Sabtu, 21 Desember 2013

Cinta yang Bersih

Aku (sempat) kehilangan makna cinta. Ia begitu mempesona, hingga membuat semua orang terlupa. Tidak. Bukan itu yang seharusnya. Bukankah seharusnya cinta membuat orang tersadar? Bukan terlupa?

Lalu kemanakah cinta pergi.

Mungkin aku salah mengenal. Mungkin yang ku kenal bukan cinta. Ia orang lain. Ia bukan cinta. Ya, mungkin aku salah, salah mengenal.

Lalu mana cinta.

Ini permasalahan besar. Aku benar-benar terlupa, selama ini. Terlupa, ah cinta membuatku lupa. Oh bukan, salah untuk kedua kalinya, itu bukan cinta, aku salah mengenal. Aku harus cari tahu siapa dia.

Rupanya dia bukan cinta.

Benarlah apa yang dikata Raihan dalam lagunya, Mengemis Kasih... Ternyata aku mengemis kasih, bukan mencinta.

Tuhan dulu pernah aku menagih simpati
Kepada manusia yang alpa jua buta
Lalu terhiritlah aku di lorong gelisah
Luka hati yang berdarah kini jadi kian parah

Semalam sudah sampai ke penghujungnya
Kisah seribu duka kuharap sudah berlalu
Tak ingin lagi kuulangi kembali
Gerak dosa yang menghiris hati

*)
Tuhan... dosaku menggunung tinggi
Tapi rahmat-Mu melangit luas
Harga selautan syukurku
Hanyalah setitis nikmat-Mu di bumi

Tuhan... walau taubat sering kumungkir
Namun pengampunan-Mu tak pernah bertepi
Bila selangkah kurapat pada-Mu
Seribu langkah Kau rapat padaku


Mana ada cinta menimbulkan dosa, bukankah cinta murni adanya. Kemurnian bersih dari dosa. (Idealnya). Cinta itu ridho, ridho siapa? Allah tentunya. 

Maafkan aku yang mendua, mencintai dunia. Padahal kutahu Kau Maha cemburu. 

Baiklah. Katakan putus! Aku cinta pada apa yang Allah cinta. Menumbuhkan cinta berbeda jauh dengan menumbuhkan dosa. Ayo, buat Allah percaya, bahwa Ia satu-satunya.


Jumat, 13 Desember 2013

Aku Penggembala

Aku lah penggembala...

Berjalan pelan menahan ikat gembala.

Aku penggembala emosi, kurasa emosi adalah gembala yang liar. Ia mudah saja melakukan hal-hal reaktif. Awalnya aku canggung memegang ikat/ kekang gembalaanku. Selain reaktif, ia pun agresif.

Ada dua emosi yang kugembala. Dua gembala ini kunamai gembala 'senang' dan gembala 'sedih'. Dua gembala saja sudah membuatku kewalahan. Mereka berdua luar biasa.

Aku pernah mendengar istilah, "Di dalam hatimu ada dua macam serigala, serigala baik dan serigala kejam, mana yang akan menang berperang di hatimu, adalah ia yang paling banyak kau beri makan."

Aku jadi teringat dengan dua gembalaanku. Si 'Sedih' dan si 'Senang'. Barangkali benar apa yang dikatakan dalam istilah tadi, yang paling banyak kuberi makan lah yang akan cepat besar, yang akan lebih unggul, yang akan menang.

Kupikir awalnya aku akan memenangkan salah satunya, memenangkan gembala yang baik, yaitu gembala 'Senang'. Selama menggembala, gembala 'Sedih' memang seringkali berperangai buruk, ia sering tak semangat, ia lesu, ia malas, bulunya tidak segar dipandang mata. Sedangkan gembala 'Senang' selalu memiliki energi yang lebih, ia memiliki bulu halus dan enak dipandang, ia berperangai baik, dan sering membawa keuntungan.

Ya, pada akhirnya aku lebih suka memberi makan gembala yang satu dibanding gembala yang lain, gembala 'Senang'. Aku lebih suka membawanya berkeliling padang rumput, berlari-lari dengannya, meladeni kemauannya, ah seketika gembala itu membesar.

Itu lah yang setiap hari aku lakukan, bersamanya,  menggembalanya, dan aku melupakan si gembala 'Sedih'. Maka tak heran jika setiap hari aku tertawa, setiap hari aku terbahak, perasaanku melayang. Aku akan selalu mencari alasan untuk membuat si gembala 'Senang' ini terus senang, agar aku tetap senang.

Banyak usaha yang kulakukan. Aku mulai menggembala lebih pagi karena aku sangat bersemangat. Banyak orang yang memujiku, aku tampak rajin di hadapan mereka, aku semakin rajin dan rajin. Tidak hanya di pagi hari, di siang hari aku lebih giat mencarikan makan untuk si 'Senang', aku berusaha keras, meramu makanan untuknya bertumbuh besar, besar, dan terus besar, akhirnya banyak pujian berdatangan, gembalaanku pun semakin besar, ya si gembala 'Senang' semakin besar.

Aku semakin senang menghabiskan waktu di luar rumah. Aku jauh dari rumah bersama si 'Senang'.

Hingga datang suatu saat, dimana aku kelelahan bermain besama si 'Senang', aku merasakan ada yang hilang, energiku habis untuk tertawa, berlari-lari, dan meladeni pujian orang. Dulu aku pergi menggembala dengan si 'Sedih' juga, tapi aku lupa dimana si 'Sedih' sekarang. Lama aku tak pulang ke rumah, aku lupa pada rumah.

Aku lupa rumah.

Tapi aku masih ingat jalan pulang ke rumah. Ketika aku pulang ke rumah, betapa kaget diriku, si 'Senang' ternyata tumbuh begitu besar, hingga ia tak bisa lagi aku masukkan ke dalam kandang, ia tak terkontrol ketika aku masuk ke dalam rumah, tak kusangka, ia meng-obrak abrik segalanya di luar rumah, hanya karena ia tak bisa kumasukkan ke dalam kandang. Ia membuat tetanggaku marah padaku, karena memberinya makan terlalu banyak. Ah bagaimana orang-orang ini, dulu mereka memujiku dengan beribu pujian karena aku menggembalanya dengan baik, tapi kini semua orang lari dariku, sungguh mengecewakan. Dan perasaan kecewaku kulampiaskan pada si 'Senang'. Ia tak lagi terurus sekarang.

Aku terlanjur kecewa padanya.

Ia yang sudah bermain denganku sepanjang waktu, kini merusak segalanya. Bahkan merusak rumah-rumah tetangga.

Aku sadar kini. Aku terlalu asik bermain dengannya, hingga aku lupa semuanya, dan kini aku kecewa.

Kecewa memang seringkali datang di akhir. Aku lama termenung di rumah, memikirkan bagaimana caranya memperbaiki semua ini, dan si gembala 'Sedih' yang sudah kutinggal dalam beberapa waktu itu menghampiriku. Kini aku bersamanya. Aku tahu, sebenarnya ia tidak seburuk itu, si 'Sedih' hanya ingin mengingatkanku pada rumah. Ia ingin aku berlama-lama di rumah.

Ya memang, jika berada di rumah aku selalu merasa sedih, teringat akan banyak masalah. Tapi ketika aku keluar rumah, aku merasa semua masalah hilang (hilang secara semu), itu lah mengapa aku banyak menghabiskan waktu bersama si 'Senang'.

Kini aku sadar, Tuhan memberiku 2 gembala, 'Senang' dan 'Sedih' agar aku bisa menggembala nya dengan seimbang. Aku menggembala keduanya tidak dengan memberatkan pada salah satu, namun bagaimana aku bisa mengatur keduanya agar seimbang, mungkin itu yang dimaksudkan Tuhan.

Bahaya ketika aku terus selalu bersama si 'Senang' karena ia membuatku lupa akan tempat awal aku berpijak, rumah. Kesenangan membuatku lupa pada awal aku diciptakan, pada siapa Yang menciptakanku, kesenangan membuatku melayang tanpa pijakan. Kesenangan itu melenakan. Pujian-pujian yang kurasa menyenangkan itu ternyata hanya semu saja. Ya semua yang datang dari manusia itu semu. Seharusnya apa yang keluar dari mulut manusia tak membuatku senang berlebihan, aku harus tetap bisa mengendalikan. Kukendalikan kau gembala 'Senang'!

Si 'Sedih' sering membuatku kembali ke rumah. Ia membuatku terus mengingat Tuhanku. Aku sering bercengkerama dengan Tuhan ketika merasa bersedih, teringat dengan semua masalah. Dan perasaan sedihlah yang membuatku semakin dekat dengan Tuhan, aku semakin mendekat pada Nya dan Ia pun semakin dekat dengaku. Hingga aku berlama-lama bersama Nya.

Namun bahaya jika aku terus bersama si 'Sedih', memang, aku akan selalu dekat dengan Tuhanku, tapi Tuhan pernah mengutuk orang-orang yang hanya memikirkan kedekatannya dengan Tuhannya, tanpa memikirkan kedekatannya dengan orang-orang di sekelilingnya. Bahkan manusia paling sempurna, sebut saja Muhammad SAW, pernah ditegur tentang wajahnya yang masam di hadapan salah satu manusia. Jika ia ditegur ketika melakukannya sekali, maka aku seharusnya aku mendapatkan teguran berkali-kali ketika bermuka masam, karena perasaan sedih sering mengikat wajahku menjadi wajah yang sangat tidak enak dipandang oleh saudara lainnya.

Aku bertekad untuk menggembala keduanya dalam keseimbangan, tidak membiarkan salah satunya menang, namun aku gembala kan mereka dalam ke-tawazun-an, seimbang sesuai kebutuhan.

Patokan yang aku gunakan adalah tengah-tengah, yaitu tidak mudah sedih dan tidak mudah senang, melainkan tetap tenang (calm). Ketika merasa senang kutahan untuk memanjakan si 'Senang', supaya aku tak bertambah senang, karena itu akan menjadikannya tumbuh berlebihan, seperti halnya aku senang dipuji orang, itu adalah hal yang berlebihan akibat memanjakan si 'Senang' padahal pujian adalah sesuatu yang melenakan.

Aku pun tak akan terus bersedih hati, ketika sedih, sedih sekali, aku tidak akan memanjakan si 'Sedih' dan memberinya makan terus menerus, aku takut kesedihan itu membesar dan berlebihan.

Yang aku cari adalah ketenangan.

Entahlah, dua gembala ini sangat membingungkan, tetapi harus terus mencoba tawazun, seimbang.

Pujian manusia, tak seharusnya menjadikan besar hati, celaan manusia tak seharusnya menjadikan kecil hati. Karena ujung usia gembalaan kita nantinya akan kita kembalikan kepada Yang berpunya, maka hati ini juga harus dijaga untuk tidak besar dan kecil seenaknya, melainkan tetap tenang dan bersyukur dengan apa yang ada. Tidak mudah reaktif dengan hal-hal yang menyenangkan, dan tidak agresif dengan hal-hal yang menyebalkan. Kuncinya, tetap tenang, dan pegangi tali kekang.

Salam untukmu sesama penggembala :)

 
Design by Wordpress Templates | Bloggerized by Free Blogger Templates | Web Hosting Comparisons