Senin, 30 Maret 2015

Tentang Mimpi

Allah itu memberi hidayah dari mana saja ya ternyata...Termasuk hidayah yang Ia berikan pada saya hari ini.

Ini tentang mimpi.

Sebelumnya terimakasih kepada mas Aziz yang telah membantu saya mendapatkan mimpi saya.

Masih pagi, datang pertanyaan, "Kira-kira realistis tidak jumlah segitu?" Kami sedang membicarakan targetan kuantitas sebuah rencana.

Spontan saya menjawab, "Sejak kapan mimpi itu harus realistis? kalau setiap mimpi harus realistis mungkin amstrong gag akan sampai ke bulan...."

"...biar lapangan yang menyesuaikan target, bukan sebaliknya," begitu saya menjawab meng iya kan targetan.

Setelah saya jawab pertanyaan beliau itu saya merasa beliau ini sedang bercanda. Beliau tidak benar2 sedang bertanya.Beliau bertanya bukan karena beliau tidak tahu, melainkan beliau bertanya untuk memberi tahu.

Ternyata cukup "licik" juga caranya. Tanpa sadar dengan menjawab pertanyaan itu saya terpancing memberikan motivasi pada diri saya sendiri.

Ini tentang mimpi.

Bahwa mimpi tak harus realistis. Biar lapangan yang menyesuaikan targetan, bukan targetan atau mimpi yang menyesuaikan lapangan, memberikan kesadaran tentang mimpi.

Ini benar2 tentang mimpi.

Terimakasih pula Eka, postingan anti di grup Pusat Informasi Asma Amanina V membukakan mataku lebih lebar lagi.

Di sana diceritakan ada seorang anak, bekerja keras menghafal alqur'an, siang, dan malam, yang menakjubkan adalah doanya. Do'anya ketika terluka parah, "Ya Allah tolong aku.. tolong aku.. aku masih ingin menghafal Qur'an."

Sungguh, ini tentang mimpi. Akhirnya ia mampu menuntaskan hafalannya di usia 9 tahun. Katanya, ia ingin sekali memasangkan mahkota pada kedua orang tua nya nanti di akhirat, melalui hafalan al Qur'an nya. Itulah mimpinya. Ia punya mimpi, dan setelah ia punya mimpi, hari2 nya dipenuhi semangat mewujudkan mimpi.

Para pemimpi punya semangat, para pemimpi punya ghirah, para pemimpi punya alasan, alasan mengapa ia hidup hingga akhirnya ia mampu memutuskan bagaimana seharusnya ia hidup, karena mereka punya MIMPI.

Mimpi tentang masa yang ada di depan. Mimpi masa depan. Kemana saja aku selama ini?

Mimpi? Telah lama hilang. Seolah, hidup tanpa tujuan. Terlalu terbelenggu dengan realita-realita lapangan. Terlalu memikirkan omongan-omongan orang.

Lihat, mata orang-orang yang punya mimpi... Mata itu punya pandangan tajam. Fokus pada apa yang ia impikan.

Masih tentang mimpi, hari ini luar biasa.

Saya belajar, bagaimana kekuatan mimpi bisa menjadi pegangan, ia menjadi tali pengikat.

Saya, dengan target tantangan yang diberikan menjadi punya pegangan, ketika belum mencapai target, maka saya tak akan berhenti bekerja keras dan saya berpegang pada mimpi saya.

Ia, anak kecil yang mempunyai mimpi memasangkan mahkota terang di kepala kedua orangtua nya, ketika suatu saat ia lalai menghafal, maka ia segera sadar kembali karna teringat kembali akan mimpinya, ia punya pengikat, yaitu mimpinya.

Dan malam ini,

Ustad sunono, membukakan mata saya kembali, menginspirasi apa yang harus saya mimpi kan.

Menjadi orang berpengaruh.

Beliau memaparkan, bahwa negeri ini sedang dalam keadaan payah. Payah sekali. Karna minim orang baik yang berpengaruh. Sedangkan hal-hal berpengaruh sangat getol dibawakan oleh orang-orang yang membawa keburukan.

Kata ustad, tapaki jalannya, sabar ikuti likunya, butuh waktu. Karena menjadi berpengaruh itu soal kapasitas dan pengalaman.

Solih sendiri itu tidak bijak, lebih bijak solih sosial, solih berjamaah. Maka dari itu, jadilah orang berpengaruh. Ajak banyak orang menikmati indahnya islam.

Mimpi ini.

Menjadi apapun kelak, yang harus saya bawa adalah pengaruh baik.

Dulu, saya pernah punya mimpi, suatu saat minimal harus jadi ketua RT. Atau, kalau tidak, jadi istrinya ketua RT. #hihi. Lalu naik, naik, dan terus menaik. Lalu menyebarkan pengaruh baik, meluas, dan terus meluas.

Simpel.

Mimpi.

Dan sekarang, aku tahu apa yg harus aku mimpikan. Bermimpi dan menunggu hari itu menjadi kenyataan satu persatu. Melalui 7 tahapan, 7 maratibul amal. Karna mimpi tak harus realistis, beranilah bermimpi. Tapaki satu persatu tangganya.

Jadi apa mimpimu?

Minggu, 15 Maret 2015

Bukan Aku Tidak Peka..

Bukan aku tidak peka, aku hanya takut rasa ini hanya rasa ke ge-er an saja.

Sering kali dik, sering kita saling memberi tanda, saling gengsi pula menerima tanda.

Namun di belakang, kita saling memendam cinta. Hanya saja aku trauma, aku trauma jika aku bukan lah orang yang kau maksud.

Dengan tanda yang kau berikan atau tidak kau berikan, aku tak ingin bereaksi beerlebihan, hanya agar aku bisa membuktikan bahwa cinta ini tak akan berubah padamu, dengan balasan atau tanpa balasan cinta darimu, dik. Cinta ini tetap besar untukmu.

Aku mencintaimu karena Allah, Allah mempertemukan kita dengan cara yamg indah ya... Pertengkaran, kekecewaan, saling mendiamkan, rupanya pertemuan pertemuan kita terisi hal-hal menyedihkan.

Seperti dalam catatanku sebelumnya, bahwa sekarang aku tahu, dari hari-hari yang kita lewati bersama kau menemui berbagai kekecewaan dalam diriku, kau menemui cacat yang membuatku compang camping di hadapanmu, tapi anehnya kau tak juga pergi dariku, tak seperti orang lain yang mudah datang namun mudah pergi pula.

Kau mau bertahan memyebutku dengan panggilan paling menyenangkan didengar, "mbak..
." Panggilan penghormatan seorang adik pada kakaknya. Ya, terimakasih telah bertahan menyebutku "mbak", meski aku tak pantas, meski aku tak sempurna.

 Dari hari-hari yang kita isi bersama, kekecewaan kita selesaikan dengan tabayun, dan berakhir indah. Marah, kita selesaikan dengan melampiaskan marah agar kita bisa memberi tahu dimana letak salah... Lalu kita saling meminta maaf dan lagi-lagi berakhir indah.

Kita seringkali salah tingkah, berusaha memberi tanda cinta namun kita saling berpura-pura tak peka. Akupun geli manggilmu "dik", kita tak terbiasa romantis di hari-hari sebelumnya bukan...

Namun aku senang, kau menuliskan " kode" bahwa kau senang memanggilku dengan sebutan "mbak". Meskipun aku tak tahu, tulisan itu ditujukan padaku atau bukan, jangan-jangan untuk orang lain. Itulah, aku hanya takut ke ge-er an saja...

Bagaimanapun, seperti yang kukatakan, dengan atau tanpa tanda balasan cinta darimu, besar cinta ini InsyaAllah tak akan berubah.

Untuk dik Atika Widadty.

Jadi, tulisan itu untukku atau bukan?

Seperti nya aku saja yang terlalu ge-er..

Jumat, 13 Maret 2015

Squad 127

Kami menamainya 127, karena ranti tidak menyukai angka genap. Angka 127 adalah angka penyemangat bagi kami.

Sejak awal saya mengatakan bahwa ke depan saya tidak akan banyak menuntut keada mereka, karena saya tahu amanah-amanah berat di pundak mereka pasti juga memanggil-manggil.

Sakdiah. Ia adalah lambang kesabaran. Ia adalah orang yang sangat sabar, ditandakan dengan tak ada keluh yang keluar dari mulutnya. Kecuali jika telah benar-benar ia tak dapat menahannya ia akan menjadi orang yang paling sedih di hadapan. Sampai-sampai saya tak percaya kalau ternyata ia bisa menangis.

Rahmat Maulana, adalah lambang passion. Tak banyak yang memilki passion sebesar yang ia punya, passion yang beriring effort.

Rohmanto. Adalah lambang kerja keras. Ia tak banyak bicara, namun sekali kerja ia tak banyak bertamya dan segera bertindak. Ia seorang pekerja keras, terlihat dari raut wajahnya.

Ranti Wulandari. Lambang militansi.. Ia seorang yang bergerak cepat. Apapun akan diterjang jika ia telah yakin apa yang dilakukannya adalah benar. Ia bergerak cepat, licin, militan.

Dena veedya. Ia lambang keteguhan. Ia tak mudah goyah dan tak banyak komentar. Teguh pendiriannya.


Terimakasih Telah Bertahan

Ya aku memang tak sempurna. Jangan paksa aku untuk menjadi sempurna.

Aku mengerti tatapan itu. Tatapan kecewa.

Itu adalah tatapan yg paling tidak aku inginkan, aku memang tidak sempurna dik. Aku bukan kakak yg sempurna, bahkan untuk dikata ideal pun tak sampai.

Terimakasih kau telah belajar memberikan tatapan yg lebih baik. Kau belajar menerimaku apa adanya. Aku senang, sangat senang dengan tatapan hangat itu.

Sampai aku tersadar, bahwa orang-orang yang mencintaiku adalah bukan mereka yang mengagumiku, mereka yang memberikan pujian, mereka yang ada di saat senang, namun mereka yang mencintaiku adalah yang mau bertahan denganku saat ada cela dalam diriku, yang tetap memberikan tatapan kesabaran dan perhatian saat aku compang camping jauh dari kesempurnaan.

Tidak banyak orang yang seperti itu. Yang banyak adalah mereka yang memuji lalu pergi, yang banyak adalah yang mengagumi lalu tak terlihat kembali.

Dan kau, bertahan dengan tatapanmu seolah mengatakan, "mbak aku ada di sini, tidak pergi."

Aku mencintai kalian karna Allah, seorang kakak itu hidup untuk adiknya selayaknya seorang ayah atau ibu hidup untuk anaknya.

Didedikasikan untuk dik Zaky Mubarok Izzudin, dik Atika Widadty, dan dik Sakdiah.

Maybe someday this note will be so usefull

Kamis, 12 Maret 2015

Sequel Jambu Biji 13 - Hampir Separuh

Ahad.

Aku masih ingat dengan hari itu. Murobbiku menanyakan, tentang kapan kami berdua bisa mengobrol, hanya berdua.

Aku bilang, kenapa tidak sekarang saja, besok besok barangkali susah mencari waktunya.

Aku berprasangka ini pasti tentang sesuatu yang genting. Kalau tidak, tidak mungkin hanya diobrolkan berdua saja, tidak boleh ada orang lain yang mengetahui.

Benar.

Kami masuk ke ruangan yang tidak ada siapa siapa kecuali kami berdua dan Allah saja. Herannya, beliau membuka percakapan kami dengan mengucap salam. Saya kaget. Seberapa penting hal yang akan dibicarakan... Sampai harus dimulai dengan salam.

Aku menjawab salamnya, dan duduk kaku. Ada apa ini?

Perbincangan hanya sebentar, hanya 1 buah pertanyaan. "Ihti, apa ihti sudah siap menikah?"

Haikkk? Pertanyaan macam apa ini?

"Ihti belum siap mbak, karna ihti belum bisa fokus k dua hal sekaligus, biar ihti selesaokan kuliah ihti dulu.."

"Baiklah kalau begitu, wassalamu'akaikum wr.wb."

Kemudian kami berdiri dari tempat duduk kami masing masing. Aku berusaha biasa saja. Tapi sesampainya di rumah aku bertanya-tanya, ada apa?

Tak kuat menahan penasaran, aku tanyakan pada murobbiku. Dan beliau menjawab, "Karena ada yang nembung ihti."

Nembung. Itu adalah bahasa Jawa yang kalau dikontekskan ke pembicaraan ahad siang itu bermakna meminta (ada yang memintaku untuk menikah dengannya).

Siapa?

Itu tidak penting.

Yang lebih penting adalah aku merasa sangat bodoh.

Bagaimana tidak. Ini adalah jawaban dari do'aku. Dan saat jawabannya sudah datang aku menolaknya.

Di situlah bodohnya aku, meminta sesuatu yang belum siap kuterima.

Beberapa hari sebelumnya, aku berdoa agar dibukakan pintu jodoh, karena aku merasa sudah sangat galau (apa kalian juga merasakannya?)

Kenapa aku berdoa minta dibukakan pintu jodoh? Itu iseng yang keterlaluan.

Jauh sebelumnya, aku pernah memgalami musibah ekonomi. Kemudian aku meminta supaya Allah mbukakam pintu rezeki. Dan benar. Sorenya Allah benar-benar membukakan.

Kemudian aku punya pikiran, barangkali jika aku berdoa minta dibukakan pintu jodoh Allah akan membukakan.

Benar!!!!

Dan saat pintu itu dibuka, aku belum siap memasukinya. Meminta sesuatu yang belum siap diterima, konyol atau bodoh?

Tapi sekarang itu menjadi pelajaran berharga buatku. Bahwa:
1 semuanya itu gampang bagi Allah
2 kita tidak tahu doa mana yang akan dikabulkan oleh Allah, maka seraya berdoa, kita iringi dengan mempersiapkan.
3 Allah benar-benar telah menyiapkan jodoh untuk kita. Tinggal waktunya.

Jumat, 06 Maret 2015

Pemimpin yang Sabar

Suatu hari, ada seorang sahabat nabi yang diberi amanah oleh Umar ra untuk menjadi seorang gubernur.

Kebetulan ruang kerjanya dekat dengan pasar.

Pasar,

pada zaman dahulu, pasar tidak hanya digunakan sebagai pusat pertukaran barang, tapi pasar sangat strategis digunakan sebagai tempat mendapatkan informasi.

Lebih dari itu, tidak hanya untuk mendapatkan, tetapi juga untuk bertukar informasi. Bayangkan ketika dulu tidak ada alat komunikasi jarak jauh, dan tidak ada toko-toko atau tempat publik yang tersebar seperti sekarang. Lalu dimana orang-orang akan berkumpul? Ya, di pasar. Sekali mendayung sua tiga pulau terlampaui. Sekalian bertukar barang, sekalian bertemu, sekalian bertukar informasi. Berkumpul di pasar adalah kesempatan bagus bagi mereka.

Sampai- sampai, informasi yang ditukarkan tidak terfilter. Gosip, gunjingan terhadap juragan ini juragan itu, keluhan terhadap pemimpin, dan berita-berita lainnya sangat mudah keluar dari mulut. Dan mulut yang satu akan sangat mudah merespon mulut lainnya. Saat itu, informasi memiliki nilai harga sangat mahal, karena jarangnya pertemuan.

Maka pasar menjadi tempat yang sangat berisik. Banyak orang membicarakan masalah sosial pemerintahan yang lebih banyak mengarah ke keluhan.

Karena dekatnya letak kantor sahabat (yang menjadi gubernur ini) dengan letak pasar, ia merasa terganggu. Hingga akhirnya ia membangun tembok tinggi yang memisahkan antara kantornya dengan pasar. Alhasil suara-suara sumbang dari pasar tak lagi terdengar.

Perbuatannya ini ditegur oleh Umar yang keras namun berhati lembut.

Seorang pemimpin tidak seharusnya membatasi telinganya dari apapun yang dikatakan rakyatnya.

Pemimpin: jabatan yang apabila digunakan untuk menerapkan prinsip keadilan maka pemimpin adalah sebaik baik jabatan, namun sedikit saja membuat kedzoliman, maka tidak bisa dielak jika jabatan pemimpin adalah seburuk buruk jabatan.

Dan proses mendengar adalah salah satu usaha menjadi pemimpin yang adil. Dan mendengar ternyata membutuhkan skill kesabaran. Itu kenapa pemimpin yang adil tidak mudah mutungan, karena ia mampu bersabar. Semoga yang sedang menjabat sebagai pemimpin dimudahkan untuk bersabar, dan dapat menjadi pribadi pemimpin yang adil, aamiin.

 
Design by Wordpress Templates | Bloggerized by Free Blogger Templates | Web Hosting Comparisons