Selasa, 29 Januari 2013

Kunjungan BEM FT Universitas Muria Kudus ke FT UNY, bersama Bem Ft Uny 2013

Tidak seperti biasanya, pagi ini (29/01) ada dua bus terparkir di halaman KPLT FT UNY. Bus pertama adalah bus dari bank BNI yang melayani pembayaran SPP mahasiswa, bus ini sebagai bentuk inovasi dari bank BNI agar dapat bergerak mobile.

Kemudian bus yang kedua, dengan warna yang sama, oranye, adalah bus berukuran besar bertuliskan Universitas Muria Kudus.
Ya, pagi ini, Badan Eksekutif Mahasiswa dari Fakultas Teknik Universitas Muria Kudus melakukan kunjungan ke Fakultas Teknik UNY dan disambut oleh teman-teman pengurus BEM FT UNY beserta teman-teman dari ormawa FT UNY.

Warna biru pada jas yang dikenakan mahasiswa UMK menambah daftar kesamaan antara FT UMK dengan FT UNY, selain karena keduanya sama-sama memiliki ranah akademik yang sama, yaitu ke-teknik-an. Seperti teman dekat yang sudah lama tidak bertemu, saat teman-teman dari UMK sampai di altar gedung KPLT, kami saling berjabat tangan dan bertukar sapa. Sebelum akhirnya melaksanakan pertemuan resmi di ruang sidang lantai 2 KPLT.

Pertemuan berlangsung dengan penuh antusiasme dari kedua belah pihak, terutama pasca presentasi dari ketua BEM FT UNY, Ficky Fristiar dan dari Presiden BEM FT UMK, Zaenal Arifin. Ada banyak peserta kunjungan yang ingin mengajukan pertanyaan, didasari keingintahuan dari kedua belah pihak untuk mengetahui sistem kepengurusan satu sama lain, terutama dari BEM FT UMK yang memiliki tujuan melakukan studi banding keorganisasian ke UNY ini.

Salah satu pengurus BEM FT UMK sempat melontarkan pujian kepada sistem pengelolaan keorganisasian di BEM FT UNY, “Saya bendahara umum dari BEM FT UMK . Tadi presentasi yang luar biasa dari BEM FT UNY. Saya sampai terkagum-kagum dan bilang WOW gitu,” tuturnya disertai tawa dan segera mencairkan suasana di dalam ruangan.

Saat diskusi digelar, kedua belah pihak saling bertukar informasi keorganisasian, salah satunya, BEM FT UNY dan BEM FT UMK sama-sama memiliki departemen sosial dan politik, dengan itu keduanya menunjukkan bahwa mahasiswa, baik di UNY maupun UMK memiliki kesadaran sosial kemasyarakatan dan kesadaran politik. Salah satu kesadaran sosial di kalangan mahasiswa FT UNY ditunjukkan melalui pengelolaan desa mitra yang akan meningkat menjadi desa binaan, senada dengan FT UNY, kepedulian sosial di kalangan mahasiswa UMK, dapat tercermin melalui penyaluran bantuan kepada korban-korban bencana di daerah Kudus dan sekitarnya.

Kesadaran politikpun perlu dibangun, untuk menyiapkan para pemikir masa depan bangsa dari basis intelektual mahasiswa. Riuh rendah kesadaran politik di kalangan mahasiswa FT UMK dapat terlihat dalam momentum pemira, seperti yang dikatakan salah satu pengurus BEM FT UMK, “Persaingan politik terlihat ketika adanya pemira. Biasanya ada kubu-kubu, per progdi-progdi mengirimkan utusannya. Dari sanalah aroma persaingan politik di sana mulai tercium. Ada dewan pengawas pemilu, panwaslu biasanya. Itu mungkin salah satu politik yang ada di fakultas teknik (red: UMK).

Diskusi juga menjalar ke pembahasan mengenai program kerja, jika ormawa fakultas teknik UNY memiliki ajang bergengsi tiap tahunnya bernama Techno Fest, BEM FT UMK sendiri memiliki program kerja Techno Camp, “UNY kan agenda tahunannya Techno Fest, kalau UMK memiliki Techno Camp. Techno Camp akan diadakan Mei, kalau dari kami ada lomba TK, SD, SMP, SMA (In the movie), seminar, workshop (solar cell dan robotika), dan ada scary in the screen,” tutur salah satu pengurus dari BEM FT UMK.
Bentuk organisasi yang diadopsi oleh BEM FT UMK adalah bentuk ke-presidenan, sedikit berbeda dengan UNY yang mengambil pola keluarga mahasiswa.
Diskusi melingkar dan tukar informasi yang ada di dalam ruangan itu berakhir sekitar pukul 12.50, dengan sebelumnya ada banyak tawa memenuhi ruang karena pertanyaan-pertanyaan menggelitik yang disampaikan oleh peserta studi banding yang mayoritas laki-laki itu. Studi banding pun mencapai bagian pungkas, yaitu berkeliling fakultas teknik UNY.

Setelah studi banding hari ini, harapannya kedua belah pihak bisa tetap menjadi mitra dalam bidang keorganisasian dan bidang-bidang lainnya.

Kamis, 17 Januari 2013

Dewasa dalam Dakwah *trending topic

Bismillah

Dengan menyebut Asma Allah Pemberi warna indah pada bunga, Pembuat tegak angkasa, salawat serta salam semoga senantiasa tercurah pada Nabi Muhammad, Nabi yang namanya tertulis di Injil, di Taurat, dan di Al Qur’an.

Kehidupan dalam dunia perkuliahan seperti yang sedang saya alami, membawa banyak perubahan dalam diri saya. Terutama dalam memberikan definisi tentang satu kata: dewasa. Tidak. Bukan berarti saya mengklaim bahwa saya sekarang ini sudah bertindak dewasa, tapi seperti banyak orang mengatakan, bahwa tua itu pasti, namun dewasa itu soal kelulusan *lho salah* dewasa itu pilihan.

Dewasa yang saya maksud adalah dewasa dalam hal pemikiran, dalam hal sikap, dalam hal pengambilan keputusan. Biarlah orang lain mengutuki saya sok dewasa, atau mencaci saya sok nggaya. Tapi berpikiran ingin menjadi dewasa itu lebih baik menurut saya daripada terdiam dan tak mau berpikiran untuk mencapainya. Meskipun benar, dalam dunia nyata, dewasa itu seiring usia. Namun bukan masalah bilangan usianya, tapi masalah pengalaman hidupnya. Definisinya bisa beragam, tapi saya mendefinisikan semua yang ingin saya tuliskan di sini dalam satu kata: dewasa.
Berangkat dari latar belakang saya di SMA, saya adalah anak rohis. Ya, saya sangat sangat sangat mengakui bahwa dulu saat SMA anak-anak rohis sangatlah ‘polos’ dan ‘lugu’ termasuk saya *atau jangan-jangan ada anak rohis yang tidak mau mengakui bahwa saya anak rohis, karena sepolos-polosnya anak rohis saya lah yang sepertinya paling ‘tercemar’ hoooo.*

Polos dan lugu yang saya maksud adalah sifat anak rohis yang bahkan bisa dilihat dari penampilannya yang berbeda dengan anak-anak lainnya, mulai dari penampilan (simat) yang tidak neko-neko, mulai dari matanya yang bisa dibaca dia orang yang sederhana dalam bertindak namun rapi, juga bisa dilihat dari cara memandangnya yang menunduk tak banyak berkeliaran pandang, dan dari cara berbicaranya yang sopan *definisi anak rohis versi saya*.

Jangan membayangkan saya seperti itu, karena saya dicap sebagai anak rohis karena saya masuk ke organisasinya *fanatisme organisasi-red: dulu*, bukan karena saya pantas jadi anak rohis *sepertinya begitu*, tapi saya dulu waktu SMA sangat-sangat sok-sok-an memantaskan diri sebagai anak rohis, ya, sebutannya dulu di SMA saya adalah remas (remaja masjid). Saya  sangat menjaga bagaimana saya berpakaian, ketika saya menggunakan seragam dari sekolah yang berasal dari bahan baju yang minimalis saya selalu mencari cara bagaimana supaya baju itu tidak ketat dan tidak membentuk badan *alias ngepress kalau bahasa saya*. Ketika ada mata pelajaran renang, saya mempertahankan jilbab saya *susah lho renang pakai jilbab, berat*, tapi saya diteguhkan dengan keloyalan teman-teman saya, mereka yang perempuan beramai-ramai mengenakan jilbab ketika olahraga lapangan dan olahraga renang, saya senang saya mendapat dukungan.

Semasa SMA, saya sangat-sangat benci dengan orang yang diajak solat tapi menolak *grrr h!* sepertinya ada dua tanduk yang keluar dari kepala saya seketika itu juga. Saya langsung membencinya dan menjauhinya. *kekanak kanakan*

Ya, itu lah masa-masa SMA,  masa-masanya gontok-gontokkan. Siapa yang tidak suka dengan cara saya, boleh mendaftarkan diri dalam daftar ‘musuh’ saya. Wah, inilah ekstrim nya waktu-waktu SMA. Keukeuh dan alhamdulillah tak terkalahkan *lho*. Saya selalu menganggap diri saya benar, dan yang lain salah *tapi tetap polos kog*. Saya seolah ingin marah dan berteriak pada teman-teman saya yang sukanya hura-hura, sukanya tongkrongan, sukanya menghabiskan waktu tidak jelas (red: pacaran), mungkin jika diekspresikan seperti ini, “Kalian itu! Uang dikasih orang tua! Sekolah dibayarin orang tua! Dihabisin buat hura-hura! Mbok  ya ngaji di rumah, bantu-bantu orang tua di rumah, atau belajar biar pinter! Jangan hura-hura!”. Ya, begitulah masa SMA yang gentar menghadang caci dan maki, apalagi didukung oleh murobbiah untuk terus mensyiar-kan islam, dengan segala jenis halangan dan rintangan pokoknya harus diterjang. Tapi alhamdulillah, SMA saya tidak begitu ekstrim lingkungannya, jadi islam dengan damai bisa tersebar, tanpa banyak tanduk keluar dari kepala saya.

Setelah saya masuk kuliah, dan merasakan iklim Jogja yang  luar biasa, saya melihat banyak sekali mahasiswa yang *huh* sangat-sangat ekstrim, ekstrim perilakunya, moralnya, pemikirannya, kompleks sekali. Awal masuk kuliah, sifat keukeuh dan tak mau kalah itu masih terbawa. Jika ada yang merokok, nongkrong, diajak solat menolak, sukanya pacaran wah mulai keluar tanduk di kepala saya, merah padam muka saya. Tapi saya sadar, ini bukan wilayah saya, saya tidak bisa marah dan melampiaskan rasa benci saya, dikatakan benci? Ya saya benci, namun saya hanya menahannya dengan sejuta tongkol *eh* dongkol di hati saya. Itulah warna Jogja, si Kota Budaya, si Kota Pelajar, yang mulai pudar warnanya, karena terwarnai oleh pendatang yang begitu banyaknya.

Eksklusif, ya mungkin itu definisi sikap saya yang tepat. Merasa paling benar, dan yang lain salah. Saya tak mau berteman dengan orang-orang ‘nakal’ yang saya definisikan sendiri. Karena saya sangat membencinya. Parahnya, itu bertahan sampai mungkin satu tahun. Hingga akhirnya saya mengenal yang namanya dakwah fardliyah (dakwah personal) dan juga Isti’ab (kapasitas daya tampung rekrutmen). Indah sekali ketika saya berkenalan dengan dua istilah itu. Serasa tercerahkan, seperti ada saklar dalam otak saya yang dipencet dan menyala lah lampu bohlam di dalamnya *ting aha*. Lalu apa hubungannya dengan definisi dewasa yang saya singgung di awal tadi? Ya, nantinya catatan ini akan sama-sama mengajak kita (saya dan Anda) untuk bersikap dewasa sebagai seorang yang bisa dikatakan da’i/  da’iyah, dalam menghadapi objek dakwah.

Saya pun masih layak untuk di dakwahi (menerima dakwah), namun bukan berarti saya diam dengan ilmu yang saya punya hanya karena merasa belum pantas menjadi da’i. Saya mencoba menikmati indahnya hadits satu ini, “Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat” (HR. Bukhari). Pasti indah jika  dilakukan oleh setiap manusia.

Dengan keberagaman kultur yang ada di lingkugan Jogja, dan dengan adanya teori dakwah fardliyah dan isti’ab, saya mulai mencoba mempraktikannya menggabungkannya *mix and match*, dan benar sangat indah. Cara berpikir yang ada dalam pikiran saya *yang sudah diterangi lampu bohlam* seketika berubah. Bahwa dakwah itu indah, dakwah itu penuh cinta *tanpa melonggarkan syariat*. Pasca saya dibelajar-kan tentang dakwah fardliyah saya belajar mencintai dalam berdakwah, saya belajar memahami dan  menyesuaikan. Ada banyak tipe orang, dengan segala tabiatnya, dan saya meyakini pasti ada meski kecil, tabiat baik dalam diri setiap orang yang bisa dikembangkan.

Teori dakwah fardliyah atau dakwah personal bukan berarti man to man marking seperti dalam permainan sepakbola dan basket, atau satu orang mendakwahi (merangkul) satu orang, tapi satu orang ‘dirangkul’ oleh banyak orang. Jadi targetnya satu, tapi yang merangkul banyak. Intinya adalah pendekatan secara personal, secara kultural. Dulu saya menganggap bahwa dakwah itu ya beda dengan pertemanan, beda dengan belajar kelompok, beda dengan tongkrongan, tapi ternyata dakwah personalia ini membutuhkan kemampuan memanusiakan manusia, me-neman-kan teman, me-mahasiswa-kan mahasiswa.

Dulu saya anggap kita berteman ya berteman, saya berdakwah beda dengan cara saya berteman, saya bertindak sebagai teman ketika berteman, dan saya bertindak sebagai da’i ketika berdakwah, tapi rupanya saya harus belajar men-dewasa-kan diri, bahwa menjadi da’i itu tak memerlukan waktu khusus dan tempat khusus, ketika berteman, di sana pula lah tempat dan waktu yang harus kita gunakan untuk berdakwah, menjalankan peran sebagai teman yang senantiasa membawa *cinta* dakwah. Jadi tak ada double kepribadian, atau double sikap, karena seharusnya, kita sebagai teman harus tetap mengingatkan teman kita yang melakukan kesalahan walau mengingatkan kesalahan mungkin adalah tugas da’i, dan kita sebagai da’i harus memperlakukan teman kita dengan lemah lembut, memberi salam keselamatan, saling mendo’akan, dan saling menyayangi meski itu sejatinya adalah tugas seorang teman. Ya, karena dakwah islam itu harus menyeluruh, sama seperti islam, menyeluruh di setiap bidang.

Saya pun akhirnya memahami arti ayat berikut:
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu[246]. kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” Q.S. Ali Imran: 159.

Padahal ketika SMA saya belum bisa memahami ayat ini bahkan cenderung meremehkan, dan tidak memperhatikan isinya, walau masuk dalam ujian pelajaran agama *nah!*. Setelah dipraktikkan, ayat ini sungguh sulit rupanya. Betapa tidak sulit, saya harus menyesuaikan diri untuk tidak mengeluarkan tanduk di kepala ketika melihat para pelaku kemungkaran, harus memadamkan muka merah saya seketika itu juga, untuk mencapai kategori lemah lembut seperti yang disebutkan dalam ayat di atas untuk mencapai tujuan dakwah. Seperti dalam Isti’ab, setiap orang itu berhak menerima dakwah kita tak terkecuali.

Jadi intinya, sifat dewasa dalam berdakwah yang saya maksud *dari hasil diskusi* adalah, sikap dan pemikiran kita ketika mendapati lingkungan dan objek dakwah yang beragam. Jika dibilang objek dakwah yang sangat sulit dirangkul adalah tanah tandus, maka kita sebagai da’i lah yang harus berperan menjadi petani yang sabar. Dalam menyikapi objek dakwah harus dengan perilaku yang lembut, sabar,  dan tidak semua objek dakwah dirangkul dengan cara yang sama. Ada tanah tandus yang tidak bisa langsung ditanami padi, maka jangan sama ratakan semua tanah, tangani dengan cara yang berbeda, maka tanami tanah itu dengan tanaman palawija, agar tanah itu bisa subur, begitulah objek dakwah, mungkin ada yang tidak bisa langsung diajak untuk berbuat baik, solat tepat waktu, maka perlu dirangkul dengan cara yang berbeda, bisa melalui pendekatan personal sebagai teman, dari berteman timbullah loyalitas dan kepercayaan, maka setelahnya kita bisa berdakwah ke tingkatan yang lebih tinggi, mengajak ia solat, dan beramal salih, dan seterusnya, inilah dakwah fardliyah.

Dakwah itu mengenal yang namanya tahapan, dan tahapan-tahapan dakwah itu sangat membutuhkan fokus pelaku dakwah dalam menjalankan dakwah personal. Jika kita bersikap dewasa, maka setiap objek dakwah kita perhatikan tingkatannya dan sudah sejauh mana tahapan perkembangannya, lalu ditindak lanjuti. Jangan sampai, gencar melakukan dakwah di awal, kemudian lupa memperhatikan objek dakwah yang seharusnya kita ‘rawat’. Penyakit lupa kali ini akan sangat berbahaya dalam sistem dakwah, maka harus diperbaiki. Fokus, dan fokus. Maka sikap dewasa itu akan tumbuh seiring waktu, karena seiring waktu itu pula kita memahami bahwa waktu yang kita punya ternyata sangat sedikit, dan bahkan lebih sedikit dari tugas yang kita punya. Dewasa itu bukan tanpa usaha.

Kemudian saya merenungkan dakwah di masyarakat. Mungkin di kampus dakwah terbilang ‘enak’ karena objek dakwah bisa ‘dirauk’ dengan ‘jaring’ seperti ikan. Tapi di masyarakat, kita yang harus mendatangi objek dakwah, bukan objek dakwah yang datang kepada kita, memang siapa kita? Tokoh? Kiai? Ustad/ ustadhah? Kita adalah hanyalah mahasiswa, belum punya nama. Itu lah tadi, bersikap dewasa dalam menghadapi berbagai macam objek. Me-masyarakat-kan masyarakat, memperlakukan tetangga sebagai tetangga, maka di setiap perlakuan itu kita selipkan dakwah, dan itu tidak mudah. Maka dewasa-lah. Sibukkan tangan kita dengan kerja-kerja peradaban, sibukkan pikiran-pikiran kita dengan pemikiran peubah zaman, dan bersihkan mulut kita dari keluhan dan umbar kelebihan.

Bersabarlah dan bersikap lemah lembutlah, karena jelas bahwa:
“Orang yang bergaul dengan masyarakat dan bersabar terhadap gangguannya lebih baik daripada orang yang tidak bergaul dengan masyarakat dan tidak sabar terhadap gangguannya.” H.R.Tirmidzi dan Ibnu Majjah.

Dan janganlah bersikap seperti anak SMA :) *dalam definisi saya*

_Diana Azhar Al Rasyid_

Selasa, 08 Januari 2013

Dosa-dosa Itu Ringan sekali, Seperti Daun Kering

Bismillah...

Kali ini, saya ingin menulis sedikit hal mengenai ketertarikan saya pada daun-daun.

Bukan :D bukan soal meneliti jenis daun, mengamati bentuknya dan segala macamnya, tapi tentang pelajaran-pelajaran analogi yang bisa saya dapat melalui daun.

Salah satu pekerjaan yang menjadi kebiasaan dan kesenangan tersendiri di pagi dan sore hari bagi saya adalah menyapu halaman rumah.

Baiklah, bukan halaman rumah yang ingin saya ceritakan, tapi mengenai daun-daunnya yang berguguran.

Ketika saya menyapu daun-daun yang jatuh, ranting-ranting yang rapuh, ada banyak pelajaran yang saya dapatkan dari alam. Saya suka berimajinasi, saya suka membayangkan sesuatu yang berhubungan dengan apa yang saya kerjakan. Ketika sore, saat itu halaman begitu kotor, dan saya tidak nyaman melihat semua itu. Saat menyapu, saya mulai berpikir, sebenarnya apa yang saya lakukan dengan daun-daun yang terus berjatuhan ini, ia tak berhenti berjatuhan. Ia disapu, ia dibersihkan dari halaman, tapi daun-daun itu keesokan harinya akan berjatuhan lagi dari pohonnya.

Capek? tidak. Kesal? tidak. Tidak sama sekali, daun-daun itu selalu menyajikan hiburan dan pelajaran.

Salah satu pelajaran yang benar-benar saya ambil dari daun-daun yang berjatuhan itu adalah penggambaran datangnya dosa-dosa kecil yang tiap hari mengotori hati. Dosa-dosa kecil yang selama ini mungkin saya anggap bukan dosa, ternyata saya sadari semakin mengotori hati saja, terasa, sangat terasa, bagaimana hati menjadi gelisah, bagaimana hati menjadi tidak tenang, bagaimana hati menjadi galau. Karena dosa-dosa kecil itu mungkin tidak terasa, tapi nyata adanya. Mungkin tak terasa pada waktu itu juga, terkadang dosa itu terasa setelah terakumulasi. Ya, dosa-dosa itu terasa sangat ringan hingga tak mudah disadari, seperti tak mudahnya kita menyadari ada daun kering yang jatuh terkulai dari rantingnya kemudian diterpa angin dan mengotori laman.

Mulai dari perasaan marah, perasaan suka yang tidak semestinya, perasaan benci, sebel, kesal, perasaan ujub yang tiba-tiba saja muncul, perasaan-perasaan abstrak itu, membuat hati terkotori, tanpa sadar, maupun disadari setelahnya, dirasakan kepedihan akumulasinya, dirasakan betapa ia mengusik.

Sungguh mulia para Nabi dan sahabat, yang segera bertaubat dengan beristighfar ketika terbersit sedikit saja pemikiran dan perasaan yang tidak semestinya. Terus mencoba.

Hingga akhirnya, bisa menemukan kenikmatan dengan beristighfar tiap satu kayuhan sapu,
sedikit, demi sedikit, tapi sangat menentramkan hati.

Rindu sekali, dengan semua rutinitas itu, yang kini jarang bahkan tak pernah aku lakukan di kota budaya, ingin rasanya segera kembali ke rumah dan membersihkan laman.





rindu istana
_Diana Azhar Al Rasyid_

Minggu, 06 Januari 2013

Abah, Jangan Malu-maluin Ihti dong -_-

Bismillah,

Cerita ini, adalah sebuah cerita mengenai perjalanan panjang seorang Ayah yang sangat penyabar dengan seorang anak yang sangat pemalu dan ceroboh.

Suatu saat, si anak, sebut saja inisialnya Ihti kecil dikirimkan oleh sekolah dasar tempatnya belajar, untuk ikut memeriahkan pesta ulang tahun SD N Jenang 02, sebuah SD yang besar dan ternama di Majenang (pikir Ihti kecil begitu). Ya, kalau disuruh makan-makan sih gag papa, tapi ini disuruh mewakili lomba -_- (hoaaa apa-apaan). Selama berhari-hari, Ihti kecil disekap di sebuah ruangan kecil, gelap, pengap, dengan beberapa orang guru yang bergantian duduk di depannya. Semua guru yang bergantian tersebut konon dulu disebut sebagai guru-guru killer.

Dan konon cerita, ruangan yang dipakai itu adalah bekas ruang tamu salah seorang guru killer itu, karena dulu salah satu guru killer itu, sebut saja bu Siti, pernah mendiami sebuah rumah di dekat sekolah, dan ya itulah rumahnya, yang digunakan untuk menyekap Ihti kecil selama berhari-hari (hahaha, seneng-seneng aja sih disekap kalau bisa bolos dari pelajaran--> pikiran nakal).

Penyekapan itu berlangsung sangat tidak 'siswawi', tiap hari Ihti kecil disuguhi soal-soal matematika dan ditunggu dalam mengerjakannya. Hingga suatu hari Ihti kecil mendengar kepala sekolahnya berbincang dengan Abahnya, mengenai pengirimannya ke Majenang. Sekolah tidak bisa mengantar Ihti kecil ke sana, dan Abah diminta untuk mengantar Ihti ke sana (Ya Allah, kepala sekolah tega bener sih--> Pikiran nakal no.2).

Berbekal sebuah kertas, yang bertuliskan alamat SD Jenang tempat akan diadakannya 'pesta' ulang tahun, Abah mempersiapkan semuanya. Dan pagi harinya, ketika kaki Ihti siap melangkah naik ke motor dengan anggunnya, (seeet, emmm?) tiba-tiba Abah bertanya, "Ihti mana kertas alamatnya?"
set set set, cari di saku, cari di dalam rumah, cari dimana-mana
"Hilang Bah :( "

Abah murka

(Oh tidaaaak apa aku tidak usah jadi  berangkat saja, dan Abah tak perlu marah lagi jadinya --> pikiran nakal no.3)
Berangkatlah kami dengan modal motor biru kesayangan Abah berplat no. R 2027 FT. Aku memegang erat jaket tebal Abah saat membonceng, udara menuju Majenang adalah udara dingin yang sangat menusuk. Kabut tebal dan berwarna keabu-abuan hasil dari embun pagi yang menggumpal sedikit menghalangi jalan kami. Ini adalah kota yang sangat jauh bagi seorang Ihti kecil yang mainannya hanya cetakan pasir di dekat rumah. Tapi Abah begitu tangguh, benar-benar hebat, (No Body perfect except may Dad :) --> pikiran hebat no.1). Kami sampai di lokasi setelah bertanya-tanya ke orang. Dan kami yang datang pertama. Suasana sepi (mana pestanya? aku lapeeer --> pikiran nakal no.4)


Tiba waktunya semua berkumpul dan singkatnya lomba dimulai masal. Semua orang mengerjakan 100 soal dan aku ada di antara mereka, menjadi bagian mereka, yang mengerjakan soal dengan sangat serius, dan entah bagaimana hasilnya. Sampailah waktu siang dan pengumuman. Aku duduk dengan tenang, dan mendengarkan, nama-nama yang disebut benar-benar nama-nama anak kota (wuuuuoo nama-nama yang indah seperti di tivi-tivi, tapi mana namaku?). Nama Ihti kecil tak juga disebut, mulai berputus asa. (Hingga akhirnya, sampai di no.17 aku bergumam, kenapa semua nama-nama juara yang disebutkan adalah nama 'ANANDA' curang sekali, banyak sekali yang namanya ananda menang--> pikiran katro).

No. 18, ANANDA IHTISYAMAH ZUHAIDAH
(wuooo aku terkejut! Lebih tepatnya aku terkejut karena namaku berubah menjadi sangat bagus, baru kali itu aku mendengarnya, emmm ANANDA, bagus juga--> pikiran katro selanjutnya). Keterkejutan selanjutnya adalah, tak ada nama lain lagi yang disebut setelah nama Ihti kecil, Subhanallah, juara terakhir di babak penyisihan. Ya, lanjutkan!

Babak semi final digelar. Di sebuah ruangan kelas, dan peserta diatur tempat duduknya, juri seluruhnya berjajar di depan, dan para wali dan orang tua memberikan support dalam diam (karena harus tenang) di ruangan di bagian belakang. Tiap soal mendapat jatah waktu 3 menit. Jurinya menggunakan stop watch yang diberikan guru olah raga, dan Abah ikut menghitung waktu di belakang dengan menggunakan stopwatch di HP butut nya (entah apa motifnya, Abah kog ikut-ikutan ngitung waktunya ngapain entahlah--> pikiran penuh selidik).

Soal demi soal, aku mengerjakannya dengaannn, enjoy mungkin, susah dan pelik mungkin, serius mungkin, Ah! Aku sudah lupa.

Tiba-tiba Abah memecah suasana, 'menuduh' juri tidak tepat dalam memberikan waktu untuk para peserta menjawab soal-soalnya, katanya 3 menit, tapi di stop watch Abah baru  satu setengah menit (Aduh Abah mau bikin ulah apa sih--> pikiran nakal no.5).

Sang juri keukeuh   dengan perhitungannya, stop watch milik guru olah raga yang digunakannya itu valid, sudah 3 putaran tiap soal, itu artinya sudah 3 menit sesuai kesepakatan. Diundanglah si guru olahraga yang kontroversial ke dalam ruangan. Ternyata oh ternyata, ia lupa memberikan 'wejangan' kepada juri pembawa stop watch, bahwa stop watch itu cara penggunaannya adalah satu putaran sama dengan setengah menit, jadi kalau 3 menit ya harusnya 6 putaran.

"OOOOOOOO", sontak semua yang ada dalam ruangan ribut dan waktu-waktu yang sudah berlalu dibiarkan dan diikhlaskan berdasarkan kesepakatan. (Hahahaha, Abah jadi super hero :3 ).

Penyisihan babak semi final selesai. Waktu untuk menunggu seingatku saat dulu itu sangat lama, hingga akhirnya keluarlah pengumuman siapa saja yang berhak ke final. Dan setelah melihat pengumuman itu aku rasa aku tidak masuk final. Dan karena sudah  masuk waktu makan siang, Abah mengajakku untuk makan siang PRASMANAN yang disediakan oleh panitia, tapi setahuku, makanan itu diperuntukkan bagi para peserta yang sudah berhasil masuk final.

"Abaaah, jangan malu-maluin Ihti dong!" (Batinku)
"Ayo pulang (sambil menarik lengan Abah), ayo pulang, Ihti ke sini emang pengen ikut pesta, tapi bukan berarti harus makan di tempat yang bukan seharusnya buat kita, itu kan buat yang lolos aja Abaaaaaaaaah" "Jangan malu-maluin ah!" (masih dalam batin).

Dasar Abah keras kepala, aku akhirnya ikut makan, dengan wajah malu di hadapan semua orang (tetap saja Abah makannya lahap saat itu, hadeh).

Lalu solat, dan setelah solat aku keheranan, aku di suruh ikut tes lagi. Lho? Ihti kan gag lolos final, kenapa harus ikut lagi? Ada keajaibankah? mata berbinar-binar dan senang.

Ternyata, bukan keajaiban, hanya kebodohan dan kecerobohan Ihti, ternyata Ihti lolos final dan Ihti kecil tidak teliti dalam membaca nama-nama juaranya, jadiiiiiiiiiii?! Yang malu-maluin dengan gag mau diajak makan itu aku? Yang malu-maluin sampe narik-narik walinya buat pulang: aku? Jadi kesimpulannya yang malu-maluin itu: AKU. Aaarrgh! Ok Abah, maafkan anakmu yang durhaka ini.

Ngerjain soal lagi.

Teng ..... teng..... teng.... hening.

Sudah.

Selesai.

OK.

Aku yang malu-maluin ini dipanggil namanya terakhir, naik ke podium paling tinggi dengan dua orang laki-laki berada di podium yang lebih rendah dariku. Dan aku membawa 1 piala paling besar, dan membawa piala satu lagi yang luebih besar, bertumpuk 3. (hwaaa senangnya).

Sepanjang jalan, aku tak bisa menyembunyikan kedua piala yang menyembul dari tasku. Dan ingin aku katakan pada tiap orang yang melihat ke arahku, "Ini! Ini adalah hasil didikan orang yang mengendarai motor di depan ini! Orang hebat!" (gkgkgkgk menebus perasaan bersalah, menyalah-nyalahkan Abah :D )

Sesampainya di rumah, Ummi sedang nyuci, dan aku memperlihatkan pialaku ke Ummi, dan Ummi hanya menoleh, dan berkata, "Emmm" (Ihti kecil: Glodak!)

Pengalaman yang asyik bersama Abah :)

 
Design by Wordpress Templates | Bloggerized by Free Blogger Templates | Web Hosting Comparisons