Bismillah
Dengan menyebut Asma Allah Pemberi warna indah pada bunga, Pembuat
tegak angkasa, salawat serta salam semoga senantiasa tercurah pada Nabi
Muhammad, Nabi yang namanya tertulis di Injil, di Taurat, dan di Al
Qur’an.
Kehidupan dalam dunia perkuliahan seperti yang sedang saya alami,
membawa banyak perubahan dalam diri saya. Terutama dalam memberikan
definisi tentang satu kata: dewasa. Tidak. Bukan berarti saya mengklaim
bahwa saya sekarang ini sudah bertindak dewasa, tapi seperti banyak
orang mengatakan, bahwa tua itu pasti, namun dewasa itu soal kelulusan
*lho salah* dewasa itu pilihan.
Dewasa yang saya maksud adalah dewasa dalam hal pemikiran, dalam hal
sikap, dalam hal pengambilan keputusan. Biarlah orang lain mengutuki
saya sok dewasa, atau mencaci saya sok nggaya. Tapi berpikiran ingin
menjadi dewasa itu lebih baik menurut saya daripada terdiam dan tak mau
berpikiran untuk mencapainya. Meskipun benar, dalam dunia nyata, dewasa
itu seiring usia. Namun bukan masalah bilangan usianya, tapi masalah
pengalaman hidupnya. Definisinya bisa beragam, tapi saya mendefinisikan
semua yang ingin saya tuliskan di sini dalam satu kata: dewasa.
Berangkat dari latar belakang saya di SMA, saya adalah anak rohis.
Ya, saya sangat sangat sangat mengakui bahwa dulu saat SMA anak-anak
rohis sangatlah ‘polos’ dan ‘lugu’ termasuk saya *atau jangan-jangan ada
anak rohis yang tidak mau mengakui bahwa saya anak rohis, karena
sepolos-polosnya anak rohis saya lah yang sepertinya paling ‘tercemar’
hoooo.*
Polos dan lugu yang saya maksud adalah sifat anak rohis yang bahkan
bisa dilihat dari penampilannya yang berbeda dengan anak-anak lainnya,
mulai dari penampilan (simat) yang tidak neko-neko, mulai dari matanya
yang bisa dibaca dia orang yang sederhana dalam bertindak namun rapi,
juga bisa dilihat dari cara memandangnya yang menunduk tak banyak
berkeliaran pandang, dan dari cara berbicaranya yang sopan *definisi
anak rohis versi saya*.
Jangan membayangkan saya seperti itu, karena saya dicap sebagai anak
rohis karena saya masuk ke organisasinya *fanatisme organisasi-red:
dulu*, bukan karena saya pantas jadi anak rohis *sepertinya begitu*,
tapi saya dulu waktu SMA sangat-sangat sok-sok-an memantaskan diri
sebagai anak rohis, ya, sebutannya dulu di SMA saya adalah remas (remaja
masjid). Saya sangat menjaga bagaimana saya berpakaian, ketika saya
menggunakan seragam dari sekolah yang berasal dari bahan baju yang
minimalis saya selalu mencari cara bagaimana supaya baju itu tidak ketat
dan tidak membentuk badan *alias ngepress kalau bahasa saya*. Ketika
ada mata pelajaran renang, saya mempertahankan jilbab saya *susah lho
renang pakai jilbab, berat*, tapi saya diteguhkan dengan keloyalan
teman-teman saya, mereka yang perempuan beramai-ramai mengenakan jilbab
ketika olahraga lapangan dan olahraga renang, saya senang saya mendapat
dukungan.
Semasa SMA, saya sangat-sangat benci dengan orang yang diajak solat
tapi menolak *grrr h!* sepertinya ada dua tanduk yang keluar dari kepala
saya seketika itu juga. Saya langsung membencinya dan menjauhinya.
*kekanak kanakan*
Ya, itu lah masa-masa SMA, masa-masanya gontok-gontokkan. Siapa yang
tidak suka dengan cara saya, boleh mendaftarkan diri dalam daftar
‘musuh’ saya. Wah, inilah ekstrim nya waktu-waktu SMA. Keukeuh dan
alhamdulillah tak terkalahkan *lho*. Saya selalu menganggap diri saya
benar, dan yang lain salah *tapi tetap polos kog*. Saya seolah ingin
marah dan berteriak pada teman-teman saya yang sukanya hura-hura,
sukanya tongkrongan, sukanya menghabiskan waktu tidak jelas (red:
pacaran), mungkin jika diekspresikan seperti ini, “Kalian itu! Uang
dikasih orang tua! Sekolah dibayarin orang tua! Dihabisin buat
hura-hura! Mbok ya ngaji di rumah, bantu-bantu orang tua di rumah, atau
belajar biar pinter! Jangan hura-hura!”. Ya, begitulah masa SMA yang
gentar menghadang caci dan maki, apalagi didukung oleh murobbiah untuk
terus mensyiar-kan islam, dengan segala jenis halangan dan rintangan
pokoknya harus diterjang. Tapi alhamdulillah, SMA saya tidak begitu
ekstrim lingkungannya, jadi islam dengan damai bisa tersebar, tanpa
banyak tanduk keluar dari kepala saya.
Setelah saya masuk kuliah, dan merasakan iklim Jogja yang luar
biasa, saya melihat banyak sekali mahasiswa yang *huh* sangat-sangat
ekstrim, ekstrim perilakunya, moralnya, pemikirannya, kompleks sekali.
Awal masuk kuliah, sifat keukeuh dan tak mau kalah itu masih terbawa.
Jika ada yang merokok, nongkrong, diajak solat menolak, sukanya pacaran
wah mulai keluar tanduk di kepala saya, merah padam muka saya. Tapi saya
sadar, ini bukan wilayah saya, saya tidak bisa marah dan melampiaskan
rasa benci saya, dikatakan benci? Ya saya benci, namun saya hanya
menahannya dengan sejuta tongkol *eh* dongkol di hati saya. Itulah warna
Jogja, si Kota Budaya, si Kota Pelajar, yang mulai pudar warnanya,
karena terwarnai oleh pendatang yang begitu banyaknya.
Eksklusif, ya mungkin itu definisi sikap saya yang tepat. Merasa
paling benar, dan yang lain salah. Saya tak mau berteman dengan
orang-orang ‘nakal’ yang saya definisikan sendiri. Karena saya sangat
membencinya. Parahnya, itu bertahan sampai mungkin satu tahun. Hingga
akhirnya saya mengenal yang namanya dakwah fardliyah (dakwah personal)
dan juga Isti’ab (kapasitas daya tampung rekrutmen). Indah sekali ketika
saya berkenalan dengan dua istilah itu. Serasa tercerahkan, seperti ada
saklar dalam otak saya yang dipencet dan menyala lah lampu bohlam di
dalamnya *ting aha*. Lalu apa hubungannya dengan definisi dewasa yang
saya singgung di awal tadi? Ya, nantinya catatan ini akan sama-sama
mengajak kita (saya dan Anda) untuk bersikap dewasa sebagai seorang yang
bisa dikatakan da’i/ da’iyah, dalam menghadapi objek dakwah.
Saya pun masih layak untuk di dakwahi (menerima dakwah), namun bukan
berarti saya diam dengan ilmu yang saya punya hanya karena merasa belum
pantas menjadi da’i. Saya mencoba menikmati indahnya hadits satu ini,
“Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat” (HR. Bukhari). Pasti indah
jika dilakukan oleh setiap manusia.
Dengan keberagaman kultur yang ada di lingkugan Jogja, dan dengan
adanya teori dakwah fardliyah dan isti’ab, saya mulai mencoba
mempraktikannya menggabungkannya *mix and match*, dan benar sangat
indah. Cara berpikir yang ada dalam pikiran saya *yang sudah diterangi
lampu bohlam* seketika berubah. Bahwa dakwah itu indah, dakwah itu penuh
cinta *tanpa melonggarkan syariat*. Pasca saya dibelajar-kan tentang
dakwah fardliyah saya belajar mencintai dalam berdakwah, saya belajar
memahami dan menyesuaikan. Ada banyak tipe orang, dengan segala
tabiatnya, dan saya meyakini pasti ada meski kecil, tabiat baik dalam
diri setiap orang yang bisa dikembangkan.
Teori dakwah fardliyah atau dakwah personal bukan berarti man to man
marking seperti dalam permainan sepakbola dan basket, atau satu orang
mendakwahi (merangkul) satu orang, tapi satu orang ‘dirangkul’ oleh
banyak orang. Jadi targetnya satu, tapi yang merangkul banyak. Intinya
adalah pendekatan secara personal, secara kultural. Dulu saya menganggap
bahwa dakwah itu ya beda dengan pertemanan, beda dengan belajar
kelompok, beda dengan tongkrongan, tapi ternyata dakwah personalia ini
membutuhkan kemampuan memanusiakan manusia, me-neman-kan teman,
me-mahasiswa-kan mahasiswa.
Dulu saya anggap kita berteman ya berteman, saya berdakwah beda
dengan cara saya berteman, saya bertindak sebagai teman ketika berteman,
dan saya bertindak sebagai da’i ketika berdakwah, tapi rupanya saya
harus belajar men-dewasa-kan diri, bahwa menjadi da’i itu tak memerlukan
waktu khusus dan tempat khusus, ketika berteman, di sana pula lah
tempat dan waktu yang harus kita gunakan untuk berdakwah, menjalankan
peran sebagai teman yang senantiasa membawa *cinta* dakwah. Jadi tak ada
double kepribadian, atau double sikap, karena seharusnya, kita sebagai
teman harus tetap mengingatkan teman kita yang melakukan kesalahan walau
mengingatkan kesalahan mungkin adalah tugas da’i, dan kita sebagai da’i
harus memperlakukan teman kita dengan lemah lembut, memberi salam
keselamatan, saling mendo’akan, dan saling menyayangi meski itu
sejatinya adalah tugas seorang teman. Ya, karena dakwah islam itu harus
menyeluruh, sama seperti islam, menyeluruh di setiap bidang.
Saya pun akhirnya memahami arti ayat berikut:
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut
terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar,
tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu
ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah
dengan mereka dalam urusan itu[246]. kemudian apabila kamu telah
membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” Q.S. Ali Imran: 159.
Padahal ketika SMA saya belum bisa memahami ayat ini bahkan cenderung
meremehkan, dan tidak memperhatikan isinya, walau masuk dalam ujian
pelajaran agama *nah!*. Setelah dipraktikkan, ayat ini sungguh sulit
rupanya. Betapa tidak sulit, saya harus menyesuaikan diri untuk tidak
mengeluarkan tanduk di kepala ketika melihat para pelaku kemungkaran,
harus memadamkan muka merah saya seketika itu juga, untuk mencapai
kategori lemah lembut seperti yang disebutkan dalam ayat di atas untuk
mencapai tujuan dakwah. Seperti dalam Isti’ab, setiap orang itu berhak
menerima dakwah kita tak terkecuali.
Jadi intinya, sifat dewasa dalam berdakwah yang saya maksud *dari
hasil diskusi* adalah, sikap dan pemikiran kita ketika mendapati
lingkungan dan objek dakwah yang beragam. Jika dibilang objek dakwah
yang sangat sulit dirangkul adalah tanah tandus, maka kita sebagai da’i
lah yang harus berperan menjadi petani yang sabar. Dalam menyikapi objek
dakwah harus dengan perilaku yang lembut, sabar, dan tidak semua objek
dakwah dirangkul dengan cara yang sama. Ada tanah tandus yang tidak
bisa langsung ditanami padi, maka jangan sama ratakan semua tanah,
tangani dengan cara yang berbeda, maka tanami tanah itu dengan tanaman
palawija, agar tanah itu bisa subur, begitulah objek dakwah, mungkin ada
yang tidak bisa langsung diajak untuk berbuat baik, solat tepat waktu,
maka perlu dirangkul dengan cara yang berbeda, bisa melalui pendekatan
personal sebagai teman, dari berteman timbullah loyalitas dan
kepercayaan, maka setelahnya kita bisa berdakwah ke tingkatan yang lebih
tinggi, mengajak ia solat, dan beramal salih, dan seterusnya, inilah
dakwah fardliyah.
Dakwah itu mengenal yang namanya tahapan, dan tahapan-tahapan dakwah
itu sangat membutuhkan fokus pelaku dakwah dalam menjalankan dakwah
personal. Jika kita bersikap dewasa, maka setiap objek dakwah kita
perhatikan tingkatannya dan sudah sejauh mana tahapan perkembangannya,
lalu ditindak lanjuti. Jangan sampai, gencar melakukan dakwah di awal,
kemudian lupa memperhatikan objek dakwah yang seharusnya kita ‘rawat’.
Penyakit lupa kali ini akan sangat berbahaya dalam sistem dakwah, maka
harus diperbaiki. Fokus, dan fokus. Maka sikap dewasa itu akan tumbuh
seiring waktu, karena seiring waktu itu pula kita memahami bahwa waktu
yang kita punya ternyata sangat sedikit, dan bahkan lebih sedikit dari
tugas yang kita punya. Dewasa itu bukan tanpa usaha.
Kemudian saya merenungkan dakwah di masyarakat. Mungkin di kampus
dakwah terbilang ‘enak’ karena objek dakwah bisa ‘dirauk’ dengan
‘jaring’ seperti ikan. Tapi di masyarakat, kita yang harus mendatangi
objek dakwah, bukan objek dakwah yang datang kepada kita, memang siapa
kita? Tokoh? Kiai? Ustad/ ustadhah? Kita adalah hanyalah mahasiswa,
belum punya nama. Itu lah tadi, bersikap dewasa dalam menghadapi
berbagai macam objek. Me-masyarakat-kan masyarakat, memperlakukan
tetangga sebagai tetangga, maka di setiap perlakuan itu kita selipkan
dakwah, dan itu tidak mudah. Maka dewasa-lah. Sibukkan tangan kita
dengan kerja-kerja peradaban, sibukkan pikiran-pikiran kita dengan
pemikiran peubah zaman, dan bersihkan mulut kita dari keluhan dan umbar
kelebihan.
Bersabarlah dan bersikap lemah lembutlah, karena jelas bahwa:
“Orang yang bergaul dengan masyarakat dan bersabar terhadap
gangguannya lebih baik daripada orang yang tidak bergaul dengan
masyarakat dan tidak sabar terhadap gangguannya.” H.R.Tirmidzi dan Ibnu
Majjah.
Dan janganlah bersikap seperti anak SMA :) *dalam definisi saya*
_Diana Azhar Al Rasyid_