Selasa, 05 November 2019

Hai Senja

Hai, senja. Perkenalkan, namaku Diana.

Maaf jarang menyapamu, karena kukira selama ini sudah terlalu banyak perempuan yang menyapamu, terlebih lewat tulisan. Mereka terlalu melankolis ketika menyebut namamu. Mereka selalu membawa perasaan mereka menjadi sewarna dengan warnamu, senja. Tapi ternyata, sampai pada titik ini, aku menyerah dan mengakui, ternyata aku juga perempuan.

Kenapa aku memilihmu?

Aku dengar kabar bahwa terdapat pergantian shift malaikat di dua waktu dalam satu hari, salah satunya adalah setelah adzan asar berkumandang. Para malaikat yang telah mencatat amal manusia-manusia sepertiku selama seharian akan membawa catatan tersebut ke langit. Melaporkan kepada Tuhannya.

Itu mengapa pesan kedua orangtuaku agar aku tak tidur setelah waktu asar, karena kau akan tiba, senja.Pasti orang tuaku menginginkan agar aku melakukan amalan-amalan terbaik di waktumu. Mengiring kepergian para Malaikat ke hadapan Tuhannya. Malaikat mungkin sedang bergegas mengepak barang-barang, terutama catatan-catatan amalku saat kau tiba. Mereka pasti mengepak nya menjadi pak yang rapi, karena mereka akan menyodorkan pak tersebut kepada Rabb.

Tunggu dulu senja.

Senja, aku ingin menceritakan sesuatu padamu. Betapa sedihnya ketika kau datang dan amalan sudah dicatat. Tak bisakah kau menahan warnamu agar para malaikat tak tergesa pergi kepada Tuhannya? Aku ingin memperbaiki sedikit (ah tidak, itu terlalu banyak) catatan hari ini. Beri aku waktu, untuk memperbaikinya, tolong, jangan berubah warna dulu senja, pinta langit pertahankan birunya, jangan tergesa memerah. Tolong pinta matahari tak tergesa turun. Apa jadinya jika kalian tergesa. Mari duduk senja, duduk di sampingku, jangan tergesa. Ajak pula matahari, langit, dan para malaikat itu duduk di sampingmu. Kubuatkan teh hangat di meja bundar depan rumahku, tempatku tergagap menyesali hariku.

Ya senja, ini persoal adikku.

Ya, aku membuat kesalahan padanya. Dan aku membuat kesalahan di kala waktu dhuhur, senja. waktu nya begitu sedikit dan singkat untuk memperbaiki semua kesalahan itu. Ini bukan perkara sepele. Kau tau senja? Sudah pernah kubilang bukan? harta terbaik seorang kakak hanya satu, yaitu adiknya. Senja tolong tahan para malaikat itu, Senja(!)

Kini aku mengerti mengapa ibu Malinkundang sangat bersedih lama berpisah dengannya. Kini aku mengerti betapa rindu Ibahim pada Ismail yang telah lama dipisahkan. Aku semakin mengerti mengapa Aisyah begitu cemburu ketika Muhammad pergi meski sebentar dari sampingnya. Semuanya menunjukkan ekspresi ketakutan untuk kehilangan. Bukan apa, ini persoal waktu, senja.

Tentang waktu. Telah lama bercengkerama bersama, telah banyak waktu dilalui bersama, sudah bukan waktu yang bisa dibilang sebentar, kita bertegur sapa.Banyak perjuangan diusung bersama, beban dibagi bersama. Senyum tulus terbersit di tengah-tengahnya, bukankah konyol jika semua berakhir karena satu khilafku saja? Lebih konyol adalah tentang rasa takutku kehilangan. Mengapa aku harus melakukan kesalahan? Mengapa harus ada kekhilafan?

Pantas ketika ada banyak orang menginginkan waktu nya kembali. Aku sedang mengalami hal yang sama, ingin kuulang waktu sebelum kulakukan khilafku. Tak sampai hati aku membayangkan kebersamaan kami selama ini. Tak sampai pikir konyolnya kulakukan kesalahan. Aku ingin pergi jauh saja agar tak kembali teringat semuanya. Kuingin buat gua yang bisa kugunakan sebagai tempatku sembunyi. Konyol.

Kutahan suara dari tenggorokan, kutahan air dengan kelopak mata, kutahan gemetar dengan tanganku yang kulingkarkan di badan, gemetar tak ingin kehilangan. Kucoba tenangkan.

Kini, sedih, rindu, cemburu, takut, semuanya sedang kurasakan dalam satu waktu.

Tak apa, senja.

Aku tahu kau hanya tunduk pada perintah Tuhanmu. Aku tak bisa menahanmu lebih lama. Sudah saatnya matahari melakukan tugasnya. Sudah saatnya langit bekerjasama dengannya. Datang dan segera pergilah senja.

Semua amal telah tercatat, tinggal do'a yang bisa kusemat.
Kusampaikan do'a pada Tuhanmu, agar mengampuniku. Kusampaikan pada Nya, bahwa aku sangat menyesal. Meskipun penyesalanku mungkin sekali tak berguna, karena luka pasti berbekas. Namun kata salah satu asatidzah, "Kebaikan mampu menghapuskan keburukan", ya, Tuhanmu memberikan harapan. Akan kupergunakan dengan sebaik-baik perlakuan.

Terimakasih senja,
ternyata aku perempuan normal seperti kebanyakan.


A not verified old sister,
Diana.


Kamis, 11 Juli 2019

Mengakar Kuat Menjulang Tinggi (Wanita)

Menjadi seorang wanita perlu memiliki prinsip. Tak hanya laki-laki.

Menjadi akar yang kuat berarti berilmu mendalam, mengakar hingga dalam. Bagaimanapun seorang putera brilian berhak dilahirkan dari wanita cerdas. Hingga seharusnya itu menjadi cita-cita bersama seluruh wanita. Kita pasti bercita-cita melahirkan putera yang brilian.


Tak baik jika kita kuat sendiri, cerdas sendiri, solih sendiri, tanpa 'melahirkan generasi'. Baik laki-laki maupun perempuan dapat melahirkan (menciptakan) generasi penerus.

Namun melahirkan di sana adalah ungkapan yang menggunakan tanda petik. Sedangkan seorang perempuan memiliki keistimewaan, ia benar-benar diberi kemampuan melahirkan. Tidak berhenti sampai melahirkan, proses mendidik putera yang dilahirkan lah yang mengharuskan kita menjadi perempuan yang cerdas.

Cerdas bukan masalah hasil akhir. Justru kondisi kita sekaranglah yang harus menjadi perhatian. Perempuan yang belum bersuami dan belum melahirkan generasi sudah sepantasnya melakukan perbaikan diri, meng upgrade kemampuan, menjadi perempuan cerdas, cerdas intelektual dan cerdas sosial, serta paling penting adalah cerdas  spiritual.

Menjulang tinggi, berarti sikap yang dimiliki adalah gambaran ilmu yang dimilikinya, akarnya. Batang yang besar dan tinggi sudah pasti memiliki akar yang kuat dan menghujam. Tak ada satupun pohon yang berbatang besar dan menjulang tinggi tanpa akar yang kuat dan dalam.


Pohon yang kuat memiliki akar yang kuat, maka batang pohon itu akan berdiri kokoh dalam keanggunan.

Sekali lagi, karena putera kita kelak berhak dilahirkan dari wanita cerdas dan solih. Dan yakini saja bahwa wanita yang cerdas dan solih pun berhak melahirkan putera yang brilian, InsyaAllah.

Terus mengakar kuat, biar batang melakukan tugasnya sendiri, secara alami menjulang tinggi. Tak perlu banyak risaukan batang. Mari kuatkan akar.

Fastabiqul khoirot!

Selasa, 23 April 2019

Berdesakan dengan Para Nenek

Bismillahirrahmanirrahim,

setelah sekian lama menahan cerita, dan akhirnya banyak cerita-cerita yang tidak tertahan, saya pikir ini adalah waktu yang tepat untuk saya menuliskannya, meramunya menjadi tulisan yang sedap, dan bisa mengenyangkan pembacanya.

Ya, cerita ini tentang cerita para Nenek. Allah memberikan pelajaran bertubi-tubi, dan saya merasa tidak peka dengan pelajaran tersebut. Akhirnya disentil berkali-kali, barulah saya peka dengan sentilan dari Allah yang satu ini.

Kita yang masih muda sangat tidak pantas jika harus berdesakkan dengan para nenek. Para nenek yang cara jalannya sudah "thuyuk-thuyuk" (membungkuk-bungkuk dan pelan) sangat rajin menemui Allah dengan semangat yang membara, dan memalukan bagi kita jika kita berdesakan dengan mereka dalam menuju Allah, apalagi jika harus berjalan di belakang mereka pasti hal itu jauh lebih memalukan bagi kita.

Hari dimana semua orang dikumpulkan di sebuah padang yang sangat lebar, lalu kita akan melihat dan menyadari bahwa kita sedang berdesakan dengan para nenek yang kita lihat di dunia dulu, atau lebih buruk lagi kita berada di belakang para nenek, betapa kita sangat terpuruk saat itu, betapa kita akan sangat malu pada Allah. "Kenapa kamu bisa berdesakkan dengan para nenek? bahkan kamu berada di barisan belakang para nenek?"

Kita sebagai perempuan muda masih punya banyak tenaga, masih punya banyak waktu, masih punya banyak potensi untuk melakukan amalan-amalan solih. Tapi justru seringkali amalan solih kita sama kuantitas dan kualitasnya dengan amalan para nenek, atau bahkan jauh lebih buruk dan lebih sedikit dari amalan para nenek. Seharusnya kita berlari jauh lebih depan daripada mereka. Tapi nyatanya mereka jauh lebih rajin datang ke masjid untuk solat, mereka sangat rajin mengaji qur'an meski terbata, dan mereka selalu berdo'a melebihi doa-doa kita.

Ini adalah tentang amalan ibadah kita. Kita akan berdesakkan dengan siapa kelak? berdesakkan dengan sesama muda, atau berdesakkan dengan para nenek yang kita lihat di dunia?

Nenek 1.

Pengalaman ini adalah pengalaman spiritual pertama kali yang saya alami bersama para nenek. Suatu hari saya dan teman-teman BEM FT 2013 berkunjung ke kota Apel, Malang. Kami beristirahat di saat Subuh di Masjid Besar Batu, dekat dengan taman kota. Kebetulan kami sampai kurang lebih jam 3 pagi, waktu itu gerbang masjid belum dibuka, baru setelah mendekati azan subuh sekitar jam 4, gerbang mulai dibuka. Keheranan demi keheranan terkumpul tidak sengaja. Saya melihat satu nenek telah mengenakan mukena putih memasuki masjid, dengan jalannya yang sangat pelan, padahal azan subuh belum terdengar, tapi si nenek sudah sampai di masjid mendahului jama'ah lainnya. Keheranan selanjutnya adalah: ternyata ia bukanlah nenek yang pertama kali datang ke masjid. Sudah ada beberapa nenek duduk dengan menggoyangkan badannya menikmati dzikir ke kanan dan ke kiri di dalam masjid, saya bertanya dalam hati, "Hey? ini baru jam berapa?" dengan wajah bengong dan keheranan. Cuaca nya saaangat dingin saat itu. Lalu keheranan-keheranan selanjutnya terus bermunculan. Ada nenek yang menggunakan kursi, ketika sampai di masjid ia tak duduk seperti nenek lain, ia duduk di kursi, pikirku "Nenek ini kenapa repot-repot datang ke masjid?"

Di dalam masjid tersebut saya dihujani banyak sekali pertanyaan-pertanyaan yang mengusik kenyamanan. Lalu saya menangis pada satu titik. Titik kondisi dimana saya menyaksikan dengan mata kepala saya sendiri, bahwa barisan para nenek dengan mukena yang mayoritas putih ada lebih dari 3 barisan, nenek yang datang ke masjid sebelum iqomah dilantunkan jumlahnya saaaangat banyak. Ini masjid besar, satu shofnya bahkan memuat banyak orang, dan sungguh pemandangan yang luar biasa ada di hadapan saya. Saya menangis, merinding, tersedak, tak ada teman-teman BEM yang melihatnya, karena memang mereka belum sampai ke dalam masjid, saya sengaja mendahului mereka, dan saya memilih duduk di bagian belakang masjid. Hal yang membuat saya jaaaauh lebih merinding adalah saat setiap ada nenek yang datang, ia akan menyalami beberapa nenek di samping kanan kirinya, namun bukan dengan salaman biasa (tangan dengan tangan), namun para nenek saling bersalaman dengan mencium pipi kanan dan kiri, saling memegang pipi, saling merangkul, dan saling melemparkan pandangan penuh kesyahduan. Efek slow motion yang menjadi fitrah nya para nenek membuat suasana semakin tak terdefinisikan. Seperti banyak kelopak bunga putih yang berguguran di depan pandangan.

Di mata mereka terlihat dan terpancar kasih sayang satu sama lain, sambil mencium pipi kanan dan kiri mereka mengucap salam, lengkap dengan gerakan serba hati-hati khas para nenek. Anggun, bagi saya itu sangat anggun. Wajah mereka cerah luar biasa. Saya menangis. Saya merinding. Saya sesenggukan melihat satu persatu nenek datang, melihat mereka saling bersalaman, mendengar mereka saling melempar salam....suasana di dalam masjid menjadi suasana syahdu yang tidak pernah saya temukan di tempat lain. Lama dan lama akhirnya suasana menjadi jauh lebih ramai, karena nenek-nenek yang datang semakin banyak. Suara dzikir dan bacaan alqur'an terbata khas nenek-nenek seperti dengung lebah di sana.

Ya Allah... Ya Allah... Ya Allah... pertunjukkan luar biasa baru saja saya saksikan. Saya seperti melihat para bidadari, barangkali perilaku bidadari surga sama dengan perilaku para nenek ini. Mereka rajin beribadah, mereka mengasihi satu sama lain. Mereka berlomba-lomba siapa lebih dulu melakukan kebaikan, tetap dalam keanggunan. Mereka tak dikalahkan oleh dingin yang menyerang, seolah ada yang membuat tubuh mereka menjadi hangat kapan saja, yaitu hati mereka. Biarpun fisik mereka sangat lemah, tapi hati mereka sangat kuat. Kita tahu sendiri kota Malang adalah kota yang sangat dingin. Tapi luar biasa bukan para Nenek ini? Allahu...Allahu...

Setelah iqomah dikumandangkan, saya mencoba mendekat, benar-benar ingin berdesak-desakkan dengan para Nenek. Dengan wajah masih sangat kentara dengan bekas tangis dan nafas yang terdengar jelas, saya merapatkan barisan bersama mereka. Lalu salah satu nenek menjulurkan sajadahnya untuk dibagi dengan saya. Ya Allah itu adalah solat subuh paling indah dalam hidup saya. Setelah solat, saya ikut bersalaman dengan para nenek. Mereka ramah, belum pernah saya dapati yang seperti ini sebelumnya.

Sampai keluar masjid pun saya masih merinding. Selain jamaah nenek, jamaah kakek juga banyak, bahkan ketika keluar dari pintu masjid, saya berpapasan dengan kakek yang terkena struk dan separuh badannya tidak bisa digerakkan normal, sehingga ia agak kesulitan untuk berjalan.

Nenek 2.

Di saat saya menepati jadwal les privat matematika, saya dibukakan pintu oleh si kembar. Begitu pintu terbuka, ternyata saya melihat di ruangan sebelah nenek masih menggunakan mukena dan sedang membaca mushaf besar nya yang ia taruh di pangkuannya. Saya kaget melihat hal tersebut. Bukan, bukan meragukan si nenek, melainkan saya heran. Keluarga si kembar ini adalah keluarga yang bisa dibilang "tidak islami". Ibunda si kembar bekerja di semacam EO konser musik dan sering pulang malam karena tuntutan pekerjaannya. Dari sana saya menyimpulkan bahwa keluarga ini biasa saja. Tapi ternyata sang nenek sangat perhatian dengan masalah akhiratnya, dengan ia membaca mushaf alqur'an di malam hari semacam ini, saya yakin hal itu timbul sebagai sebuah kebiasaan, bukan hal yang dilakukan kadang-kadang. Pasti nenek ini sudah terbiasa sebelumnya.

Nenek 3.

Saya bertemu dengan nenek yang berprofesi sebagai polisi, ia sangat disiplin melaksanakan solat berjamaah dan solat duha. Ia selalu menyempatkan diri mampir ke masjid untuk solat ketika bepergian kemana saja. Bukan hanya solatnya yang disiplin, namun juga puasa sunnah nya. Tidak hanya puasa sunnahnya, bahkan ia selalu menerapkan prinsip hidup positif, bahwa segala sesuatu harus dipandang positif, karena yakin bahwa Allah sudah mengaturnya. Bahkan nenek ini selalu mengajak anak-anaknya untuk solat sunnah.

Ketika terdengar adzan isya, ia langsung pamit sebentar untuk melaksanakan solat isya di rumah. Ia menceritakan banyak hal tentang hidupnya. Ia sangat mengutamakan Allah dalam tiap kehidupannya. Aku hanya bisa terdiam mendengar ceritanya, tersenyum dan merefleksikan cerita itu ke dalam diri sendiri. Rasanya jaaauuuh sekali amalan-amalan yang saya lakukan daripada yang nenek ini lakukan. Kali ini bahkan saya tidak bisa berdesakkan bersamanya, karena nyatanya nenek ini telah satu baris lebih depan dari saya, meninggalkan saya di belakangnya. Ia sangat rajin beribadah dan selalu berpikir positif.

...

Semua cerita nenek-nenek itu membuat saya trauma, dan mempertanyakan, "Untuk apa tenaga saya selama ini?" Malu rasanya harus berdesakkan dengan para nenek. Seharusnya kita (dan saya khususnya) berada di depan, berlari lebih kencang dari para nenek, berlomba lebih baik lagi melakukan amalan-amalan solih, dengan segala yang Allah berikan sebagai kelebihan para muda.

Allah yang memasukkan siang ke dalam malam, dan memasukkan malam ke dalam siang. Allah sangat mudah mengatur segala sesuatu. Menjadikan sesuatu itu menjadi sangat mudah, atau menjadikan sesuatu menjadi sangat susah. Allah yang memudahkan, dan Allah yang menyulitkan. Allah yang mengatur segala sesuatu, maka kita layak untuk terus merayu dan berusaha dekat dengan Nya, lebih dekat-dan terus dekat, lebih dekat dari para nenek. Kita harus cemburu dengan para nenek. :")

Kamis, 17 Januari 2019

Aku dan Asrama

Bismillahirrahmanirrahim.

Tidak hentinya puji dan syukur mengalir dari dalam diri atas segala sesuatu yang telah berperan dalam hidup ini, orang-orangnya, cinta yang dibawa mereka, ukhuwah yang sulit terlupa. Hari ini, terimakasih banyak Ya Allah, Engkau mengaruniakan banyak sekali hal. Halaqah baru, suasana baru, semester baru, cinta nya masih cinta yang lama, namun bodohku saja baru bisa merasakannya. Solawat dan salam semoga tersampaikan kepada Nabi Muhammad SAW guru tersabar dalam mengajarkan ukhuwah.

Ini tentang aku dan asrama.

Jika aku ditanya, dimana titik balik hidupmu terjadi? Ketika semua fikiranmu, ragamu, semuanya jungkir balik dari keadaan mulanya. Ketika semuanya berputar hampir 180 derajad. Maka aku akan menjawab, ketika aku masuk asrama atau lebih sakral disebut sebagai pomdok pesantren.

Dulu, awal mula aku mengenal pondok pesantren adalah bermodal dengar-dengar samar dan baca-baca majalah, koran, dan buku-buku cerita, dan tidak kalah seru aku suka curi-curi dengar dari tetangga. Seluruh pesantren dalam imej ku adalah buruk. Seluruh pesantren adalah biasa saja, tiada yang istimewa. Kalaupun ada yang istimewa seperti yang diceritakan ahmad fuadi dalam novelnya, itu hanya pelengkap-lengkap cerita, bukan cerita utamanya. Cerita utama tentang pesantren adalah tempat yang menyeramkan dan banyak aturan, sudah begitu santri-santri yang keluar dari pondok pesantren biasa-biasa saja, bahkan dengar-dengar masih pacaran juga, lalu apa bagusnya pesantren? Ilmu agamanya banyak, penerapannya nol besar. Begitu pandangku tentang asrama pondok pesantren, sebelum akhirnya aku sangat tertarik dengan pondok pesantren setelah membaca sebuah buku cerpen kecil. Buku kecil tersebut menceritakan tentang rasa suka seorang laki-laki terhadap seorang perempuan, namun perempuan ini sangat sulit dijangkau, ia tinggal di pondok pesantren, wajahnya cantik, teduh, sopan, dan jika berjalan selalu menunduk, maka untuk melihat matanya sangat susah baginya. Aku suka dengan karakter tokoh perempuan dalam cerita tersebut. Jadi begitu pesantren perempuan? Lumayan keren juga. Sepertinya aku harus berterimakasih pada penulis buku tersebut nantinya.

 
Design by Wordpress Templates | Bloggerized by Free Blogger Templates | Web Hosting Comparisons