Rabu, 20 November 2013

Wong Urip ki Mikir, Nek Ra Mikir Jenenge Wong Edan. Keren!

Kembali menghela nafas dan masih berpikir keras.

Hari ini, sedang iseng mampir ke toko pakaian, lihat-lihat pakaian, dan mendapat ilmu yang keren, ilmu yang hanya datang sekelebat, dari pembicaraan santai dua laki-laki dan seorang perempuan.

Dua laki-laki itu sepertinya sudah beristri, dan sudah memiliki anak (jadi toko pakaian itu tidak recomended untuk tempat cari jodoh #eh). Sedangkan yang perempuan sepertinya adalah istri dari salah satu laki-laki itu, karena ia duduk berdampingan dengan salah satunya.

Percakapannya kurang lebih begini (awalnya saya anggap itu percakapan konyol),

(+)“Kayaknya dulu aku sebelum nikah keliatan muda, tapi kog sekarang setelah menikah jadi kelihatan tua ya? Kira-kira kenapa ya?”

(-)“Keliatan tua gimana?”

(+)“Ya keliatan tua aja.”

(Tapi ternyata ini perbincangan ringan yang luar biasa, tentang pemaknaan kehidupan, Welcome to the -real- world Ihti)

(-)“Emmm, mungkin karena setelah menikah jadi sering mikir ya? :D Mikir bagaimana menaikkan penghasilan, mikir nanti ngasih makan apa. Yah, namanya orang hidup, yo jenenge wong urip yo mikir, wong urip sing ra mikir jenenge wong edan.”

Ketiganya tertawa dan meng-iya-kan. Lalu lanjutnya, “Kita itu harus mikir, itu rezeki datang darimana, terus dimintai tanggungjawab besok gimana, ternyata harus mikir ya...”

Ya Allah... 'ancaman' menjadi semakin tua ituuu fyuuuh :3 #Eh bukan itu fokusnya. Rasanya ingin menggaris bawahi tebal-tebal kalimat terakhir, “...rezeki itu datang darimana, terus dimintai tanggungjawab besok gimana”.

Ternyata masyarakat kita sudah cukup cerdas memaknai kehidupan, fikirku, kayaknya mereka gag ikut ESQ... tapi keren bisa memaknai yang sederhana menjadi luar biasa seperti itu. Luar biasa, karena hal itu yang mengatakan adalah masyarakat biasa dan bukan mahasiswa, bukan ustadz, #terharu. Keren!

Ya, pak, memang, ternyata mikir itu 'sesuatu' banget, tapi aku gag mau jadi orang 'edan'. Setelah itu aku bertekad untuk terus berfikir. #Allah... mudahkanlah...

Rekomendasi Tempat Refresh Pikiran: Masjid Kampung

Malam ini, sepertinya masih terkena efek balapan di sepanjang ringroad sama mas-mas yang tak kukenal :D Masuk angin >o<"

Tapi sepertinya menulis dapat mengalahkan sakitnya :)

Maghrib, setelah selesai nge-les privat (adeknya beragama kristen, jadi gag mungkin numpang solat di rumahnya :3) tengok kanan kiri cari masjid, eh lihat dua orang bapak naik motor pake peci di kepalanya, fikirku, "Pasti tak jauh dari sini ada masjid." Benar saja, di kanan jalan tertulis, "Masjid Al-Aziz".

Ok. Mampir.

Ah, lama sekali ya rasanya tak mampir di masjid kampung :) damai, syahdu, tenteram, khusyuk, recomended bagi yang lagi listing tempat cari jodoh #eh.

Tipe masjid kampung yang jauh dari keramaian, jauh dari bising, kebersihannya terjaga, jarang mukena dan Mushafnya (karena kebanyakan warga bawa sendiri-sendiri), sangat cocok sebagai sarana refresh pikiran. Recomended banget pokoknya. Buat yang lagi ribut sama sahabatnya, sama pacarnya (udah putusin aja), sama dosennya, atau lagi galau banyak tugas, galau gag punya uang, galau amanah datang bertubi-tubi,  (#eh keterusan curhat) bingung mencari solusi kehidupan (#lah kog puitis banget), atau sekedar rindu pada Tuhannya, dateng aja ke: Masjid kampung!

Masjid kampung. Menyediakan berbagai macam perlengkapan ibadah seperti sarung, peci, mukena, dan sajadah (itu toko kali ihti! malah promosi....). Ya, dateng aja, tenteram hatinya :) InsyaAllah (kali ini serius).

Selesai solat, aku benar-benar bisa mengendorkan urat saraf, melengkungkan punggung, dan menghirup udara segar keheningan. Melihat sekeliling dan (oh?) ada mas-mas/ bapak-bapak/ kakek-kakek (kalau yang ini gag mungkin), pokoknya itu laki-laki yang: masih muda banget enggak, tua banget juga enggak (bener kan, recomended buat cari jodoh #hush).

Si bapak (yang masih muda) ini duduk di shaf laki-laki pake peci dan sarung, dengan wajah menunduk setunduk-tunduknya, sikunya menahan berat badannya di kaki yang duduk bersila, tangannya terkulai pasrah.

Aku bertanya dalam hati, dimana lagi aku bisa melihat pemandangan ini, kalau bukan di masjid. Pemandangan seorang manusia yang menunduk pasrah pada sesuatu yang tak ada di depannya. Bagaimana jika laki-laki ini melakukan hal yang sama di pasar, atau di dekat pom bensin, atau di jalanan yang ramai, dilihat oleh banyak orang, sepertinya tidak akan mungkin ada yang seperti itu, yang ada ia akan dianggap gila, atau minimal dianggap frustasi berat.

Tapi ini ruangan yang istimewa, masjid, tempat bertemunya para hamba dengan Tuhannya.

Dan karena selama ini yang jadi referensiku tentang cerita raja-raja hanya di film Angling Darma, aku membayangkan bahwa laki-laki ini sedang bersimpuh di hadapan raja nya Angling Darma. Ya, sikap duduk yang ia lakukan hanya bisa dipraktikkan oleh orang yang sangat menghormati 'Raja' yang ada di depannya.

Tapi di depannya tak ada apa-apa, ini di masjid Ihti, yang ada di hadapan shaf laki-laki ya hanya tembok. Ini lah yang selama ini kau lupakan, kapan terakhir kau meminta pada Tuhanmu sekhusyuk itu? Sekhusyuk yang dilakukan lelaki itu...

Pasti 'sesuatu' yang 'ada' di hadapannya adalah sesuatu yang sangat hebat, sesuatu yang ia yakini dapat menentukan nasibnya, sesuatu yang Maha Besar, ya, itu Allah ihti. Dia sedang bercerita dan berpasrah diri pada Allah, seolah Allah ada di hadapannya.

ilustrasi gambar

Lama, lama sekali. Tapi siapa yang tak betah berlama-lama di suasana seperti itu, damai, tenang, lebih baik di sana berlama-lama kalau tidak ada urusan.

Pada akhirnya ia beranjak, beranjak dari duduk lamanya, beranjak dari simpuhnya, ia keluar masjid, dan aku hanya bisa bergumam, "Kabulkan do'anya Ya Allah, kabulkan, aku menjadi saksi bahwa ia sangat berharap padamu, dan ia melakukannya dengan sangat khusyuk." (Aku berpikir, jangan-jangan ia sedang berdo'a untuk dipertemukan dengan jodohnya #wushhh).

Setelah itu aku berfikir keras, sepertinya aku terlalu banyak bercanda, sedangkan ada orang sepertinya yang sangat serius, aku terlalu banyak tertawa, sedangkan ada orang sepertinya yang sangat tenang, aku terlalu sering tergesa-gesa, sedangkan ia begitu menikmati pertemuannya dengan Tuhannya lewat do'a.

Aku #berfikir #keras dan berkaca. Kelak di pintu surga aku harus mengantri di urutan ke berapa? Kalau ada banyak orang sepertinya. Lalu kembali #berfikir #keras.

Ihtisyamah Zuhaidah
#masih #berpikir #keras
| 2013

Sumber gambar: 

Jumat, 15 November 2013

Didik Dirimu dengan Keras

Inilah aku, aku yang dididik dengan keras. Sejak dulu. Dan sekarang aku lepas.

Hingga aku rasakan, ternyata begitu kuat didikan keras di 'istana' ketika dulu. Dimana yang lain bermanja, aku bekerja. Dimana yang lain bersenang, aku mengelus kening tuk tetap tenang.

Bagiku bukan sekadar penghargaan manusia, ada yang jauh lebih menggiiurkan dari kerja-kerja di dunia, apalagi jika bukan mati.

Bagiku, mati adalah penyelesaian masalah. Tapi di sana harus ada pendewasaan, bahwa mati butuh persiapan.

Dunia ini penuh masalah, lalu apa yang kita lakukan selama ini dengan masalah-masalah itu. Bukankah kita hanya sedang mengisi waktu luang kita dengannya untuk menunggu mati?

Aku rasa iya, nyatanya kita semua pasti akan mati. Dan semua pasti punya masalah.

Tapi orang yang paling cerdas adalah orang yang paling banyak mempersiapkan mati. Ya, karena ia memiliki otak, dan otaknya ia persilakan memahami ayat-ayat alqur'an, jadi ialah yang paling siap mati, dengan segenap persiapan.

Adakah yang siap mati sekarang ini?

Akupun mungkin akan menjawab, aku belum siap. Tapi sayang nya setelah beribu bahkan berjuta-juta kabar orang meninggal, tak ada satupun dari mereka yang mendapatkan pengalaman ditanya malaikat, "Sudahkah siap mati?" dan dijawab, "Belum" lalu waktu kematian diundur.

Tidak ada yang seperti itu.

Maka mungkin inilah jawabnya kenapa aku dididik dengan keras. Itu supaya aku mampu menyiapkan mati sejak dini.

Minggu, 10 November 2013

Orang Bilang

Untuk menjadi orang yang sempurna (perfect), itu gampang, turuti saja semua yang orang bilang.

Saya berdarah melankolis, konon katanya, dalam diri orang-orang melankolis ada satu kekurangan yang sangat kuat melekat, yaitu sifat perfectionist. Ya, sifat perfecsionist itu adalah kekurangan, bukan kelebihan, apa alasannya, kita sudah bahas di tulisan yang lalu.

Sifat ini selalu menuntut saya melakukan segala sesuatu secara detail dan sempurna, jika tidak, perasaan penuh tekanan (stess) itu niscaya terjadi setelahnya. Atau jika memang saya sudah merasa tidak bisa mengerjakannya dengan sempurna, maka saya memilih tidak akan melakukannya sama sekali!

Entah, sifat itu benar-benar melekat pada diri saya atau tidak, tapi begitulah kebanyakan orang melankolis merasakan. Tenang, saya bukan melankol sempurna, saya juga punya kecondongan ke sanguin, si pembelajar cepat, bagaimanapun saya bisa belajar cara memperbaiki sifat perfectionist tersebut.

Ok, fokus bahasan kita bukan pada sifat itu. Tapi pada apa kata orang.

Saya sadar sepenuhnya, bahwa diri saya adalah bentukan lingkungan. Tepatnya, saya percaya saja apa yang orang bilang. Jika ada yang bilang ini baik, saya akan beromba menjadi yang paling baik di antara yang baik. Jika orang bilang itu buruk, saya akan menjauhi sejauh-jauhnya sesuai saran 'orang bilang'.

Usia saya sekarang 20 tahun dan selama lebih dari 15 tahun saya hidup mengikuti prinsip itu, mengikuti 'apa orang bilang'. Menyenangkan sekali jika saya bisa mencapai suatu hal yang orang bilang baik. Dan sangat terpukul bahkan sampai stress tidak dapat mencapainya, atau malah melakukan hal (yang orang bilang) buruk.

Begitulah lingkungan sangat mempengaruhi saya. Beruntungnya (saya harus mengucap syukur) karena saya dilahirkan dan hidup di antara orang-orang baik. Jadi apa yang mereka katakan memang baik adanya, yang baik dibilang baik, yang buruk dibilang buruk.

Namun sifat saya yang selalu mengikuti apa kata orang itu, saya rasakan sebagai masalah besar akhir-akhir ini. Karena semakin dewasa umur saya, saya merasakan banyak sekali hal-hal ideal (yang dikatakan orang) sebagai hal yang baik, ternyata sulit sekali dicapai. Dan realita nya, saya merasakan lelah! mengikuti apa yang orang bilang.

Adakah yang mengalami masalah sama dengan saya?

Dulu, saya rasa ini dulu, dan saya ceritakan sekarang. Saya adalah anak yang paling 'disayang' oleh guru dimanapun, di SD, di SMP, di SMA (ini lebay). Begitu pula dengan saudara-saudara saya, tetangga-tetangga saya, dan orang-orang di sekitar saya. Itu karena saya berhasil melewati standar sifat-sifat (yang orang bilang) sebagai anak yang baik.

Saya penurut, tidak banyak protes, saya pintar, saya manis, saya sopan, saya alim, cuma akhir-akhir ini saya baru tahu bahwa dulu penampilan saya sangat cupu. Tapi biarlah, saat itu orang-orang di sekeliling saya tidak bilang bahwa cupu itu jelek, jadi saya enjoy saja. Saya bisa berbangga dengan saya yang dulu.

Ternyata dunia itu luas, tidak hanya dunianya orang-orang baik saja, terlebih ketika saya memasuki bangku kuliah. Ada berbagai macam cara berfikir. Sempat saya masih mengikuti apa orang bilang.

Saya masih menerapkan prinsip yang baik itu sesuai apa yang orang bilang, yang buruk juga sesuai apa yang orang bilang saat itu.

Sekarang ini, saya SANGAT BERMASALAH dengan prinsip tersebut. Hal itu karena saya merasakan, apa yang saya turuti --> APA YANG ORANG BILANG sama sekali bukan standar yang baku. Orang yang saya temui di sini mengatakan ini baik, orang yang di sana mengatakan ini tidak baik. Banyak yang berbeda, dari apa yang orang bilang. Terlebih di dunia yang saya hadapi sekarang. Lagi-lagi karena beragamnya cara berfikir orang-orang yang saya temui.

Dan saya lebih banyak tertekan mengikuti apa yang orang bilang.

Pada akhirnya, saya memutuskan, bahwa saya adalah saya, orang mau bilang apa, patokan saya bukan lagi apa yang orang bilang, tapi patokan saya adalah hati saya. Saya bisa memiliki dan merasakan hati saya sepenuhnya. Namun saya sadar, bahwa pemilik hati yang sesungguhnya adalah Tuhan YME siapa lagi kalau bukan Allah SWT.

Saya memang benar-benar akan mengikuti hati saya, namun hati ini seringkali kotor, satu-satunya cara saya yang saya gunakan untuk memaksimalkan hati saya untuk merasa adalah mendekatkan diri pada-Nya, yaitu dengan selalu mengingat-Nya.

Karena hati yang dekat dengan Allah dengan selalu mengingat-Nya adalah sumber ketenangan yang utama. Memangnya apa lagi yang dicari manusia di dunia ini kalau bukan: ketenangan.

"orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram." Q.S. Ar Ra'd : 28.

Tuhaaan Aku Temukan Dunia!

Tuhaaaan, aku temukan dunia!

Tiga anak perempuan kecil berseragam pramuka turun dari becak, dan bersegera memetik bunga di pinggir jalan. Ah sudah seperti lagu saja. Tapi tidak, ini bukan lagu. Ini yang kusebut dunia!

Pasti aksi tawar-menawar 3 anak kecil ini dengan si tukang becak sangat lucu. Bagaimana mungkin ada penumpang becak yang minta turun sebentar hanya untuk memetik bunga, lalu naik lagi. Ah aku membayangkan keributan yang sangat lucu ketika mereka meminta turun sebentar. Dan terlihat si tukang becak hanya tersenyum melihat kurcaci-kurcaci mungil ini berbahagia dengan bunga mereka.

Ini lah dunia. Dunia yang tidak hanya membicarakan mata kuliah ini, mata kuliah itu. Nilai ini nilai itu. Tugas ini tugas itu. Dunia penuh persaingan.

Kutemukan dunia. Dunia yang tanahnya basah oleh air hujan, dan dijejali kehidupan sosial manusia-manusianya. Dunia sebenarnya.

Tuhaaaan, aku temukan dunia!

Aku bertanya-tanya, bagaimana bisa ia menjemputku dengan waktu yang SANGAT CEPAT, padahal jaraknya lumayan jauh. Ia tampak tenang, tidak ada raut tergesa. Bagaimana mungkin. Kecepatannya sekarang hanya 50 km/ jam. Ah bagaimana bisa.

Sampai di depan pintu garasi, ia memerintahkanku mengambilkan selang air dan menghidupkannya. Kakinya belepotan tanah basah, lumpur. Bagian bawah motornya juga.

Ia pintar sekali menyembunyikan usahanya. Di musim hujan seperti ini, jalan aspal pun berlumpur. Dan tak mungkin sampai sekotor itu jika ia tak mengebut.

Dunia macam apa yang kutemui ini. Bapak yang berpura-pura di depan anaknya, berpura-pura menutupi usaha kerasnya, menutupi kegelisahannya. Inikah dunia yang sebenarnya?

Aku terlalu lama menutupi mata dengan kertas-kertas tugas, kertas-kertas nilai, dan kertas-kertas berbau persaingan lainnya. 


Kini aku menikmati malam-malam di rumah, dan aku temukan dunia, dengan Orang-orang di sekelilingku, termasuk ayah. Sepenggal dunia yang kutemukan ketika pertama kali tiba di kampung laman:

Aku terkaget, "Ya Tuhan... jenggotnya sudah memutih."

Aku terkaget seolah lama sekali tak pernah melihatnya. Datang ia dengan suzuki biru kesayangannya, dengan gestur dan suara motornya yang tak mungkin ku lupa. Satu yang berbeda, uban-uban putih itu. Abah.

Ah tidak, aku mulai membenci uban. Entahlah. Aku harap semoga aku hanya sedang mencari kambing hitam atas usianya yang mulai menua.
~Pertemuan malam romantis di stasiun.

 
Design by Wordpress Templates | Bloggerized by Free Blogger Templates | Web Hosting Comparisons