati, celaan manusia tak seharusnya menjadikan kecil hati. Karena ujung usia gembalaan kita nantinya akan kita kembalikan kepada Yang berpunya, maka hati ini juga harus dijaga untuk tidak besar dan kecil seenaknya, melainkan tetap tenang dan bersyukur dengan apa yang ada. Tidak mudah reaktif dengan hal-hal yang menyenangkan, dan tidak agresif dengan hal-hal yang menyebalkan. Kuncinya, tetap tenang, dan pegangi tali kekang.

Salam untukmu sesama penggembala :)

Rabu, 20 November 2013

Wong Urip ki Mikir, Nek Ra Mikir Jenenge Wong Edan. Keren!

Kembali menghela nafas dan masih berpikir keras.

Hari ini, sedang iseng mampir ke toko pakaian, lihat-lihat pakaian, dan mendapat ilmu yang keren, ilmu yang hanya datang sekelebat, dari pembicaraan santai dua laki-laki dan seorang perempuan.

Dua laki-laki itu sepertinya sudah beristri, dan sudah memiliki anak (jadi toko pakaian itu tidak recomended untuk tempat cari jodoh #eh). Sedangkan yang perempuan sepertinya adalah istri dari salah satu laki-laki itu, karena ia duduk berdampingan dengan salah satunya.

Percakapannya kurang lebih begini (awalnya saya anggap itu percakapan konyol),

(+)“Kayaknya dulu aku sebelum nikah keliatan muda, tapi kog sekarang setelah menikah jadi kelihatan tua ya? Kira-kira kenapa ya?”

(-)“Keliatan tua gimana?”

(+)“Ya keliatan tua aja.”

(Tapi ternyata ini perbincangan ringan yang luar biasa, tentang pemaknaan kehidupan, Welcome to the -real- world Ihti)

(-)“Emmm, mungkin karena setelah menikah jadi sering mikir ya? :D Mikir bagaimana menaikkan penghasilan, mikir nanti ngasih makan apa. Yah, namanya orang hidup, yo jenenge wong urip yo mikir, wong urip sing ra mikir jenenge wong edan.”

Ketiganya tertawa dan meng-iya-kan. Lalu lanjutnya, “Kita itu harus mikir, itu rezeki datang darimana, terus dimintai tanggungjawab besok gimana, ternyata harus mikir ya...”

Ya Allah... 'ancaman' menjadi semakin tua ituuu fyuuuh :3 #Eh bukan itu fokusnya. Rasanya ingin menggaris bawahi tebal-tebal kalimat terakhir, “...rezeki itu datang darimana, terus dimintai tanggungjawab besok gimana”.

Ternyata masyarakat kita sudah cukup cerdas memaknai kehidupan, fikirku, kayaknya mereka gag ikut ESQ... tapi keren bisa memaknai yang sederhana menjadi luar biasa seperti itu. Luar biasa, karena hal itu yang mengatakan adalah masyarakat biasa dan bukan mahasiswa, bukan ustadz, #terharu. Keren!

Ya, pak, memang, ternyata mikir itu 'sesuatu' banget, tapi aku gag mau jadi orang 'edan'. Setelah itu aku bertekad untuk terus berfikir. #Allah... mudahkanlah...

Rekomendasi Tempat Refresh Pikiran: Masjid Kampung

Malam ini, sepertinya masih terkena efek balapan di sepanjang ringroad sama mas-mas yang tak kukenal :D Masuk angin >o<"

Tapi sepertinya menulis dapat mengalahkan sakitnya :)

Maghrib, setelah selesai nge-les privat (adeknya beragama kristen, jadi gag mungkin numpang solat di rumahnya :3) tengok kanan kiri cari masjid, eh lihat dua orang bapak naik motor pake peci di kepalanya, fikirku, "Pasti tak jauh dari sini ada masjid." Benar saja, di kanan jalan tertulis, "Masjid Al-Aziz".

Ok. Mampir.

Ah, lama sekali ya rasanya tak mampir di masjid kampung :) damai, syahdu, tenteram, khusyuk, recomended bagi yang lagi listing tempat cari jodoh #eh.

Tipe masjid kampung yang jauh dari keramaian, jauh dari bising, kebersihannya terjaga, jarang mukena dan Mushafnya (karena kebanyakan warga bawa sendiri-sendiri), sangat cocok sebagai sarana refresh pikiran. Recomended banget pokoknya. Buat yang lagi ribut sama sahabatnya, sama pacarnya (udah putusin aja), sama dosennya, atau lagi galau banyak tugas, galau gag punya uang, galau amanah datang bertubi-tubi,  (#eh keterusan curhat) bingung mencari solusi kehidupan (#lah kog puitis banget), atau sekedar rindu pada Tuhannya, dateng aja ke: Masjid kampung!

Masjid kampung. Menyediakan berbagai macam perlengkapan ibadah seperti sarung, peci, mukena, dan sajadah (itu toko kali ihti! malah promosi....). Ya, dateng aja, tenteram hatinya :) InsyaAllah (kali ini serius).

Selesai solat, aku benar-benar bisa mengendorkan urat saraf, melengkungkan punggung, dan menghirup udara segar keheningan. Melihat sekeliling dan (oh?) ada mas-mas/ bapak-bapak/ kakek-kakek (kalau yang ini gag mungkin), pokoknya itu laki-laki yang: masih muda banget enggak, tua banget juga enggak (bener kan, recomended buat cari jodoh #hush).

Si bapak (yang masih muda) ini duduk di shaf laki-laki pake peci dan sarung, dengan wajah menunduk setunduk-tunduknya, sikunya menahan berat badannya di kaki yang duduk bersila, tangannya terkulai pasrah.

Aku bertanya dalam hati, dimana lagi aku bisa melihat pemandangan ini, kalau bukan di masjid. Pemandangan seorang manusia yang menunduk pasrah pada sesuatu yang tak ada di depannya. Bagaimana jika laki-laki ini melakukan hal yang sama di pasar, atau di dekat pom bensin, atau di jalanan yang ramai, dilihat oleh banyak orang, sepertinya tidak akan mungkin ada yang seperti itu, yang ada ia akan dianggap gila, atau minimal dianggap frustasi berat.

Tapi ini ruangan yang istimewa, masjid, tempat bertemunya para hamba dengan Tuhannya.

Dan karena selama ini yang jadi referensiku tentang cerita raja-raja hanya di film Angling Darma, aku membayangkan bahwa laki-laki ini sedang bersimpuh di hadapan raja nya Angling Darma. Ya, sikap duduk yang ia lakukan hanya bisa dipraktikkan oleh orang yang sangat menghormati 'Raja' yang ada di depannya.

Tapi di depannya tak ada apa-apa, ini di masjid Ihti, yang ada di hadapan shaf laki-laki ya hanya tembok. Ini lah yang selama ini kau lupakan, kapan terakhir kau meminta pada Tuhanmu sekhusyuk itu? Sekhusyuk yang dilakukan lelaki itu...

Pasti 'sesuatu' yang 'ada' di hadapannya adalah sesuatu yang sangat hebat, sesuatu yang ia yakini dapat menentukan nasibnya, sesuatu yang Maha Besar, ya, itu Allah ihti. Dia sedang bercerita dan berpasrah diri pada Allah, seolah Allah ada di hadapannya.

ilustrasi gambar

Lama, lama sekali. Tapi siapa yang tak betah berlama-lama di suasana seperti itu, damai, tenang, lebih baik di sana berlama-lama kalau tidak ada urusan.

Pada akhirnya ia beranjak, beranjak dari duduk lamanya, beranjak dari simpuhnya, ia keluar masjid, dan aku hanya bisa bergumam, "Kabulkan do'anya Ya Allah, kabulkan, aku menjadi saksi bahwa ia sangat berharap padamu, dan ia melakukannya dengan sangat khusyuk." (Aku berpikir, jangan-jangan ia sedang berdo'a untuk dipertemukan dengan jodohnya #wushhh).

Setelah itu aku berfikir keras, sepertinya aku terlalu banyak bercanda, sedangkan ada orang sepertinya yang sangat serius, aku terlalu banyak tertawa, sedangkan ada orang sepertinya yang sangat tenang, aku terlalu sering tergesa-gesa, sedangkan ia begitu menikmati pertemuannya dengan Tuhannya lewat do'a.

Aku #berfikir #keras dan berkaca. Kelak di pintu surga aku harus mengantri di urutan ke berapa? Kalau ada banyak orang sepertinya. Lalu kembali #berfikir #keras.

Ihtisyamah Zuhaidah
#masih #berpikir #keras
| 2013

Sumber gambar: 

Jumat, 15 November 2013

Didik Dirimu dengan Keras

Inilah aku, aku yang dididik dengan keras. Sejak dulu. Dan sekarang aku lepas.

Hingga aku rasakan, ternyata begitu kuat didikan keras di 'istana' ketika dulu. Dimana yang lain bermanja, aku bekerja. Dimana yang lain bersenang, aku mengelus kening tuk tetap tenang.

Bagiku bukan sekadar penghargaan manusia, ada yang jauh lebih menggiiurkan dari kerja-kerja di dunia, apalagi jika bukan mati.

Bagiku, mati adalah penyelesaian masalah. Tapi di sana harus ada pendewasaan, bahwa mati butuh persiapan.

Dunia ini penuh masalah, lalu apa yang kita lakukan selama ini dengan masalah-masalah itu. Bukankah kita hanya sedang mengisi waktu luang kita dengannya untuk menunggu mati?

Aku rasa iya, nyatanya kita semua pasti akan mati. Dan semua pasti punya masalah.

Tapi orang yang paling cerdas adalah orang yang paling banyak mempersiapkan mati. Ya, karena ia memiliki otak, dan otaknya ia persilakan memahami ayat-ayat alqur'an, jadi ialah yang paling siap mati, dengan segenap persiapan.

Adakah yang siap mati sekarang ini?

Akupun mungkin akan menjawab, aku belum siap. Tapi sayang nya setelah beribu bahkan berjuta-juta kabar orang meninggal, tak ada satupun dari mereka yang mendapatkan pengalaman ditanya malaikat, "Sudahkah siap mati?" dan dijawab, "Belum" lalu waktu kematian diundur.

Tidak ada yang seperti itu.

Maka mungkin inilah jawabnya kenapa aku dididik dengan keras. Itu supaya aku mampu menyiapkan mati sejak dini.

Minggu, 10 November 2013

Orang Bilang

Untuk menjadi orang yang sempurna (perfect), itu gampang, turuti saja semua yang orang bilang.

Saya berdarah melankolis, konon katanya, dalam diri orang-orang melankolis ada satu kekurangan yang sangat kuat melekat, yaitu sifat perfectionist. Ya, sifat perfecsionist itu adalah kekurangan, bukan kelebihan, apa alasannya, kita sudah bahas di tulisan yang lalu.

Sifat ini selalu menuntut saya melakukan segala sesuatu secara detail dan sempurna, jika tidak, perasaan penuh tekanan (stess) itu niscaya terjadi setelahnya. Atau jika memang saya sudah merasa tidak bisa mengerjakannya dengan sempurna, maka saya memilih tidak akan melakukannya sama sekali!

Entah, sifat itu benar-benar melekat pada diri saya atau tidak, tapi begitulah kebanyakan orang melankolis merasakan. Tenang, saya bukan melankol sempurna, saya juga punya kecondongan ke sanguin, si pembelajar cepat, bagaimanapun saya bisa belajar cara memperbaiki sifat perfectionist tersebut.

Ok, fokus bahasan kita bukan pada sifat itu. Tapi pada apa kata orang.

Saya sadar sepenuhnya, bahwa diri saya adalah bentukan lingkungan. Tepatnya, saya percaya saja apa yang orang bilang. Jika ada yang bilang ini baik, saya akan beromba menjadi yang paling baik di antara yang baik. Jika orang bilang itu buruk, saya akan menjauhi sejauh-jauhnya sesuai saran 'orang bilang'.

Usia saya sekarang 20 tahun dan selama lebih dari 15 tahun saya hidup mengikuti prinsip itu, mengikuti 'apa orang bilang'. Menyenangkan sekali jika saya bisa mencapai suatu hal yang orang bilang baik. Dan sangat terpukul bahkan sampai stress tidak dapat mencapainya, atau malah melakukan hal (yang orang bilang) buruk.

Begitulah lingkungan sangat mempengaruhi saya. Beruntungnya (saya harus mengucap syukur) karena saya dilahirkan dan hidup di antara orang-orang baik. Jadi apa yang mereka katakan memang baik adanya, yang baik dibilang baik, yang buruk dibilang buruk.

Namun sifat saya yang selalu mengikuti apa kata orang itu, saya rasakan sebagai masalah besar akhir-akhir ini. Karena semakin dewasa umur saya, saya merasakan banyak sekali hal-hal ideal (yang dikatakan orang) sebagai hal yang baik, ternyata sulit sekali dicapai. Dan realita nya, saya merasakan lelah! mengikuti apa yang orang bilang.

Adakah yang mengalami masalah sama dengan saya?

Dulu, saya rasa ini dulu, dan saya ceritakan sekarang. Saya adalah anak yang paling 'disayang' oleh guru dimanapun, di SD, di SMP, di SMA (ini lebay). Begitu pula dengan saudara-saudara saya, tetangga-tetangga saya, dan orang-orang di sekitar saya. Itu karena saya berhasil melewati standar sifat-sifat (yang orang bilang) sebagai anak yang baik.

Saya penurut, tidak banyak protes, saya pintar, saya manis, saya sopan, saya alim, cuma akhir-akhir ini saya baru tahu bahwa dulu penampilan saya sangat cupu. Tapi biarlah, saat itu orang-orang di sekeliling saya tidak bilang bahwa cupu itu jelek, jadi saya enjoy saja. Saya bisa berbangga dengan saya yang dulu.

Ternyata dunia itu luas, tidak hanya dunianya orang-orang baik saja, terlebih ketika saya memasuki bangku kuliah. Ada berbagai macam cara berfikir. Sempat saya masih mengikuti apa orang bilang.

Saya masih menerapkan prinsip yang baik itu sesuai apa yang orang bilang, yang buruk juga sesuai apa yang orang bilang saat itu.

Sekarang ini, saya SANGAT BERMASALAH dengan prinsip tersebut. Hal itu karena saya merasakan, apa yang saya turuti --> APA YANG ORANG BILANG sama sekali bukan standar yang baku. Orang yang saya temui di sini mengatakan ini baik, orang yang di sana mengatakan ini tidak baik. Banyak yang berbeda, dari apa yang orang bilang. Terlebih di dunia yang saya hadapi sekarang. Lagi-lagi karena beragamnya cara berfikir orang-orang yang saya temui.

Dan saya lebih banyak tertekan mengikuti apa yang orang bilang.

Pada akhirnya, saya memutuskan, bahwa saya adalah saya, orang mau bilang apa, patokan saya bukan lagi apa yang orang bilang, tapi patokan saya adalah hati saya. Saya bisa memiliki dan merasakan hati saya sepenuhnya. Namun saya sadar, bahwa pemilik hati yang sesungguhnya adalah Tuhan YME siapa lagi kalau bukan Allah SWT.

Saya memang benar-benar akan mengikuti hati saya, namun hati ini seringkali kotor, satu-satunya cara saya yang saya gunakan untuk memaksimalkan hati saya untuk merasa adalah mendekatkan diri pada-Nya, yaitu dengan selalu mengingat-Nya.

Karena hati yang dekat dengan Allah dengan selalu mengingat-Nya adalah sumber ketenangan yang utama. Memangnya apa lagi yang dicari manusia di dunia ini kalau bukan: ketenangan.

"orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram." Q.S. Ar Ra'd : 28.

Tuhaaan Aku Temukan Dunia!

Tuhaaaan, aku temukan dunia!

Tiga anak perempuan kecil berseragam pramuka turun dari becak, dan bersegera memetik bunga di pinggir jalan. Ah sudah seperti lagu saja. Tapi tidak, ini bukan lagu. Ini yang kusebut dunia!

Pasti aksi tawar-menawar 3 anak kecil ini dengan si tukang becak sangat lucu. Bagaimana mungkin ada penumpang becak yang minta turun sebentar hanya untuk memetik bunga, lalu naik lagi. Ah aku membayangkan keributan yang sangat lucu ketika mereka meminta turun sebentar. Dan terlihat si tukang becak hanya tersenyum melihat kurcaci-kurcaci mungil ini berbahagia dengan bunga mereka.

Ini lah dunia. Dunia yang tidak hanya membicarakan mata kuliah ini, mata kuliah itu. Nilai ini nilai itu. Tugas ini tugas itu. Dunia penuh persaingan.

Kutemukan dunia. Dunia yang tanahnya basah oleh air hujan, dan dijejali kehidupan sosial manusia-manusianya. Dunia sebenarnya.

Tuhaaaan, aku temukan dunia!

Aku bertanya-tanya, bagaimana bisa ia menjemputku dengan waktu yang SANGAT CEPAT, padahal jaraknya lumayan jauh. Ia tampak tenang, tidak ada raut tergesa. Bagaimana mungkin. Kecepatannya sekarang hanya 50 km/ jam. Ah bagaimana bisa.

Sampai di depan pintu garasi, ia memerintahkanku mengambilkan selang air dan menghidupkannya. Kakinya belepotan tanah basah, lumpur. Bagian bawah motornya juga.

Ia pintar sekali menyembunyikan usahanya. Di musim hujan seperti ini, jalan aspal pun berlumpur. Dan tak mungkin sampai sekotor itu jika ia tak mengebut.

Dunia macam apa yang kutemui ini. Bapak yang berpura-pura di depan anaknya, berpura-pura menutupi usaha kerasnya, menutupi kegelisahannya. Inikah dunia yang sebenarnya?

Aku terlalu lama menutupi mata dengan kertas-kertas tugas, kertas-kertas nilai, dan kertas-kertas berbau persaingan lainnya. 


Kini aku menikmati malam-malam di rumah, dan aku temukan dunia, dengan Orang-orang di sekelilingku, termasuk ayah. Sepenggal dunia yang kutemukan ketika pertama kali tiba di kampung laman:

Aku terkaget, "Ya Tuhan... jenggotnya sudah memutih."

Aku terkaget seolah lama sekali tak pernah melihatnya. Datang ia dengan suzuki biru kesayangannya, dengan gestur dan suara motornya yang tak mungkin ku lupa. Satu yang berbeda, uban-uban putih itu. Abah.

Ah tidak, aku mulai membenci uban. Entahlah. Aku harap semoga aku hanya sedang mencari kambing hitam atas usianya yang mulai menua.
~Pertemuan malam romantis di stasiun.

Sabtu, 19 Oktober 2013

Dibalik Jawaban "Ya" dan "Tidak" Seorang Perempuan

Entah, wanita seringkali mempermainkan perasaannya sendiri. :)

Sayapun lelah memastikan ujung kebingungan ini, kebingungan kenapa wanita itu penuh misteri. Ya. Jelas saya mengalami kebingungan, karena saya sendiri wanita. Bayangkan harus 'meneliti' atau mencari tahu permasalahan yang objeknya ada di dalam diri sendiri. Wanita :D bahasan panjang yang tak akan selesai. Semua orang ingin yang pasti-pasti saja. Tapi, wanita? :D Sepertinya sulit mewujudkannya.

Ini dia misteri di balik jawaban "Ya" dan "Tidak" dari seorang wanita.

Sempat ada beberapa cerita dari teman-teman perempuan saya, atau beberapa cerita yang saya alami sendiri.

Dalam berinteraksi dengan orang lain, entah itu sesama wanita, atau antara wanita dengan laki-laki, wanita selalu punya rasa "tidak enak" kepada orang lain. Gamang. Plin-plan. Atau apa lagi? Maju mundur? Tidak jelas? Penuh misteri. Ya. Tapi tidak selalu begitu kog :) Tapi hal ini pasti pernah dialami oleh setiap wanita atau mungkin dialami oleh laki-laki yang pernah berinteraksi dengan wanita (eh sebentar, adakah laki-laki yang tidak berinteraksi dengan wanita? pasti itu hanya lelaki aneh saja :o ). Berarti semua orang pernah merasakan hal ini. :)

Simak cerita ini dulu sepertinya lebih asyik. :) Ini cerita dari saya.

Sore itu saya dan satu teman perempuan saya, setelah selesai kegiatan di kampus, dan hendak pulang saya mencari-cari kunci sepeda saya. Biasanya saya simpan di saku baju, atau tas bagian depan. Tapi sampai seluruh isi tas dikeluarkan pun, kami tidak bisa menemukannya. :) 
Datanglah seorang laki-laki. Ceritanya laki-laki ini sedang menawarkan bantuan, karena mungkin kami terlihat gelisah. Dia bertanya, "Ada apa?" Teman saya menjawab singkat, "Kunci sepeda Ihti hilang." Lalu ia menawarkan bantuan untuk mencari, tapi saya sergah, "Emmm tidak usah, biar kami saja." 
"Oh ya sudah," begitu jawab teman laki-laki kami satu ini. Ia langsung membelokkan stang motornya, dan pergi. Setelah ia pergi membelakangi kami, yang kami lakukan adalah bertatapan dan menghentikan aktivitas. Tatapan kami sama-sama tatapan heran. "Sudah? Begitu saja?" akhirnya pertanyaan itu yang muncul. Kami hanya tertawa, antara menertawakan diri kami sendiri, dan menertawakan ketidakpekaan teman laki-laki kami satu ini :D
:D Kami memang menjawab 'tidak usah', ya, jelas sekali memang: 'tidak usah'. Itu artinya kami tidak perlu bantuan. Tapi dibalik kata tidak usah itu, kami mengharapkan lebih, sebenarnya mau-mau saja dibantu mencari. Tapi apa mau dikata, tidak enak hati. *Nah ini tidak enak hati.
Selain tidak enak hati, kalau harus mengatakan,"Iya boleh" itu 'gengsi' tersendiri :D Seolah-olah kami meminta-minta bantuan. Sebenarnya kami menyesali ulah kami, karena tak ada lagi yang merelakan dirinya membantu mencari, kami harus memanggil tukan kunci untuk membuat duplikat kunci. Gkgkgkgk. Konyol.

Ya, ya, nanti kalau perlu ada yang diluruskan kita bahas di tulisan belakang. :)

Lanjut ke cerita selanjutnya. Masih dengan kunci. Karena sepertinya saya teledor. Ups.

Malam itu, saya baru selesai rapat. Tempat rapat di gedung lantai dua. Posisi saya sudah berada di parkiran. Tapi saya lupa dimana menaruh kunci motor. Saya cari di tempat biasa saya manruhnya juga tak ada. Akhirnya saya telfon teman laki-laki yang belum pulang dan masih berada di lantai dua.
Singkatnya, kunci itu ketemu ada di lantai dua. Saya bilang, "Ya saya ke lantai dua sekarang, mau saya ambil." Saat saya mengatakan itu, teman perempuan yang ada di samping saya tiba-tiba ribut, padahal telepon belum ditutup, "Kamu gimana sih?! Suruh tu cowok ke sini aja, jangan kamu yang ke atas!!! Gimana sih?!" Saya tak menggubrisnya, hanya menjawab, "Ya," kepada orang di seberang telepon. Teman saya kembali ribut, "Kog dijawab iya sih, suruh dia turun aja!" 
Setelah saya tutup telfonnya, saya jelaskan kepada teman saya, "Aku emang bilang mau ke atas, tapi aku cuma nge-tes. Dan alhamdulillah dia lolos tes :D, karena begitu aku bilang aku akan naik ke atas, dia langsung bilang, 'aku aja yang ke bawah', tak anterin. Makanya kamu jangan ribut dulu, dengerin aku dulu :D." :)

Ya begitulah, dari dua cerita yang sudah saya ceritakan, semua jawaban yang saya berikan, baik itu jawaban "Tidak (tidak usah)" atau "Ya (ya aku naik ke atas)" itu ternyata jawaban yang bukan jawaban sebenarnya. :D *lho

Entah kenapa, tapi ya seperti itu lah. :D Jadi terkadang, di dalam jawaban "Tidak" itu terdapat harap-harap iya. dan di dalam jawaban "Iya" itu ada harap-harap tidak. :D

Beda lagi dengan cerita teman saya yang lain. Di cerita selanjutnya. :)


Beda orang, beda cara berbicara.

Ini adalah salah satu cara menghormati orang yang sedang kita ajak bicara (tidak hanya bicara, tapi juga sms, dan model direct message lain). 

Ceritanya begini, ini masuk dalam salah satu ilmu komunikasi. Ketika kita berbicara dengan simbah, sudah sewajarnya dan sepantasnya bahasa yang digunakan tidak menggunakan "aku" "kamu", begitupun ketika berbicara dengan orang tua kita, guru, dan yang lain yang lebih dituakan. 

Sebenarnya itu bukan aturan baku. Hanya aturan tak tertulis, penjagaan moral di kalangan masyarakat saja.  Tapi karena sudah membudaya, efeknya begitu terasa ketika kita melanggarnya.

***
Contoh ketika kita berbicara dengan nenek, "Nek, kamu punya sendok di dapur? Aku mau makan siomay nek." Alangkah lebih indah di dengar ketika yang dikatakan adalah, "Nek, nenek punya sendok di dapur? Nana mau makan siomay nek." 

Beda dengan nenek, beda pula dengan teman kita.

Bahasa yang digunakan adalah bahasa persahabatan. Kuncinya, bisa menempatkan diri dengan baik ketika berbicara. Dan memang harus 'legowo' ketika berbicara dengan yang lebih tua, tentang segala sesuatu yang dibicarakan, dan tetap menghormati. Karena biasanya yang lebih tua akan 'merasa' lebih berpengalaman.

Eits, yang muda jangan senang dulu. Yang tua juga jangan marah. Memang kodratnya seperti itu sepertinya  Masing-masing kita pun merasakan menjadi 'yang muda' dan menjadi 'yang tua'.

Menjadi yang muda ketika harus berbicara dengan orang tua kita, dosen, guru, budhe, paklik, dan yang lainnya, bagaimanapun kita harus menghormati mereka, minimal dengan senyum tulus. 

Dan menjadi yang tua ketika harus berbicara dengan adik, adik angkatan, murid, dan yang lainnya, kita pun harus mawas diri bahwa tak selamanya kita itu benar  kita pun harus banyak belajar dari yang muda 

Bisa menempatkan diri (sebagai yang tua), dan bisa ditempatkan (sebagai yang muda) itu keren 

masih tentang #muslimKeren 

Rabu, 09 Oktober 2013

Jadilah Dirimu Sendiri (Belajar dari Film Epic)

Alhamdulillah, dalam beberapa waktu yang lalu,  masih diperkenankan untuk menyempatkan diri menonton film oleh Yang empunya waktu :) Kali ini filmnya berjudul EPIC.

Sebuah film dari negeri jauh, yang mengisahkan tentang kehidupan sebuah kumpulan aneh menurut saya, sekumpulan manusia daun.Ya, film ini memang diambil dari buku anak “The Leaf Men and the Brave Good Bugs”.

Lalu apa hubungannya antara film ini dengan kepercayaan terhadap diri sendiri? Sehingga kita harus dengan bangga menggaungkan nama kita sendiri, “I am Ihti”, ya saya Ihti, dan saya bangga menjadi Ihti. Bukan bangga karena Ihti yang memiliki banyak kekurangan, namun dengan sepenuh kerendahan hati, saya mengucapkan, saya bangga menjadi Ihti yang telah diciptakan ‘sempurna’ sebagai manusia. Dan bagi saya ini adalah bentuk rasa syukur yang tiada terkira, yang menolak seluruh caci hina yang dilontarkan manusia lain terhadap saya.

Sudah barang tentu bahwa masing-masing kita memiliki kekurangan dan kekurangan itu seringkali menjadikan alasan kita untuk ‘tidak percaya diri’. Namun rasa syukur dengan segala nikmat Tuhan yang lengkap, yang diberikan kepada saya benar-benar dapat meruntuhkan dinding kehinaan tersebut. Merasa tidak percaya diri karena kekurangan yang sifatnya fitrah (atau sudah dari sananya) adalah kehinaan. Itu adalah pertanda rasa tidak bersyukur.

Mungkin boleh saja merasa tidak percaya diri, ketika hafalan surat kita tidak sebanyak hafalan surat teman kita. Karena kekurangan itu adalah kekurangan yangsifatnya masih dapat diusahakan perubahannya. Sedangkan tidak percaya diri karena sesuatu yang fitrah seperti merasa tidak sempurna seperti yang lain, misal berkulit sawo yang terlalu matang (lho?:D)  itu adalah hal yang konyol dan menghinakan diri sendiri.

That’s you!

It’s me! Sekali lagi saya bangga mengatakan, “Saya Ihti”

Hubungan antara kepercayan diri dan film EPIC ini dapat kita perhatikan dengan sederhana, bahwa pengganti dari ratu daun yang cantik itu adalah seorang anak kecil yang sangat polos, yang belum mengetahui banyak hal, yang ia merasa dirinya sangat jauh berbeda dengan si ratu, namun ia memiliki keinginan besar untuk bisa menjadi seorang ratu suatu saat nanti.

Dan pada akhirnya Sang Ratu memilih ia, memberinya kuncup bunga ajaib, dan menjadikannya seorang Ratu daun. Bagaimana bisa? Dia seorang gadis yang konyol, ceroboh, dan siapa sangka skenarionya menunjuk dia sebagai ratu.

Begitulah, masa depan kita barangkali tidak ada sangkut pautnya dengan kita yang sekarang. Bisa jadi kita yang sekarang memiliki banyak kekurangan, namun siapa yang tahu skenario hidup kita? Hanya Tuhan. Dan kewajiban kita adalah berusaha.

Si gadis konyol itu tak memandang dirinya hina sama sekali, yang bahkan ibunya sendiri merasa malu dengan kelakuannya, namun ibunya terus membimbingnya. Lalu jadilah ia ratu, yang dipilih karena kebaikan hatinya. 

Ya, kebaikan hati adalah suatu hal yang dapat diusahan perubahannya, perubahan menuju yang lebih baik.
Jadi, menjadi diri sendiri kini bukan lagi pilihan, namun keharusan. Karena itu merupakan rasa syukur kita kepada Tuhan, dengan mensyukuri segala yang ada dalam diri kita. Namun sekali lagi, menjadi diri sendiri bukan berarti membiarkan diri sendiri terus bertahan dalam kejelekan, karena menganggap diri kita yang ‘jelek’ adalah sebenar-benarnya diri kita. Tidak boleh! Karena diri kita terlalu berharga untuk diacuhkan.

Hidayah itu milik Tuhan, tapi hidayah adalah hak bagi setiap insan. Tak terkecuali seorang preman. :D

Dulunya preman besoknya ustad, bisa jadi. Kuncinya, terus perbaiki diri.

Minggu, 29 September 2013

Lagi-lagi Laki-Laki, Pokoknya Laki-laki

Pokoknya laki-laki.

http://dwinzgaprak.blogspot.com/2012/08/apa-itu-pria.html

Apapun yang terjadi pada sebuah kelompok, besar, kecil, laki-laki harus bisa memimpin. Tak ada ceritanya laki-laki tak bisa memimpin. Pokoknya laki-laki. 

Jika dalam kelompok itu ada masalah, berarti laki-laki dalam kelompok itu bermasalah. Ia bermasalah dengan nalar kepemimpinannya. Pokoknya laki-laki.

Jika dalam sebuah kumpulan itu ada masalah, maka bisa ditebak ada masalah pada laki-laki di sekumpulan orang itu. Pokoknya laki-laki.

Terserah. Tersinggung. Atau tersanjung. Pokoknya laki-laki.

Jika kelompok itu memiliki prestasi, belum tentu laki-laki di dalamnya yang memilikinya. Tapi ia berhasil memimpin orang yang memiliki prestasi itu. Laki-laki.

Terserah. Tersinggung. Atau tersanjung. Pokoknya laki-laki yang memiliki tanggung jawab memimpin, meski ia tidak berstatus sebagai pemimpin sekalipun. Lagi-lagi laki-laki.

Sabtu, 28 September 2013

Bahasa Orang Dewasa

Dulu saya sering mengamati perbedaan segerombolan mbak-mbak dan mas-mas yang ada di kampus, ketika berkunjung ke kantin. Membedakannya dengan kami yang baru semester 2

Ketika gerombolan kami tertawa terbahak-bahak, berbicara keras keras, mereka tertawaa seadanya, berbicara dengan gerak gerik senaturalnya alias seperlunya.

Saya heran. Padahalm style berbicara yang paling asyik menurut kami ya yang seperti itu. Seperti yang kami lakukan

Tapi sekarang beranjak dewasa. Saya sendiri yang mengalaminya. Entah karen ahormon yang ada dalam tubuh, yang membuat gerak kami menyusut, atau karena nilai kedewasaan yang kami miliki sekarang bertambah... Menjadi sekumpulan orang yang "perhitungan" dengan segala sesuatu. Kamitidak pernah merasa mengurangi gerak kami, tapi secara sendirinya kami mengurangi tawa kami, suara-suara keras kami. Mengurangi gerak kami yang lincah, dan lainnya. Kami mulai menanyakan hal-hal yang serius baik di kuliah, maupun di antara perbincangan kecil kami sendiri. Bukan lagi pertanyaan-pertanyaan ecek-ecek yang biasa dilontarkan tanpa guna.

Ah entah, mungkin beginilah rasanya dewasa. Tidak ada keasyikan yang berkurang menurut saya. Tidak ada. Gaya kami berbicara dengan berkurang nada tingginya tidak mengurangi keasyikan sesungguhnya.

Mungkin beginilah bahasa dan cara bicara orang dewasa: tak banyak bicara.

Rabu, 25 September 2013

Kami, Es Teh, dan Solidaritas Sampai Tuntas!

Ngomong-ngomong soal solidaritas, ada cerita menarik dalam keseharian yang diam-diam membangun solidaritas di antara kami. Jadi cerita ini adalah antara kami, solidaritas, dan...

es teh!

Apa sih menariknya es teh? Dulu ketika aku menjadi anak rumahan, jarang banget minum es teh. Ada juga minum teh panas kalau dibuatin sama ummi.

Tapi sekarang begitu move ke Jogja, tepatnya di kampus UNY, rasanya minum air putih itu males. Yang enak itu minum es teh. Soalnya, gag ada warung di sini yang gag jualan es teh. Tiap kali beli makanan, es teh selalu menjadi tawaran, "Minumnya apa mbak? Es Teh? Es Jeruk?"

Seolah es teh adalah minuman rakyat yang tersedia dimanapun kita berada, di Jogja.

Aktivitas di kampus, baik itu aktivitas kuliah dari kuliah teori hingga kuliah praktikum, ataupun aktivitas di Organisasi kampus banyak menguras tenaga. Dengan iklim Jogja yang lebih panas dibandingkan iklim di rumah yang sejuk, seolah menjadi alasan tambahan kenapa kami sangat menggandrungi es teh.

Biasanya, kalau kami sudah lelah dengan kegiatan kampus, kami akan merebahkan badan di kamar, dan memencet tombol ON pada kipas angin yang setia menemani hari-hari panas kami.

Biasanya, ketika kami sudah merebahkan badan di kamar, kami menyeruput bungkusan es teh kami masing-masing. Tapi siang ini, hanya ada satu es teh dan ada tiga orang. Temanku si pemilik es teh mempersilakan kami mencicip es teh miliknya. Ah sungguh temanku satu ini, jiwa dermawan dan solidaritasnya sangat luar biasa.

Kami pun menyeruput es teh yang hanya satu bungkus itu untuk bertiga :D meski masing-masing kami hanya mendapat sedikit, tapi nilai persaudaraan dan solidaritas yang tinggi membuat es teh itu serasa bergalon-galon banyaknya :D

Dan setelah selesai meminum es teh nya, kami akan mengatakan, "Apapun amanah nya, minumnya: es teh!" dengan suka cita dan tawa yang melebur di antara kami :D

Kami berbagi satu sama lain, berbagi tempat merebahkan badan, berbagi bahu kami untuk saling bersandar, dan tak terkecuali berbagi sekedar es teh untuk melebur kehausan :) Bagi kami solidaritas yang kami bangun bukan terjadi sebagai sebuah hal yang kebetulan, bukan sebagai suatu hal yang tiba-tiba saja terjadi, tetapi menjadi penguat bagi kami, bahwa kami: tidak pernah sendiri. :)

Akan selalu ada bahu yang bisa disandari, akan selalu ada space untuk merebahkan badan kami, ada senyum yang selalu mendampingi saat sedih, dan pastinya akan selalu ada es teh yang siap dibagi :D

Sampai-sampai suatu saat kami kehausan, dan beli es teh di sebuah kawasan wisata, kami tidak menyangka harga es teh yang dijual sangat mahal, tapi apa daya :D dengan porsi es teh yang hanya ada 3 cup kecil, yang harganya selangit untuk ukuran es teh, Rp.6000,-! Bayangpun tiga bahkan empat kali lipat dari harga es teh biasa :D Rasanya pun jauh lebih baik es teh angkringan :D Meski begitu, "Apapun amanahnya, minumnya: es teh!"

Kami, Es Teh, dan Solidaritas Sampai Tuntas! Tuntas sampai persahabatan kami berakhir karena waktu...

Senin, 23 September 2013

Mbak Wanodya (Dio) dan mbak Anistika Retno (Anis)


Tragedi Kerudung Kaos.

Siang ini, rasanya kepalaku di ubun-ubun terasa panas, pusing. Kemudian, aku mendapat sms untuk datang ke sebuah tempat, katakanlah janjian. Janjian di masjid.

Awalnya aku menolak untuk datang, karena dengan keadaan kepalaku yang seperti ini aku tak bisa membayangkan bagaimana caranya aku bisa berjalan jauh sampai ke masjid. Tapi aku tengok di luar, ternyata ada mbak Dio. Mbak Dio kan punya motor, barangkali saja aku bisa memintanya mengantarkanku sampai ke masjid.

Set-set-set... (ganti pakaian)

+“Mbak, aku boleh minta tolong gag?”
-“Apa dhek?”
+”Mbak Dio bisa nganterin aku ke masjid Mujahidin gag?”
-“Mau ngapain emang?”
+”Mau ketemu seseorang mbak.”
-“Kamu mau ke masjid Mujahidin pake kerudung gituan? (Red: kerudung kaos warna coklat muda)”
+”Iya mbak (dengan muka heran)”

Sontak terdengar tawa seluruh penghuni kost kamar depan.

-“Ganti! Ganti! Ganti! Gag rela aku liyat akhwat pake kerudung gituan >_<” jawab mbak Dio dengan ekspresi marah dan dengan muka herannya menatapku.
+Aku hanya tertawa, “Ya gag papa kan mbak.”

Eh dengan senang hatinya mbak Anis langsung menimpali... “Haha rupamu ih! (dengan nada girang) Ra sah diterke Dio, nek ra gelem ganti (dengan aseli logat jogja nya)”

-“Iyo ra tak ter ke nek ngono kui...”
+Aku hanya menutup muka dengan jaket yang menempel di badanku. Dan segera berbalik arah dan mengganti kerudungku. Begitu aku keluar dengan kerudung lain, “Naaaaaaaaah (serasa ada paduan suara dari dalam) gitu lho.”

Baiklah-baiklah, ternyata selidik punya selidik, aku diminta berganti kaos karena, “Lha koyo wong tuwo koe nganggo koyo ngono dhek...” (sebenarnya bukan itu alasan utamanya)



Menjaga penampilan ketika keluar rumah itu ternyata perlu lho J selain menghormati orang yang akan kita temui, sebagai perempuan muslim, pakaian yang rapi dan enak dipandang itu sangat disarankan. Seperti halnya menjaga ada bertemu dengan orang lain. Kerudung kaos itu bisa dikatakan tidak sopan ketika digunakan di luar rumah, karena terlihat sangat tidak resmi atau bahasa kasarnya umbrush. Karena ruang pertemuannya masih di area kampus, maka perlu adanya adab menjaga penampilan, apalagi perempuan. 

Dengan catatan tidak berdandan atau berhias berlebihan...

Jumat, 20 September 2013

Senyum

Ternyata senyum itu sesederhana menawarkan minum :) di sana ada senyum... tulus pula. Mau coba?

Tersenyum sepertinya adalah hal sepele. Walau sudah sering menjadi bahasan dalam hadits, bahwa senyum itu ibadah, namun nyatanya banyak orang yang memiliki permasalahan dengan senyum. Banyak dari kita yang sulit untuk menemukan alasan untuk tersenyum. Katanya, nanti jadi senyum-senyum sendiri. Atau alasan lain tak mau tersenyum biasanya adalah merasa tidak menjadi diri sendiri.

Senyum itu menentramkan hati, senyum itu menyejukkan hati yang melihatnya. :)

Senyum itu mempererat hubungan. Senyum itu melanggengkan persahabatan dan persaudaraan. :)

Kita uji coba saja dalam sehari.

Tidak perlu senyum yang berlebihan, cukup senyum sekadarnya, agar tidak terlihat masam di hadapan orang yang sedang berinteraksi dengan kita. Pelajari cara-cara tersenyum, jika kita kesulitan untuk memulainya.

Dan jika sudah memulainya, kau akan bisa merasakan manfaatnya. Manfaat untuk tubuhmu sendiri, atau bahkan manfaat untuk orang-orang yang kau temui, yang nantinya manfaat itu akan kembali ke diri kita lagi. Tanpa ada pengurangan dari Allah atas nikmat tersenyum itu :)

Yuk senyum, supaya terlihat berseri di hadapan saudara kita, karena kita tak boleh terlihat masam di hadapannya :) Agar ia bahagia. Agar ia mendapatkan motivasi dari kita, ketika ia sedih.

Ayolah :)

Rabu, 18 September 2013

Apa Yang Seharusnya Dilakukan Akhwat di Facebook?

Bismillahirrahmanirrahim...

Kali ini, kita akan membahas hal yang ringan-ringan saja dulu. Kali ini Facebook dan akhwat.

Facebook sebagai media sosial(isasi) dan akhwat sebagai 'sosialita' dakwah. Dakwah islam itu mengajarkan kita untuk membicarakan dakwah dimana saja. Maka hal itu berakibat da'i sebagai pengusung dakwah adalah cerminan dari dakwah itu sendiri.

Bisa jadi, seseorang kawan tertarik mendalami islam karena mendapat hidayah dari keteladanan yang kita bawa. Namun juga sebaliknya. Bisa jadi orang terdekat kita illfeel dengan islam, dakwah, dan akhwat karena contoh yang kita bawa.

Hal sepele saja, Facebook. Tren yang sedang beredar adalah update status. Sampai sedang aktivitas apapun bisa jadi bahan update-an. Di kelas, ketika kuliah, ketika di warung bakso, atau ketika berfoto dengan teman. ^_^

Sudah seharusnya kita melakukan perubahan. Bagi yang masih suka update-update yang bermanfaat, sekarang bisa beralih update apapun yang bermanfaat bagi yang melihat dan membacanya. :)

Tren yang sedang beredar tidak harus selalu kita follow dengan mentah-mentah.

Ya siapa sih yang tidak suka menceritakan kejadian menarik yang kita alami dengan teman-teman dekat kita, kita berfoto bersama, ngobrol bersama, dan memunculkan semua kejadian tersebut menjadi sebuah status pemuas dan penenang 'monster keinginan' manusia. Monster keinginan manusia adalah monster yang selalu menghantui manusia dengan beribu keinginan dunia.

Senang lho kalau bisa update dapet boneka baru yang dikasih dari temen. Difoto, diupload, ditambahi beberapa kata-kata manis tanda ucapan terimakasih.

Dilihatlah itu oleh semua.

Kumpul dalam satu forum, dengan orang-orang yang dekat dengan kita. Ambil fotonya, upload, dan tag semua nama orang-orang yang ada dalam foto. Tersebarlah di beranda, hingga semua orang tau, kita ada dimana, sedang beraktivitas dengan siapa saja, ada kedekatan apa, ada hubungan apa, ada pembicaraan apa. Dan semua pembicaraan, aktivitas, dan obrolan yang ada dalam update-an hanya kita dan orang-orang yang ditag yang tau. Sedangkan yang lain dipersilakan menonton.

Seolah ingin memperlihatkan semua itu di depan orang yang tidak memiliki aktivitas serupa. Memperlihatkan bahwa beruntungnya ia, atau sedihnya ia, atau bahagianya ia.

Sebagai akhwat, perempuan yang sadar akan perannya dalam islam sebagai da'i. maka yang perlu dilakukan adalah MENGONTROL DIRI. Mengontrol diri artinya adalah menjaga diri.

Status facebook sekarang sudah seperti bukan dunia maya lagi.tapi sudah seperti kehidupan nyata. Kehidupan yang kita alami selama ini, Menulis update-an

Kamis, 05 September 2013

Komunikasi ala Film Life Of Pi

Malam tadi... tiba-tiba terhenti pada pintu kamar cinta Alhida nomor 1. Di sana ada mbak Desiana dan Atika, dengan posisi PW menonton film berjudul Life Of Pi. Sudah setengah perjalanan film, terlihat seorang berambut ikal, mirip orang India, dengan seekor harimau Benggala berada di sebuah perahu mengapung di lautan luas dan buas.
Sumber gambar:
http://2.bp.blogspot.com/-4tCx4NfPYAQ/ULE7r7ZNZNI/
AAAAAAAAAks/hR_YBvcNW5g/s640/Life+of+Pi+3D+poster.jpg

Aku tertarik untuk bergabung :D Edisi belum banyak tugas kuliah :D
Lama-kelamaan keduanya menjadi kurus, dan badannya tak terurus. Bayangkan saja, lama mengapung di lautan tanpa ada pertolongan, yang akhirnya membuat rambut si manusia ini menjadi gondrong, kulitnya menghitam... ah kasihan.

Ia tak tega untuk membunuh si harimau, ia memilih untuk tetap bertahan bersama si Benggala.

Ada satu percakapan yang menurut ku menarik. "Kalau kita ingin terus hidup bersama, maka kita harus belajar berkomunikasi."

Ya, kalimat itu sangat berkesan untukku. Adegan dalam film itu menggambarkan suasana ketika seorang manusia harus bertahan di tengah laut dengan  harimau yang sejatinya bisa memangsanya kapan saja. Namun sepertinya sebagai manusia, ia terus berusaha menaklukan si Benggala, bagaimanapun ia berpikir keduanya harus bertahan, baik dirinya, maupun Benggala berbadan kekar itu.

Sumber gambar:
http://2.bp.blogspot.com/-hEsUz6bULgE/UOGrwHW6HQI/
AAAAAAAAJS4/JjEsps7B3h8/s200/Life-of-Pi-2.jpg
K O M U N I K A S I adalah suatu bentuk pemecahan masalah baginya. Dengan belajar berkomunikasi keduanya bisa bertahan lebih lama, karena adanya proses timbal balik dan pengertian bersama, namun jelas, komunikasi antara keduanya adalah komunikasi dengan bahasa hewan, manusia lah yang memiliki otak yang pada akhirnya harus menyesuaikan. Ia mencari cara berkomunikasi dengan harimau, dengan tongkat dan peluitnya. Ia melakukan banyak pelatihan dan penyesuaian. Dan terjalinlah komunikasi.

Ya, jika direfleksikan ke kehidupan kita sebagai manusia, kita sebagai sesama manusia pun harus bisa belajar berkomunikasi satu sama lain. Belajar, ya belajar. Karena bisa jadi ada di antara kita yang memiliki masalah komunikasi dengan orang di sekitar kita. Bagaimanapun kita akan hidup bersama manusia yang lain, teman yang lain, saudara, sahabat, partner, dan orang-orang di sekitar kita. Jika kita memiliki masalah dan tak mau berkomunikasi, tak mau belajar membangun komunikasi, itu sama halnya kita membiarkan salah satu di antara kita tenggelam di lautan :D eh salah, maksudnya kalau tidak ada komunikasi, itu artinya kita membiarkan satu di antara kita atau bahkan keduanya masuk dalam prasangka. Dan sebagian prasangka adalah dosa. Iya masih beruntung kalau kita hanya berhenti pada prasangka, kalau sampai masalah yang kita pendam tanpa ada komunikasi menjadi gosip, apa daya. Maka komunikasi itu penting.

Bayangkan, jika komunikasi itu tidak terjalin di antara kita ketika kita memiliki masalah dengan seseorang, padahal kita memiliki tugas yang harus diselesaikan bersama. Dan tugas itu adalah tugas yang menyangkut sebuah sistem, namanya juga sistem, kalau satu tugas tidak dikerjakan dengan baik, maka bagian sistem yang lain akan terganggu. Itu contoh jika kita tidak belajar berkomunikasi dengan partner kerja. Maka sistem akan terganggu. Miss komunikasi akhirnya. Sistem hancur, kepentingan orang banyak jadi hancur.

Contoh lain jika kita gagal berkomunikasi dengan bapak ibu. Ada sebuah masalah yang sejatinya harus dikomunikasikan kepada bapak dan ibu. Namun tidak kita komunikasikan. Akhirnya masalah itu mencuat juga sampai ke telinga orang tua kita dari mulut orang lain. Parah sekali nantinya. Padahal jika kita mau belajar berkomunikasi, memilih jalan komunikasi yang baik, seperti si manusia belajar berkomunikasi dengan harimau, dengan terus mencari cara yang pas, masalah bisa teratasi, minimal tidak menjadi lebih buruk.

Komunikasi dibutuhkan tokoh utama film Life of Pi untuk mempertahankan dua nyawa. Komunikasi dibutuhkan kita bersama, untuk mempertahankan kita dari buruknya efek tidak berkomunikasi :D

ah artikan sendiri ya :D

Saran saya, apapun permasalahan kita dengan orang lain maka komunikasi adalah jalannya, meski bukan jalan satu-satunya, namun komunikasi adalah jalan yang melegakan, jalan penuh berkah karena kita bisa menjalin ukhuwah (persaudaraan), jalan yang baik, insyaAllah.

Tetap dengan batasan yang sudah ditentukan syariat islam. Misal antara laki-laki dan perempuan harus diperhatikan batasannya, antara anak dan orang tua diperhatikan tata kramanya, dengan sesama teman diperhatikan perasaannya, Rasulullah selalu memiliki gaya berkomunikasi yang berbeda jika harus berhadapan dengan orang yang berbeda. Beda ketika Rasul berkomunikasi dengan Abu Bakar yang lemah lembut dan sensitif, beda pula ketika harus berkomunikasi dengan Umar yang gahar :D Atau ketika berbicara/ berkomunikasi dengan 'aisyah yang pintar. Bagaimanapun masalahnya, kaomunikasi harus tetap berlangsung, dan aturan pun tetap melekat.

Anda punya masalah dengan saya? :) komunikasikan :P Jika kita ingin tetap hidup bersama :D

Rabu, 28 Agustus 2013

Mbak Titis

Orang satu ini, datang-datang ke kos bikin keributan :D

Niatan awal ia ingin menjemput mbak Dey Iftinan alias mbak Desi untuk pergi, entah kemana. Sampai di kamar cinta RCA no.4, aku masih cuek (karena sedang sibuk dengan urusan sendiri). Tiba-tiba mbak Titis nyeletuk ketika aku lewat depan kamar, "Bapak-ibu mu gimana kabarnya ih (red: ihti)?"

"Alhamdulillah baik," jawabku. Awalnya biasa saja, beberapa detik kemudian aku mikir ada yang aneh dengan pertanyaan mbak Titis ini, "Kog tanya nya tanya kabar ortuku mbak? Bukan kabarku."

Mbak Titis menjawab dengan sangat entengnya, "Ya kan nanyain kabar 'orang tuanya garuda keadilan' yang ada di belahan bumi lain." Hahahaha modus, ternyata itu alasannya. Orang satu kos RCA mendengar alasan itu dan sontak ada yang nyeletuk, "Wah blak-blakkan banget :D"

Itu baru pertanyaan aneh pertama yang keluar dari mulut mbak Titis. Ia sedang ngobrol dengan penghuni RCA yang lain, kemudian menyahut namaku, "Ya nggak ih?" karena masih sibuk dengan urusanku, aku menjawab sekenanya, "Nggak tau ah mbak, aku lagi stress."

Dengan renyahnya mbak Titis menimpali, "Hahahaha ini kossan apa rumah sakit?!"

Sontak kami para penghuni RCA tertawa, aku hanya bisa geleng-geleng kepala. Ya, hiburan sejenak lah untuk ku :D


Selasa, 13 Agustus 2013

Mau Belok? Riting Dulu Mas Brooo :D

Bismillah,

Masih heran, selama hidup bertahun-tahun, untuk mengambil satu pelajaran saja rasanya sulit juga. 20 tahun lebih, untuk sekadar belajar menentukan arah hidup saja masih perlu banyak pertimbangan. Sudah berkepala dua, pengambilan keputusan sudah menjadi GAWE sendiri, padahal sebelumnya, segala sesuatu masih menjadi gawe orang tua. Mungkin orang tua sudah memberikan kepercayaan tersendiri untuk tubuh yang sudah besar ini.

Hidup ini kita simulasikan sebagai perjalanan mengendarai motor. Kita sedang mengendarai motor (katakanlah) di jalan Solo, jalan lintas Jogja Solo yang selalu ramai. Kita hendak parkir di kanan jalan. Sejatinya kita tahu, tempat kita berkumpul dengan teman-teman satu rombongan masih jauh lurus ke arah depan, belum seharusnya kita parkir, namun ceritanya kita nekat parkir. Apa yang harus kita lakukan? Memberikan riting! pelan-pelan setelah memberikan riting, maka yang selanjutnya adalah menyeberang.

Ada beberapa kemungkinan ketika kita memberikan riting kanan.

Kemungkinan pertama adalah ada banyak orang yang membunyikan klakson di belakang kita, karena kita sedang berada dalam rombongan. Maksud mereka (rombongan) supaya kita tidak terpisah. Dan kita tidak jadi parkir. Atau tetap memilih nekat untuk parkir.

Kemungkinan kedua, kita sudah berhasil menyeberang, namun tukang parkir tidak menghendaki kita parkir di sana, jadi kita diminta untuk tetap lurus. (Gagal parkir, lagi)

Kemungkinan ketiga, kita menyeberang tanpa halangan, dan mendapat tempat parkir yang nyaman sesuai dengan keinginan.

Saya tetap membenarkan keinginan kita untuk 'parkir', dengan catatan, keinginan kita beralasan, mungkin bensin yang hampir habis dan hendak beli bensin di tepi, atau sekalian mampir beli sesuatu yang jaraknya tak jauh dari situ, atau dengan alasan yang lain.

Ketiga kemungkinan itu bukan perkara kita, bukan kita yang mengurusi, subyeknya adalah orang lain. Sedangkan yang menjadi maslahat kita adalah USAHA kita. Usaha yang kita lakukan untuk memberikan riting. Usaha yang kita lakukan untuk berjalan pelan-pelan, supaya memberikan kesempatan bagi pengendara lain untuk menyalip lewat kiri. Serta usaha kita untuk menyeberang  ke kanan, itu yang menjadi maslahat kita.

---

Pada akhirnya jika kita pindahkan sudut pandang kita dari perjalanan naik motor menjadi kehidupan nyata kita, maka kita akan memiliki cerita seperti berikut ini.

Kehidupan. Penuh dengan pilihan, penuh dengan pertimbangan pengambilan keputusan.
Ketika orang-orang di sekeliling kita (rombongan) menginginkan kita untuk seperti ini dan seperti itu, sedangkan kita memiliki pilihan tertentu yang tidak sesuai dengan apa yang merekan inginkan. Inilah PROBLEMATIKA. Seperti halnya kasus perjalanan kita ketika akan parkir menyeberang ke kanan, padahal rombongan baru akan parkir di depan.

Lalu apa yang harus kita lakukan jika terjadi problematika seperti itu? Komunikasi. Ya benar, komunikasi.
Bagi kalian yang pernah mengalami problematika hidup seperti itu, saya rasa jalan keluar yang utama adalah KOMUNIKASI. Ini bukan analisis teoritis belaka, tapi saya pun sudah mengalaminya dan mempraktikkannya. Lalu komunikasi yang bagaimana? Komunikasi semacam RITING itu tadi. :)

Ada orang yang memilijh ikut saja dengan keinginan orang sekitarnya (tidak jadi menyeberang), ada juga yang mengambil keputusan ekstrim dengan mengikuti keinginan pribadi, tanpa menghiraukan keinginan dan harapan orang-orang sekitar, padahal orang sekitar juga pasti punya alasan yang matang ketika menginginkan kita untuk seperti ini adan seperti itu (yang ini berhasil menyeberang paksa).

Menurut saya ya jangan seperti itu laaah, jangan manut saja menuruti orang sekitar, padahal kita punya keinginan, tapi juga jangan egois dengan keinginan individual kita sendiri.

KOMUNIKASI! RITING!

Kita harus mempertahankan keinginan kita, keinginan dan kemauan yang kita punya! Jelas! Harus! Tapi dengan cara yang cantik. Cara yang sopan. Cara yang tidak menyakiti siapapun, tidak mereka, dan tidak diri kita. Lalu bagaimana caranya? 

Riting!

Ketika kita memiliki keinginan, berilah riting. Berilah tanda. Tanda jika kita benar-benar menginginkan keinginan itu, riting kanan ketika akan menyeberang ke kanan adalah tanda bahwa kita benar-benar menginginkan untuk berbelok. Perkara apakah selanjutnya kita diklakson, itu perkara nanti. Perkara apakah nanti kita dimarahi, perkara nanti. Bukankah kita sedang mencoba.

Toh ketika kita sedang menyalakan riting, kita tidak langsung menyeberang, kita tidak langsung membelok, tapi kita berjalan pelan-pelan. Itu juga masuk dalam usaha kita. Ketika kita sudah memberikan tanda atas kesungguhan kita, maka yang harus kita lakukan adalah menunjukkan usaha kita, bersungguh-sungguh. Tidak secara spontan, dengan gertakan, atau dengan memberikan kejutan dengan langsung berbelok, melainkan kita tunjukkan pelan-pelan.

Lalu kita analogikan tukang parkir itu sebagai Tuhan. Tukang parkir yang menentukan apakah kita bisa parkir atau tidak setelah kita menyeberang. Tuhan lah yang menentukan hidup kita, apakah keinginan kita akan tercapai atau tidak sama-sekali.

Maka riting (memberikan tanda, sinyal) adalah bentuk komunikasi cantik dari kita kepada orang-orang di sekeliling kita, kalaupun keinginan kita tidak disetujui, tapi kita sudah mendapat tempat parkir, mau bagaimana lagi. Toh sudah terlanjur parkir :D

Ya sudah, yang penting apa yang menjadi pilihan kita adalah hal yang baik, buka hati untuk tetap mendapat saran dan kritik dari orang-orang di sekitar kita. Dan kalau sudah berhasil parkir, maka kita harus bertanggung jawab untuk tindakan yang kita lakukan selanjutnya. Dan jangan lupa berkomunikasi dengan Tuhan, utarakan keinginan dan alasan kita. Semoga dimudahkan parkir :)

_Diana Azhar_


 
Design by Wordpress Templates | Bloggerized by Free Blogger Templates | Web Hosting Comparisons