Rabu, 26 Maret 2014

Garuda Ini Beranjak Dewasa Bah, Mi

Bismillahirrahmanirrahim,

Meskipun aku kini sudah dewasa, aku tetap menganggap diriku bagian dari Garuda Keadilan (insyaAllah masih bisa menyandang status ini mumpung belum menikah :D_). Karena sejatinya Garuda Keadilan adalah komunitas anak-anak. Ya, anak-anak yang menuntut keadilan dari kedua orang tuanya yang sering meninggalkan rumah dan sering membatalkan agenda akhir pekan dengan alasan ada urusan. :D Becanda kog, insyaAllah kalaupun ada urusan, itu adalah urusan dakwah, dan insyaAllah, kami akan tetap menjaga husnudzon itu hingga menua nanti.

Masih teringat betul, dulu ketika tinggiku baru 120an, Abah menggandengku ketika turun dari bis sekaligus sesekali menggendongku, bersama orang ramai yang aku tak tahu darimana saja mereka berasal, namun mereka berseragam senada denganku dan dengan Abah. Segerombolan anak-anak kecil yang lain bersama orang tua mereka juga menuju titik yang sama, GBK, Gelora Bung Karno.

Ah lucunya, dulu, ketika aku bisa mengibarkan bendera besar yang dikibarkan juga oleh orang-orang dewasa di sekelilingku saat itu, rasanya bangga turut serta memutihkan GBK. [2004]

Abah, Umi, garuda ini telah beranjak dewasa. Meskipun tahun ini tak bisa mengulang kembali kenangan di GBK, tapi hari ini [25/3], aku berangkat dengan tak lagi bergelayut, berangkat dengan tak lagi bermanja, namun berangkat dengan penuh rasa bangga, bahwa garuda ini turut memutihkan Maguwo Harjo, Yogyakarta. Cukup untuk membangkitkan kenangan bertahun-tahun lalu itu.

Terimakasih Umi, terimakasih Abah, telah mengantarkanku hingga 17 tahun lamanya, menyandang nama Garuda, dengan euforia yang ada. Tapi sekarang, umurku mendekati 21 tahun, tak layak hanya urun dalam euforia, seharusnya ada hal lebih yang bisa kulakukan. Dan sejak berumur 18 tahun lalu, aku baru mengerti, apa tugas Sang Garuda, aku baru menyadari kenapa aku disebut Garuda, aku baru bisa berfikir dan memantapkan diri mampu menanggung segala resiko menjadi anak kader PKS.

Ya, semenjak masuk ke kampus, aku dipaksa mengerti, aku dipaksa memahami tanpa banyak tanya. Walau sebenarnya aku benci dengan itu semua. Tapi baru kusadari dan kurasakan hasil dan efeknya memasuki usia dewasa.

Tentang rasa benci.

Mungkin jika sejak bayi aku sudah bisa membenci, maka aku membenci Abah dan Umi selama 17 tahun lamanya. Aku benci Abah dan Umi yang mendidikku dengan cara keras, aku benci dengan peraturan-peraturan ketat, aku benci harus menangis di hadapan teman-teman hanya karena dimarahi, terlebih dimarahi karena urusan sepele.

Aku benci ketika pulang ke rumah tak ada makan siang tersedia, karena Abah dan Umi belum pulang juga.

Aku benci ketika orang tua teman-temanku mengambil rapor dan menanyai nilai dan rangking mereka, tapi Abah dan Umi tidak melakukannya.

Kemana Abah dan Umi(?!).

Aku benci ketika Umi lebih banyak mengurusi anak-anak orang, daripada mengurusi anaknya sendiri, pergi pagi pulang sore, dan petangnya tak ada waktu untuk kami.

Ampun, Bah, Mi, ampun, aku kini tau, tau sepenuhnya(!) :’)

Masa Memasuki Kampus.

Semenjak masuk kampus, aku bertemu orang-orang hebat, yang menyadarkanku tentang dakwah ini. Kini, garuda ini kembali menyandang namanya dengan bangga, Garuda Keadilan, dengan separuh kesadaran, di awal masuk kampus. Sedangkan sekarang, (aku mantapkan kembali bahwa) aku mengerti dan memahami sepenuhnya, ya(!), dengan sepenuh kesadaran.

Awalnya kupikir untuk apa menggelar nama Garuda di dada, bahkan aku sempat membencinya, bukan lagi dikatakan sempat kalau sudah 17 tahun lamanya, tapi aku rasa itu benci yang membabi buta.

Benciku salah,

Ya, benciku salah,

Di kala ada banyak mahasiswa tak mengetahui orientasi hidupnya, berkat didikan Abah dan Umi 17 tahun ditempa, aku tak mengalami kesulitan tentangnya, dengan bekal agama dan didikan keras yang kalian berikan .

Di kala banyak teman-temanku diambilkan rapornya, dan ditanya rangking berapa, Abah dan Umi memang tak menanyakannya, tapi entah bagaimana kalian bisa tahu terlebih dulu sebelum aku berinisiatif memberi tau. Rupanya kalian menggunakan cara-cara yang tak biasa untuk memberikan perhatian ke anak-anaknya.
Persoal makan siang belum tersaji di meja, waktu di petang hari yang bahkan tak bersisa, ampuni aku yang membenci kalian karenanya. Dulu aku mengutuki diri ini kenapa menyandang nama Garuda, sejak awal masuk kampus sudah harus ‘bekerja’ berat, ketika aku bertanya kenapa begitu kenapa yang lain tidak, jawabannya selalu: suatu saat kau akan tau, atau mentok-mentok jawabannya adalah: karena kau Garuda. Sejak saat itu aku mencoba tak banyak bertanya, hanya menyimpan sisa-sisa benci dalam hati, dan mencoba terus menunggu yang bernama ‘suatu saat’ itu tiba.

Sejak saat itu pula, aku merasakan usaha untuk sekedar memenuhi makan pagi, makan siang, makan malam, dan segala kebutuhanku sendiri. Rupanya tak gampang. Sering aku mencoba menahan lapar saat siang, dan kembali terkenang ketika dulu makan siang tak tersajikan di meja makan. Sekarang aku sudah belajar memaafkan. Ternyata menyiapkan makan siang ketika ‘kerja berat’ sedang disandang bukanlah pekerjaan mudah. Kini aku yang merasakan pergi pagi pulang petang. Lelah? Iya, tapi jika teringat Umi sudah melakukannya sejak dulu, aku hanya mencoba menahan untuk tidak memukuli diri sendiri, dan mengutukinya mengapa dulu sempat membenci. Seharusnya sekarang aku membenci diri sendiri.

Dulu tak jarang Abah harus pergi malam hari dalam jarak yang jauh, dengan alasan liqo. Umi selalu menunggui untuk membuka kunci di malam hari. Dulu aku juga membenci itu, kenapa harus malam hari, membuat khawatir orang rumah saja, apa sih liqo’ sampai harus segitunya. Ampun Bah, Ihti minta ampun. Kini aku sadar, betapa penting menjaga liqo’.

2014.

Dengan sadar, aku mengubah rasa benci itu sepenuhnya menjadi CINTA. Kini (karena sekali lagi mumpung belum menikah) aku dengan bangga menyandang kembali nama Garuda, Garuda Keadilan.

Aku memilih jalan ini, merasakan apa yang dulu (bahkan sampai sekarang) Abah dan Umi rasakan, menjaga keistiqomahan dalam agama Islam. Aku memilih jalan ini dengan sepenuh kesadaran, ya, kini aku sadar dengan sepenuh kesadaran, aku memilihnya, bukan ikut-ikutan, dan bukan fanatisme semata.

Aku tak ingin menjadi orang yang fanatis, maka aku memilih karena aku berfikir. Aku memilih karena sekarang aku faham dan mengerti. Aku memilih dengan segala konsekuensi tenaga, fikiran, dan hati.

Aku memilih jalan ini.

Dakwah ini berat, dakwah ini berkerikil, dakwah ini sesekali berbau amis darah, dakwah ini sesekali dipenuhi cerca, dakwah ini tak jarang dipandang sebelah mata, namun sudah kupenuhi hati ini dengan cinta. Pesan dari salah satu orang tua Garuda Keadilan, “Tak usah sibuk memikirkan gangguan-gangguan orang lain, tak usah sibuk memikirkan seberapa kuat musuh, karena yang harus terus dipikirkan adalah Allah, yang harus senantiasa diingat adalah Allah. Bergeraklah untuk dakwah ini dengan terus mengingat Allah, tak usah diingat sudah kehilangan apa saja, bahkan kalau perlu tak usah khawatir kehilangan diri kita sendiri, cukup ingat Allah saja.”

Sebegitukah besarnya beban dakwah ini hingga ada yang mengatakan tak usah khawatir untuk kehilangan diri kita sendiri. Jawabannya: sudah kurasakan sendiri. Pilihannya sekarang, bergerak dalam kemuliaan, atau mati dalam kelelahan.

Garuda ini akan terbang bersama garuda-garuda yang lainnya Bah, Mi, jazakumullahu khoir untuk didikannya selama ini. Selamat berjuang Umi, kalau lah nanti terpilih menjadi anggota legislatif, kami akan mendukungmu dengan sepenuh cinta, banyak yang membutuhkan  pemikiran dan tenagamu, kami mengerti, kau harus berjuang keras untuk dakwah ini. Kalaupun nantinya Allah belum merestuimu menjadi Aleg, cinta kamipun tak akan berkurang. Abah adalah orang yang hebat di balik segala kesederhanaan yang kau sandang. Aku mencintai kalian karena Allah, Bah, Mi.



Garuda yang (beranjak) dewasa.


Ihtisyamah Zuhaidah

Baca juga: http://ihtisyamah.blogspot.com/2013/06/ibuku-guru-tk-itulah-ruang-jihadnya.html

 
Design by Wordpress Templates | Bloggerized by Free Blogger Templates | Web Hosting Comparisons