Senin, 26 Januari 2015

Menyanding Rasa dan Logika

Menyanding rasa dan logika.
Laki-laki dan perempuan seringkali tidak cocok? Wajar. Keduanya (laki-laki dan perempuan) menyanding hal yang berbeda. Satu mengedepankan rasa, sisanya mengedepankan logika. Terkadang berdebat hebat, tak jarang berseteru seru, saling beradu.
Tidak perlu khawatir atau bersedih saat bertengkar.
Kita hanya sedang lupa, bahwa ada Allah. Terkadang kita lupa ada Allah. Sampai bertengkar hebat, adu pendapat.

Kenapa bertengkar?
sebetulnya (hanya) karena logika kita yang tak sampai.
Kenapa berselisih?
sebetulnya (hanya) karena rasa kita yang tak sampai.

Logika dan rasa kita terbatas. Tapi kita sering meng-agung-kannya. Menganggap rasa dan logika kita paling benar. Padahal ada Allah yang Maha agung dan Maha benar. Allah, seringkali memberikan solusi di luar batas logika dan rasa. Ya, hanya permasalahan logika dan rasa kita saja yang tak sampai.
Maka, loby Allah untuk menyelesaikan permasalahan kita. Berhenti loby manusia yang berimbas pertengkaran. Percaya, Allah punya solusi di luar batas rasa dan logika smile emoticon

Do'a!

-Allah Maha besar kog-

Ya, berselisih paham itu tidak enak rasanya.

Lalu bagaimana solusinya? Biar saya kutipkan penggalan paragraf dalam buku Dalam Dekapan Ukhuwah yang ditulis oleh Salim Afilah untuk mengantarkan ke cerita saya,

“Dalam satu segi, menJaga harmoni memang berarti menghindari konflik. Adalah lebih baik diam jika bicara justru memperkeruh suasana. Lebih baik mengalah jika menang berarti membuat luka...”

Menjaga hubungan baik kita sepakati bersama sebagai hal yang akan terus kita usahakan. Tapi terkadang, seperti apa yang dipaparkan dalam buku Man Are From Mars, Women Are From Venus, tidak jarang terjadi benturan antara laki-laki dan perempuan. Satu sangat peka dengan rasa, satu sangat kokoh dengan logika.

Tapi memang keduanya berbeda. Satu dari Mars dan satu dari Venus.

Begini ceritanya, Makhluk Mars yang gagah menemui makhluk perasa di Venus, kemudian keduanya menyepakati bersama untuk berpindah ke Bumi. Saat berada di Venus keduanya saling memahami bahwa masing-masing mereka berbeda. Hingga mereka selalu memberi pewajaran, dan mencoba mengerti dengan perbedaan. Ya, mereka sadar, kemudian mencoba memahami satu sama lain. Tapi lain cerita di Bumi.

Ketika di Bumi keduanya lupa darimana masing-masing berasal. Mereka lupa mereka berasal dari tempat yang berbeda, yang mereka ingat, mereka sudah sama-sama tinggal di Bumi. Karena lupa itu lah, mereka mulai saling menyalahkan. Karena mereka lupa maka mereka tak bisa saling memahami.

Berawal dari lupa.

Begitulah dipaparkan dalam buku psikologi orang Barat, tentang perbedaan laki-laki dan perempuan. Setidaknya dari sana saya mendapat referensi bahwa laki-laki dan perempuan memang beda. Dan orang Barat memberikan solusi dengan cara “mengembalikan ingatan makhluk Mars dan makhluk Venus bahwa mereka berbeda, lalu mulai saling memahami kembali.”

Sejauh ini saya tidak menentang pendapat tersebut. Hanya saja saya butuh pegangan yang lebih kuat yang belum saya dapatkan di dalamnya.

Kemudian saya dibuat kagum dengan penjabaran teori “cara bersaudara yang baik” dalam buku Dalam Dekapan Ukhuwah yang ditulis oleh Salim Afilah, dimana dalam buku tersebut banyak pemaparan sudut pandang Islam mengatasi permasalahan dua manusia atau lebih (baik laki-laki maupun perempuan).

Dari sana, ada dua hal yang kemudian menggelitik saya untuk mengumpulkan yang terserak, mencoba menerapkan dua hal tersebut dalam permasalahan saya sehari-hari. Hal pertama, Latar belakang pemikiran laki-laki dan perempuan yang berbeda dan kedua solusi yang ditawarkan islam menghadapi perbedaan.

::::

Ya, hari kemarin adalah hari yang sangat hebat bagi saya. Berat, namun penuh kejutan.
Perdebatan saya dengan bapak saya di Pondok, ya, kita sebut beliau sebagai bapak. Ustad pengasuh pesantren mahasiswi tempat saya menimba ilmu.
Dalam cerita saya ini, saya merasakan betul perbedaan ketika saya harus berbicara dengan Umi dan berbicara dengan ustad. Yang dalam permasalahan ini, umi adalah perempuan, dan ustad adalah laki-laki.

Saya tidak ingin mengerucutkan seberapa jauh perbedaan laki-laki dan perempuan. Tapi saya justru ingin menjadikan perbedaan itu sebagai sebuah pemakluman, dan pewajaran. Dan selayaknya kita akan terus berusaha menjaga hubungan baik. Perwujudan akhlak seorang muslim. Hanya butuh saling memahami.

Begini  awal mulanya...

Saya dan teman-teman pengurus harian BEM FT UNY 2014 sedang membuat sebuah agenda silaturahmi yang menjadi tradisi dari tahun ke tahun. Silaturahmi akan dilaksanakan selama 3 hari berturut-turut, keliling Jawa Tengah. Dimulai dari Kulonprogo, Purworejo, Purbalingga, Wonosobo, Magelang, kemudian kembali ke Jogja.

Kemudian saya memberanikan diri untuk izin dari pondok. Malang sungguh malang, acara dilaksanakan di hari Senin hingga Rabu. Itu adalah hari efektif perkuliahan semester dua di Pondok. Saya sudah mempersiapkan diri untuk memberanikan diri meminta izin.

Permintaan izin ini alot hingga dua hari.

Hari pertama, saya bertemu Umi.

Ini dia. Saya berbicara panjang dan lebar dengan Umi. Saya jelaskan keperluan saya, saya jelaskan maksud saya, “Ini adalah masa akhir kepengurusan saya di BEM Umi, kalau selama ini saya izin karena urusan BEM, izinkan saya untuk izin sekali ini lagi saja. Saya sudah meniatkan diri untuk fokus di Asma satu setengah tahun ke depan.”

Saya menjelaskan bahwa agenda silaturahmi ini sangat penting bagi saya, karena rombongan akan mengunjungi rumah-rumah pengurus, “Setelah ini saya akan sulit bertemu lagi dengan mereka Mi, ini agenda silaturahmi terakhir.”

Umi memahami itu, kemudian menanyakan teknis perjalanan dan teknis menginap. “Perjalanannya tiga hari di dalam mobil Mah?” Saya menimpali dengan cepat, “Iya Umi.”
“Itu perlu hati-hati, apalagi bercampur laki-laki dan perempuan dalam satu tempat, dan dalam waktu yang panjang, ya tergantung pribadi masing-masing. Terus menginapnya bagaimana?” Umi sedang mempertimbangkan banyak hal.

Sejauh ini, Umi dengan nada lembut mencoba menghargai apa yang saya sampaikan. Juga menghargai keperluan saya untuk bersilaturahmi dengan dengan teman-teman.
Keputusan ditunda sampai esok harinya. Saya diminta untuk menunggu pagi hari di hari berikutnya.

______
Hari berikutnya pun tiba. Beban pikiran saya sangat banyak hari itu. Menumpuk menjadi satu. Dari mulai Orang tua wali dari adik les privat saya meminta saya memberikan les dari pukul 10 sampai pukul 15, sedangkan saya tak ada pinjaman motor, kalaupun ada saya hanya bisa meminjam hingga waktu dhuhur. Saya mau menolak tawaran tersebut tidak sampai hati. Tapi terus terpikir.
Jadwal ngaji yang tiba-tiba diagendakan ba'da asar, di tempat yang jauh, dan permasalahan lain yang tidak perlu saya sebutkan.

Saya menemui Umi jam 6, Umi bilang, “Nanti ya Mah, Abi belum pulang, Umi belum sempat ngobrol soal ini dengan Abi. Nanti jam 8an ya.”

Saya menunggu dalam cemas. Masih dengan pikiran, ke siapa saya bisa pinjam motor. Jam 10 sampai jam 15 itu adalah waktu yang sangat panjang.

Jam 8 saya tanyakan lagi, kata Umi, “Sebentar ya mah...”

Sampai pukul 09.30 saya mendapat pesan masuk, “Ammah, sekarang sudah bisa ke RBU.”

Hemmm. Baiklah. Apapun keputusannya, saya sudah meniatkan diri ikhlas. Karena kemarin Umi bilang, bahwa pertimbangan terbesarnya adalah ketika saya berada di dalam mobil bercampur dengan laki-laki dalam perjalanan yang panjang, itu tidak ahsan. Pertimbangan tersebut juga yang dulu membuat Umi saya di rumah marah, maka dari itu ketika Umi di Pondok mengatakan bahwa pertimbangan besarnya adalah itu saya legowo jika tidak diizinkan. Saya sangat menerima alasan tersebut.

Tapi hal yang tidak disangka, yang datang ke RBU bukan Umi. Tapi Ustad.
Saya kaget.

Kemudian ustad duduk, “Ada apa mbak Ihti?” Beliau memanggil saya dengan panggilan mbak, berbeda dengan Umi yang memanggil  saya dengan panggilan Ammah, karena memang para santri lebih dekat dengan umi.

Saya menjelaskan pendek, “Saya mau minta izin, ustad.”

“Ada acara apa?”

Dari gerak dan gestur ustad saya tahu bahwa ustad sebenarnya sudah tidak membutuhkan jawaban saya, karena ustad bertanya dengan pandangan matanya sibuk dan nadanya datar.

Tidak seperti saat saya berbicara dengan umi, saya menyampaikan kalimat-kalimat saya dengan sangat pendek, tentang keperluan saya silaturahmi akhir kepengurusan BEM FT UNY 2014.

“Buat saya agenda ini sangat penting ustad,” saya mencoba meyakinkan.

Ustad menyampaikan, “Ini kan hanya agenda kultural. Dan ini hanya fase dari rentetan waktu.”

Darrr!

Serasa meledak hati saya. Saya yang tadinya sudah legowo dengan alasan umi di awal, sudah menyiapkan diri untuk tidak diizinkan karena alasan yang dipaparkan umi, karena umi mengkhawatirkan saya, sekarang berkebalikan, saya lemas dan merembes.

“Ini kan hanya agenda kultural. Dan ini hanya fase dari rentetan waktu.”

Ketika ustad menyampaikan itu, air mata saya mengalir, pikiran saya tak fokus dan otak saya mulai membuka kembali ingatan tentang lembaran-lembaran buku Man Are From Mars, Women Are From Venus.

Dalam buku itu, makhluk Mars adalah makhluk yang gagah, sangat mempedulikan kinerja, seragam, jabatan, pemecahan permasalahan. Mereka tak akan ragu bersaing untuk mendapatkan semua itu. Jika ada orang yang datang kepada mereka dengan membawa masalah, maka mereka percaya bahwa orang tersebut sedang membutuhkan solusi darinya.

Berbeda dengan makhluk dari Venus. Mereka menyukai kelembutan, kehangatan hubungan, dan keindahan. Ya, kehangatan hubungan, bagi makhluk venus, ketika mereka bercerita dengan kawannya, mereka bukan sedang mencari solusi, tak peduli apakah masalah mereka dapat selesai atau tidak, yang penting bagi mereka adalah mereka dapat berbagi cerita dan menjalin hubungan.
Itu mengapa, ada banyak perempuan  yang marah ketika mereka mengeluhkan sesuatu ke laki-laki, “Aku lelah dengan tugas-tugas ini,” kemudian si laki-laki menjawab, “Ya sudah, keluar saja dari organisasi itu. Jika kau tak suka dengan tugas-tugasnya.” Bermaksud baik, namun tidak tepat.

Karena wanita datang untuk bercerita ke orang lain bukan untuk mencari solusi, melainkan hanya butuh bercerita, butuh mengeluarkan kata-kata. Wanita suka menjalin hubungan dengan sesamanya melalui cerita, saling bertukar cerita satu sama lain. Dan ketika berkumpul dengan sesama wanita mereka merasa senang, karena ketika mereka bercerita maka temannya akan menyahut meng iya kan, atau meneruskan pembicaraan, bukan menelurkan solusi.

Bagi wanita yang tadi mengeluhkan tugasnya, jawaban “keluar dari organisasi” bukanlah jawaban yang diinginkan. Ya memang, tugas itu melelahkan, tapi wanita itu tetap mencintai apa yang ia kerjakan. Ia hanya sedang ingin bercerita dan didengar, bukan diberi solusi. Memang solusi keluar dari organisasi akan menghilangkan lelah, tapi sekali lagi, wanita hanya sedang ingin mengutarakan cerita untuk didengar, untuk didukung, dan untuk menjalin hubungan.

Wanita tadi akan senang jika si laki-laki menjawab, “Kamu lelah ya, ya sudah istirahat dulu, pasti kamu sudah bekerja keras seharian.” Maka jika mendapat jawaban seperti kalimat tersebut, si wanita akan melanjutkan perbincangan, “Iya, tadi tugasnya sangat berat, aku dan teman-teman bekerja sangat keras, kita kecapean, tapi ini hari yang luar biasa.” Wanita itu akan dengan senang hati melanjutkan perbincangan jika mendapat jawaban semacam itu, terus, dan terus, wanita itu tidak marah, bahkan kembali sumringah, karena ceritanya didengar. Karena mereka suka menjalin hubungan. Dengan bercerita, mereka merasa mereka dapat menjalin hubungan dengan orang lain.

Itu yang saya dapatkan dari buku Man Are From Mars, Women Are From Venus. Dari sana, saya dapati bahwa laki-laki tidak begitu peduli dengan jalinan hubungan, hal yang lebih mereka pedulikan adalah pemecahan masalah dengan begitu mereka akan merasa pantas disebut laki-laki.

Perkataan ustad, “Ini kan hanya agenda kultural. Dan ini hanya fase dari rentetan waktu. Mbak Ihti bisa malakukan ini di lain waktu, secara individu.”

Mendengar perkataan ustad tersebut, saya perlahan meng iya kan isi buku tersebut. Kenapa saya merasa sangat sakit ketika ustad mengatakan kalimat tersebut. Dan ustad sangat enteng menyampaikan itu di hadapan saya. Kenapa terjadi begitu?

Saat itu saya sadar, apa yang saya rasakan tak sama dengan apa yang ustad pikirkan. Kata “hanya” di kalimat tersebut terdengar sangat pedas di telinga saya. Air mata saya terus saja merembes. Saya menunduk malu apabila sampai terlihat ustad. Tapi sepertinya ustad sudah mengetahui bahwa saya menangis.

Kemudian ustad mengatakan, “Tidak usah menyertakan emosi untuk hal-hal semacam ini, mbak Ihti ingin pergi silaturahmi ini hanya karena rasa ingin berkumpul dengan teman-teman. Itu emosi yang berlebihan. Mbak Ihti datang dan tidak datang kan sama saja”

“Tidak usah menyertakan emosi untuk hal-hal semacam ini, mbak Ihti ingin pergi silaturahmi ini hanya karena rasa ingin berkumpul dengan teman-teman. Itu emosi yang berlebihan. Mbak Ihti datang dan tidak datang kan sama saja

Kali ini sudah bukan lagi air mata yang tak sanggup dibendung, tapi badan saya saya bungkukkan ke depan menahan suara tangis yang hendak keluar. Saya malu menangis di hadapan ustad.

Saya mendengar suara lain dari arah samping saya. Selama ustad berbicara dengan saya, saya tidak berani memandang ustad. Kemudian suara di samping saya itu, saya tahu itu suara umi. Umi menanyakan, “Ammah Ihti, itu perjalanannya tidak bisa diganti di hari lain?”

Saya menolehkan kepala saya ke kanan, dan memandang umi, menjawab apa yang ditanyakan umi dengan nada lembut, wajah saya terlanjur basah, “Tanggalnya sudah ditetapkan umi.”
Saat itu saya merasakan perbedaan yang sangat jauh ketika saya berbicara dengan ustad, dan berbicara dengan umi. Perbedaan berbicara dengan laki-laki dan dengan perempuan.

Saya kembali membenarkan lembaran-lembaran buku Man Are From Mars Women Are From Venus yang saya ingat itu. Nada berbicara ustad, dan nada berbicara umi, kalimat-kalimat ustad, dan kalimat-kalimat umi, jauh berbeda. Ya, saya merasa lebih senang berbicara dengan umi.

Dari kalimat ustad, saya menangkap mungkin benar dalam pikiran laki-laki hal-hal semacam menjalin hubungan tak begitu penting, sedangkan secara spontan saya menitikkan air mata ketika keinginan untuk berkumpul bersilaturahmi dengan teman-teman ditolak dengan perkataan “hanya agenda kultural”.

Saya stuck. Saya tak mungkin mendebat ustad. Ustad tak mengerti saya, dan saya tak mengerti ustad. Begitu pikir saya.

Saya pamit, dan berdiri meninggalkan ruangan.
Mungkin benar perkataan ustad bahwa saya sangat mengedepankan emosi. Hingga saya tak dapat menahan air mata.

Benar apa yang dikatakan dalam buku itu, bahwa perempuan lebih perasa...

Saat itu sudah lebih dari pukul 10. Saya telat ke tempat les. Pikiran dan hati saya sudah tak karuan. Saya paksakan dengan pikiran dan hati yang compang camping pergi ke Prambanan, tempat adik les menunggu saya. Saya akhirnya mendapat pinjaman motor.

Di sini lah, Allah menembus batas rasa dan logika saya.

Di sinilah Allah memberikan solusi di luar nalar.

Keajaiban pertama.

Sesampainya di Prambanan, ternyata pihak sekolah mengadakan les fisika secara mendadak untuk para santri di asramanya. “Ya sudah dhek, kamu ikut kelas saja dulu. Nanti ba’da duhur mbak ke sini lagi,” saya menyampaikan itu dengan pegal-pegal di bagian kelopak mata yang saya rasakan, ya mata saya masih terasa berat. Dengan les fisika tersebut, berarti saya bisa menggunakan waktu untuk beristirahat menenaagkan pikiran. Allah memang pengertian... Les fisika dadakan ini di luar batas kemampuan saya. Allah lah yang mengubah keadaan.

Saya memutuskan untuk berhenti dan rehat di masjid. Sesampainya di masjid, dengan hati saya yang compang camping, saya menggerutu di dalam hati. Terus mengutuki apa-apa yang ada di sekeliling saya, “Ini masjid besar-besar gini kog pintunya digembok. Gimana sih. Masjid buat ibadah atau buat pajangan(!).” Sambil mengunyah roti saya masih saja mengeluhkan apa saja yang bisa saya keluhkan dalam hati. Saya masih sangat sedih tidak bisa ikut bersilaturahmi bersama teman-teman.

Keajaiban di luar batas mampu manusia, kedua.

“Karena kendala peserta, opsi jalan-jalan bem sekarang ada dua, di hari Senin-Rabu (banyak yang tidak bisa), dan opsi kedua Hari Sabtu dan Minggu (semoga banyak yang bisa),” pesan singkat masuk ke hape saya.

Allahuakbar...

Seketika saya punya ide untuk mengirim pesan ke umi, “Umi, hari silaturahminya dipindah sabtu ahad... Ihti diizinkan ya Umi?” Tapi tidak jadi saya kirim. Saya senang, tapi tidak ingin terlalu larut dalam kesenangan.

Setelah itu ada orang datang membukakan pintu masjid. Allahuakbar... ternyata ada takmirnya, ternyata masjid ini dibuka, padahal sebelumnya saya sudah lemas bingung mencari masjid di sekitar sini. Mungkin ini keajaiban ke tiga.

Keajaiban-keajaiban itu datang di luar batas logika saya. Di luar batas rasa saya. Di luar batas kemampuan saya.

Saya menyadari seharusnya saya tidak berlebihan sampai menangis, cukup dengan menerima keputusan secara legowo tidak perlu dimasukkan terlalu dalam di hati, dan mungkin juga ustad perlu menyampaikan 'tidak diizinkannya saya' dengan kalimat yang lebih halus. Cukup dengan menyampaikan, "untuk kepentingan mbak Ihti, sebaiknya mbak Ihti tidak usah ikut"  hal itu menunjukkan kepedulian, bukan larangan.

Saat semacam itu, saat masing-masing bersikukuh dengan dengan pendapatnya, saya merasakan betul, betapa saya lupa, bahwa Allah lah yang Maha membolak-balik hati manusia. Ada Allah yang Maha agung di hadapan manusia sombong seperti saya yang mengedepankan rasa. Saya lupa. Ada tangan lain yang Maha menentukan. 

Saya akhirnya memahami sepenuhnya bahwa yang diinginkan ustad sebenarnya adalah membuat saya disiplin dengan waktu, ketika saya berkomitmen di pondok, sudah seharusnya saya mengikuti kegiatan di pondok secara penuh.

Ustad ingin seluruh santrinya menaati peraturan pondok. Mengedepankan ilmu agama dibandingkan acara atau agenda yang bisa mendatangkan mudhorot karena bertabrakan dengan jadwal perkuliahan.

Ini hanya permasalahan dimana saya tidak dapat memahami ustad. Tapi memang sudah seharusnya saya legowo dengan semua keputusan.

Perempuan lekat dengan rasa, laki-laki kuat dengan logika.

Keajaiban-keajaiban di luar logika dan rasa yang Allah datangkan, membuat saya sangat senang. Seperti saya lah orang paling bahagia di dunia saat itu. Itu keajaiban luar biasa yang tidak dinyana. Siapa yang bisa merubah jadwal manusia dengan begitu mudahnya, menjadikan ada les fisika dadakan. Siapa yang bisa menggerakkan hati ini untuk berhenti di masjid, dan menjadikan saya bersabar menunggu waktu solat tiba hingga masjid dibuka. Siapa yang bisa membuat jadwal pertama hari Senin hingga Rabu berubah karena keadaan. Hanya Allah, Allah saja yang bisa berbuat semacam itu.

Yang jelas, saya merasa sangat bahagia. Benar apa yang orang bilang, setelah kesusahan, pasti ada kemudahan, dan Allah tidak membebani hambanya dengan sesuatu yang tidak bisa dijangkaunya. Usaha saya sudah maksimal sampai saya berdarah-darah :D berlinang air mata (sangat malu sebenarnya), kemudian Allah melihat bahwa itu sudah di luar batas mampu saya, maka tangan Allah lah yang bergerak mengubah semua keadaan. :) Ada Allah... ada Allah...

Islam mengajarkan, agar kita mengembalikan segala permasalahan kepada Tuhan, yang Maha menentukan. Dan tidak memperpanjang perdebatan.

Menyanding rasa, dan logika, keduanya sangat indah dalam padu padan,
sangat menyenangkan dalam dekapan ukhuwah,
terlebih, ketika kita ingat bahwa Allah memperhatikan hamba Nya, tanpa luput...

Sabtu, 24 Januari 2015

Aku Menjaga

Bismillahirrahmanirrahim,

Dulu, dulu sekali, saat masih usia SMP, pernah dapat marah dari Umi, "Umi lihat kemarin di sekolah kamu pegang-pegang temen laki-laki."

"Kapan Mi? Ihti gag pernah pegang-pegang temen cowok."

"Itu kemarin kamu neplek temenmu itu."

"Itu kan gag langsung ke kulit Mi, ada bajunya."

"Ya tetep aja..."

Sepanjang obrolan saya membantah apa yang disampaikan Umi, walaupun dalam hati saya sudah sepenuhnya mengalah, saya mengaku salah.

Dari apa yang disampaikan Umi sebenarnya saya mengerti apa maksudnya. Ingin menjaga saya dari hal-hal yang tidak seharusnya. Khalwat.

:::

Kemudian terjadi lagi,
Dengan kemasan masalah yang berbeda, di masa kuliah. Saya dan teman-teman saya berkunjung ke rumah dengan menggunakan satu mobil. Di dalam mobil ada teman perempuan dan teman laki-laki. Sepanjang perjalanan saya dag dig dug tidak keruan, takut, dan khawatir. Khawatir ini menjadi perkara yang tak ada habisnya. Saya hanya diam di dalam mobil, sepanjang perjalanan, tak banyak bicara, benar-benar hanya seperlunya. Saya takut sesampainya di rumah saya hanya akan kena marah.

Ternyata diluar dugaan awal, sesampainya di rumah, kedua orang tua saya menyambut saya dan teman-teman saya dengan sambutan yang luar biasa hangat. Sedangkan saya masih menjadi manusia setengah zombi, yang belum berani memperkenalkan teman-teman saya dengan lepas.

Itu pertama kalinya teman-teman dari Jogja berkunjung ke rumah. Mungkin orang tua saya ingin memberikan kesan terbaik.

Sepanjang saya berada di rumah, saya masih seperti zombi. Bergerak tenang tanpa ada banyak kata keluar dari mulut. Saya tidak tahu kalau-kalau ketika saya sedang di dapur tiba-tiba disidang oleh kedua orang tua saya, sedangkan teman-teman saya ada di ruang tamu, wallahualam.

Tapi ajaibnya, tidak ada kemarahan sama sekali, sampai kami pamit kembali ke Jogja.

Saya masih heran, tapi lega. Paling tidak saya bisa duduk bersandar, hilang ketegangan.

Ternyata oh ternyata.

Beberapa hari kemudian saya mendapat telefon, saya lihat kontak yang muncul, "Umi."

Rasanya tidak mungkin sekali Umi menelefon. Tidak pernah Ibu menelefon kalau tidak ada yang penting dan mendesak. Saya angkat telefonnya. Dan....

jadi masalah ternyata :)

Ketakutan saya selama perjalanan benar-benar terjadi. Umi mempermasalahkan kunjungan kami ke rumah. "Bisa-bisanya kamu satu mobil dengan laki-laki, perjalanan jauh seperti itu."

Saya bukan tipe orang yang suka menyelesaikan masalah lewat telefon. Saya katakan pada Ibu, bahwa saya akan pulang menunggu beberapa hari ke depan. Saya ingat sekali, waktu itu saya sedang ada di taman kampus. Sedang berada dengan teman-teman saya. Saya bilang saya akan jelaskan saat saya pulang.

Perjalanan pulang saya mempersiapkan kalimat terbaik. Saat sampai di rumah, sorenya damai tenteram tiada asap mengepul. Malam lewat jam sembilan, biasanya semua orang sudah tidur. Tapi Abah dan Umi belum. Saya berada di tengah antara mereka. Sidang dimulai. Berakhir pukul sekitar dua belas malam, dan Abah hanya diam.

Ya, saya salah.

Masih ada beberapa kasus lain yang menggambarkan betapa kedua orang tua saya sangat tak ingin "saya kenapa-kenapa".

_______________
Ya, aku menjaga.

Saya tahu kedua orang tua saya bukan orang yang overprotektif, mereka menjaga sesuai dengan apa yang diperintahkan. Saya anak perempuan, anak pertama pula. Bukan, bukan karena persaingan antar orang tua yang suka membangga-banggakan anak nya di depan orang tua lain. Tapi karena orang tua saya menginginkan yang terbaik untuk saya.

Islam melarang khalwat dan ikhtilat.

_______________
Ya, aku mengerti arti menjaga.

Belajar dari orang tua saya, yang sangat mengkhawatirkan saya, saya bertanya, kenapa saya sendiri tidak khwatir dengan diri saya sendiri?

_______________
Meski menjaga itu sulit.

Saat saya mengikuti kajian di DS, ustadhah bilang, "Bayar harganya, dapatkan barangnya."
Maksudnya adalah, ketika kita menginginkan sesuatu di masa depan, di masa mendatang, maka sudah selayaknya kita menabung dari sekarang untuk membayar harga yang pantas dibayarkan untuk sesuatu yang kita inginkan tersebut.

Jika ingin menjadi perempuan yang memiliki rahim yang nantinya melahirkan calon ulama, maka harus bayar harganya, cicil dari sekarang.

_______________
Menjaga diri sendiri, artinya menjaga jodoh, menjaga keturunan.

Apa yang saya lakukan di masa muda adalah tabungan untuk mendapatkan cita-cita saya di masa tua. Tidak, bukan saya. Tapi kita sebagai perempuan pasti punya cita-cita. Maka cita-cita yang akan kita dapatkan ke depan adalah hasil dari tabungan kita sekarang.

Lucu memang jika dikaitkan dengan jodoh. Menjaga diri sendiri sama dengan menjaga jodoh kita. Mungkin akan mudah diartikan apabila diceritakan menggunakan cerita teman saya di pondok. Ia dan teman sekamarnya punya kebiasaan tidur masing-masing. Karena merasa diri sendiri sulit untuk dibangunkan, maka ia berpesan ke teman kamarnya, "Kalau aku gag bangun-bangun bangunin pake cara ini ya..." Benar, suatu saat dipraktikkan. "Am, ayo bangun, kalo masih tidur terus, jangan-jangan sekarang jodohnya lagi tidur juga lho." Bukannya bangun ia malah senyum-senyum geli, dan akhirnya bangun.

Iya, ada benarnya ketika orang mengatakan, wanita yang baik untuk pria yang baik. Jika kita sebagai wanita hobi tidur (dalam artian tidak produktif) jangan-jangan kelak yang menjadi jodoh kita pun adalah orang yang tidak produktif. Pastinya bukan itu yang kita inginkan, maka tidak heran jika teman saya satu ini langsung bangun ketika dibangunkan dengan kalimat di atas. Lucu, tapi ada benarnya.

_____________
Maka aku (berusaha) terus menjaga.

Upaya kedua orang tua saya mengajari saya untuk menjaga diri sendiri sangat berharga bagi saya. Benar sekali rupanya, keyakinan bahwa menjaga hati di masa muda, menjaga indera dari hal-hal yang tak seharusnya, adalah upaya mendapatkan masa tua yang bahagia. Jika di awal dikatakan, kita punya ketakutan apabila kita tidur jangan-jangan jodoh kita juga sedang tidur, tidak beraktivitas produktif, maka kita seharusnya punya keyakinan yang sama, apabila kita menjaga, mungkin Allah mempersiapkan jodoh yang sama-sama menjaga. Begitupun dengan keturunan. Ibunda Imam Syafi'i adalah orang yang hebat, hingga bisa melahirkan Imam Syafi'i dan mendidiknya menjadi seorang ulama. Saya yakin, ibunda Imam Syafi'i ini memiliki masa muda yang luar biasa. Ia pasti menabung dengan sangat getolnya.

Jadi, :) kita sebagai perempuan memang sudah selayaknya menjaga diri dari pergaulan yang menjerumus ke khalwat dan ikhtilat. (terus berusaha menjaga).

Sabtu, 17 Januari 2015

Ia Ustad (guru), ia suami, ia ayah, dan ia tukang bengkel yang baik

Ada yang menarik pagi ini.

Kami berkunjung ke kediaman seorang ustad. Ya, ia lebih dikenal sebagai seorang ustad dibandingkan gelar-gelar yang lain. Ia berjenggot tebal, dahinya hitam, dan ia bertempat tinggal di IC Seturan.

Kita tahu bersama, beliau adalah ustad Solihun, begitu kami mengenalnya. Pengasuh pondok pesantren mahasiswa IC Seturan, Yogyakarta ini luang di waktu Duha, sekitar pukul 8, karena sebelum itu ia harus mengisi kelas, dan mengantarkan anak ke sekolah.

Benar bukan bahwa ia tidak hanya seorang guru, tapi ia seorang ayah yang luar biasa.

Hal yang menarik adalah ketika saya masuk ke ruangan tempat kami berkunjung. Ada seorang laki-laki berpakaian kaos, biru tua, dan di depannya ada seorang bayi kecil laki-laki yang belum bisa apa-apa, tapi tak terlihat rewel ataupun menangis, bayi itu sangat tenang. Laki-laki berkaos biru itu adalah ustad Solihun, duduk di sudut sedang menyampaikan sesuatu.

Beliau menyampaikan tentang pentingnya ilmu.

Lagi-lagi saya datang telat. -Jangan ditiru-

Dari awal saya masuk ruangan, tangan beliau tampak sibuk dengan bayi di depannya, sedangkan lisan dan pandangan beliau sibuk menyampaikan materi.

Ini pemandangan luar biasa. Seorang ustad menyampaikan materi dengan menyambi mengasuh anak bayinya(?!) Berapa banyak laki-laki yang bisa melakukan itu?

Awalnya beliau duduk, kemudian berdiri menggendong bayinya, tapi mulut beliau terus saja sibuk menyampaikan materi. Hebatnya, nada penyampaian beliau tak berubah sama sekali, tak terganggu dengan bayi yang digendongnya. Beliau berjalan dari sisi ruangan yang satu ke sisi yang lainnya, menenangkan bayi yang digendongnya, sekali lagi, nada penyampaian beliau tak berubah sama sekali, seperti saat beliau mengisi materi di kondisi biasa.

:::

Apa saya tak salah lihat?

Ustad yang biasanya terkenal dengan penyampaiannya yang tegas, yang salah dikatakan salah, yang benar dikatakan benar, hingga seringkali kami takut bertanya karena takut apa yang kami tanyakan adalah salah, sekarang ustad itu sedang menggendong bayinya dengan gaya khas seorang ayah yang mendekap lembut anaknya di dadanya.

Kemudian beliau pamit dan memohon maaf. "Maaf, saya cukupkan sekian ya, karena saya harus mengantar istri saya ke sekolah, ada acara di sekolah."

Mengantar istri???

Ustad mengantar istrinya.

Habis pikir saya. Ustad yang hanya memiliki sedikit waktu luang ini masih sempat mengantarkan istri ke sekolah. Allahuakbar. Jika ada seorang laki-laki hebat seperti beliau ini, pasti istrinya adalah orang yang luar biasa. Ustad menjadi suami yang masih menyempatkan diri peduli dengan aktivitas istrinya, bahkan masih mau membantu mengasuh bayi kecilnya, mengantarkan anak-anaknya ke sekolah, dan mengantarkan istri ke tempat kerja.

Maaf, ustad, sepertinya kami mengganggu aktivitas ustad. Tapi sepertinya ustad tak keberatan sama sekali kami mengambil waktu istirahatnya di waktu duha ini.

Tak hanya menjadi seorang guru, seorang suami, dan seorang ayah, ia pun tak sungkan memperbaiki mobilnya sendiri, mengecek kondisi mobilnya, memperbaiki bagian yang dirasa perlu perbaikan.

Ternyata ada laki-laki semacam ini di dunia ini. Kami semua tertegun, dan menatap heran satu sama lain.

Barakallah ustad.
Ustad keren!

Kamis, 15 Januari 2015

Rumah yang Rusak

Bismllahirrahmanirrahim,

Hari ini, asrama kami kedatangan seorang ustad dari rumah tahfidz, saya pulang telat, -'afwan ammah-. Saya masuk dan membungkuk-bungkuk, supaya tak begitu mencolok ketika masuk ke ruangan. Belum sempat saya melihat ustadnya, saya mendapat teguran dari pemandu, dengan pertanyaan, "Ngapain ngendap-ngendap?"

Aih, tertangkap basah sudah....
Tapi aneh, pemandu menegur dengan tertawa-tawa.

Ternyata, setelah saya duduk dan melihat ustad di depan, ustad itu mengenakan kacamata, tak biasanya. Rupanya ustad ini ustad spesial, yang didatangkan khusus untuk malam ini. Lalu tanya saya dalam hati, "Iya ya, kenapa tadi ngendap-ngendap... ustad gag liat." Pantas saja pemandu menertawakan saya. Tapi tetap saja, pulang telat adalah hal yang memalukan. Tapi insyaAllah, bukan karena hal yang sengaja dilakukan.

Dari apa yang disampaikan beliau,
ada sebuah tamparan keras tapi halus menusuk. Ustad bilang, "Orang yang di dalam dirinya tidak ada hafalan qur'an nya, seperti rumah yang rusak. Rumah yang rusak itu mudah dimasuki tikus, ular, serangga, dll."

"Itu mengapa tidak heran, jika orang yang jarang berinteraksi dengan alqur'an mudah sedih, mudah galau, dan dimasuki penyakit-penyakit hati."

Analogi rumah rusak itu sangat tepat sasaran, menyasar hati. Rumah rusak mudah dimasuki tikus... Saya membayangkan, betapa menakutkan rumah yang mudah dimasuki tikus, tikus berseliweran dimana-mana. Mencuri makanan-makanan yang ada di dalam rumah, karena rumah rusak dan memiliki banyak lubang.

Tikus-tikus.
Itu berarti tak hanya satu, tapi banyak tikus. Rumah yang mudah dimasuki tikus, mudah pula kotor, karena tikus membawa kuman dan kotoran.

Jika rumah banyak tikus, maka menjadi daya tarik tersendiri bagi ular untuk datang. Kali ini, rumah menjadi lebih ramai, oleh tikus dan ular. Tak terbayang, rumah yang bagaimana rusaknya sampai datang banyak tikus dan banyak ular.

Belum lagi serangga-serangga, laba-laba, kemudian dari kotoran-kotoran hewan yang singgah lalu pergi menjadikan rumah menjadi lembab dan mudah bagi serbuk-serbuk yang terbawa oleh serangga bertumbuh menjadi tanaman-tanaman kecil yang kemudian membesar.

Kini rumah menjadi benar-benar rusak.

Semakin membayangkan semakin mencekat, seperti itu kah hati saya? Penuh tikus dan serangga?
Allah... begitukah gambaran hati yang tak tersentuh Al Qur'an? Kenapa begitu mengerikan.

Saya semakin tertarik mendengarkan penjelasan ustad. Hati yang mudah goyah, gelisah, galau, perasaan-perasaan negatif sering bermunculan, sikap sering tak karuan. Rumah yang penuh kotoran dan gangguan. Jika kita sering merasakan seperti itu, apakah benar kata ustad, bahwa hati kita jauh dari Al Qur'an? Saya takut jawabannya iya... Saya jadi ingin menilik ke dalam hati saya, seberapa porak poranda kah? Berharap dan berdo'a tak separah di cerita ustad. Tapi saya menyerah untuk tidak mengakui. Ustad sempat membuat ngeri.

Setelah menggambarkan betapa buruknya kondisi hati, ustad memberi motivasi, "Ada sebuah hadits yang menyebutkan bahwa Rasulullah bersabda, 'Siapa yang membaca satu huruf dari Kitab Allah (Alquran ), ia akan mendapatkan satu kebaikan yang nilainya sama dengan 10 kali ganjaran (pahala). Aku tidak mengatakan alif lam mim itu satu huruf, tetapi alif satu huruf, lam satu huruf, dan mim satu huruf.' (HR Tirmidzi)."

Satu huruf berarti 10 ganjaran? Bukankah itu berarti membaca alfatihah sudah beratus-ratus pahala? Benar-benar tawaran yang menggiurkan. Kenapa selama ini malas? padahal hadits itu bukan pertama kali diperdengarkan. Syaitan memang pintar menggoda. -kali ini mengkambinghitamkan syaitan- hemmm... 

Lalu bagaimana dengan yang membaca terbata-bata?

Kata ustad, "Pembacanya akan mendapatkan dua ganjaran (pahala)."
"Orang yang membaca Al-Qur'an dan ia mahir dalam membacanya maka ia akan dikumpulkan bersama para Malaikat yang mulia lagi berbakti. Sedangkan orang yang membaca Al Qur'an dan ia masih terbata-bata dan merasa berat (belum fasih) dalam membacanya, maka ia akan mendapatkan dua ganjaran." (H.R.Bukhari Muslim)

Ustad dari Rumah Tahfidz itu tak dapat melihat (buta), ia memegang microphone dan menjelaskan dengan kalimat-kalimat yang pelan lagi teratur. ia bilang, "Saya dapat menghafal alqur'an bukan di saat saya masih dapat melihat, tapi saat saya sudah tidak dapat melihat." 

Ustad mengatakan, "Anak-anak kami di rumah tahfidz dari 60an anak, 25 anak rutin melaksanakan puasa daud, sisanya puasa senin kamis, kami tidak memaksa mereka, kami hanya memberi tahukan keutamaan-keutamaannya, lalu MEREKA BERGEGAS...."

Iya kah? Seperti itu kah laku para penghafal alqur'an? langsung bergegas menyambut keutamaan??? mereka luar biasa...

Saat ini, saatnya memperbaiki rumah, 
semangat! 
semangat perbaikan!
islah! 
islah!

Penjelasan dari ustad selesai, hebatnya ustad bisa tahu kalau waktunya sudah habis, beliau tahu saat itu pukul berapa, entah bagaimana, mungkin ada alat penanda atau semacamnya.

Setelah selesai, pertemuan ditutup dengan do'a, dan membaca surat Al Mulk bersama, sebelum beranjak tidur.

Tapi ada yang berbeda kali ini, ada riuh suara ayat-ayat alqur'an yang dibacakan dengan nada-nada berbeda, dengan suara-suara yang berbeda, rupanya semangat membaca alqur'an disambut dengan sigap oleh teman-teman. Ah, siap berlomba? kenapa tidak.

Rabu, 14 Januari 2015

Akhwat (wanita) Tak Kasat Mata

Kasat mata itu artinya terlihat.
Tak kasat mata itu artinya tak terlihat.

Beberapa hari lalu sempat ada diskusi kecil dengan Atika Widadty, tentang akhwat kasat mata dan akhwat tak kasat mata. Sebenarnya titik perbincangannya bukan itu. Tapi tentang generasi muslim.

Perbincangan itu sedikit membawa kesadaran, akan sebuah hal yang mulai hilang tergantikan dengan hal lain. Hal yang hilang adalah keberadaan akhwat tak kasat mata, dan mulai tergantikan dengan akhwat kasat mata.

Aneh memang bahasanya, tapi ini yang pada akhirnya menjadi menarik.

Dulu, di zaman Tarbiyah masih sangat sulit masuk ke Indonesia, akhwat mengenakan jilbab lebar dengan sembunyi-sembunyi, dakwah masih tak bisa ditonjolkan di hadapan umum.

Sekarang?

Banyak terpampang akhwat dimana-mana. Di jalan-jalan, di pertokoan, di pusat perbelanjaan, di sekolah, di kampus, di rumah sakit, dan di media sosial.

hemmm, akhwat kasat mata dan akhwat tak kasat mata.

Sekarang dakwah sudah sangat mudah diterima. Dimana-mana. Akhwat semakin kasat mata.

Tapi kemanakah akhwat tak kasat mata? Haruskan menghilang? Atau masih ada?

:::

Diskusi semakin menarik. Dari artikel yang kami baca, ada sebuah masalah pemantik. "Merindukan ikhwan yang menjaga pandangan?"

Kenapa beralih ke sana? Ternyata artikel itu menggiring opini kami.

"Barangkali akan lahir putera laki-laki yang kelak menjadi ahli ilmu dan menjaga pandangannya, menjaga sikapnya, menjaga agamanya, dari rahim akhwat (para wanita) tak kasat mata. Ya, dari wanita tak kasat mata, yang memperdalam ilmunya, menyembunyikan amalannya, menjauh dari tempat-tempat ramai yang membawa kesiaan, menjaga diri dari riya', tak banyak menampilkan diri di hadapan publik. Yang tak melakukan canda dan haha hihi, kecuali dengan sesamanya," Saya lupa redaksi aslinya, inti yang saya tangkap seperti itu.

Tentunya bahasan itu menjadi pertimbangan penting.

Benar sekali. Semakin banyak akhwat kasat mata. Itu hal yang mainstream. Tak dipungkiri ada banyak kemanfaatan datang dari fenomena itu seperti halnya syiar jilbab yang semakin dimudahkan, dakwah di kalangan perempuan semakin kencang. Lalu ada kah mudhorotnya?

Mungkin saja ada. Bisa ditakar sendiri :)

Maka,
hebat, akhwat tak kasat mata, yang berjuang dalam diamnya, yang memperdalam ilmu tanpa ada suara seperti membalik kertas demi kertas dengan hati-hati supaya tak terdengar yang lainnya karena takut riya, ah iya, cerita soal itu, cerita yang sangat lama saya dapat, dulu. Yang bersujud tanpa ada yang mengetahuinya, yang matanya teduh karena tangis di tiap malamnya. Berteman sepi.

Menarik...

Ya, barangkali akan lahir generasi muslim yang menundukkan pandangan, dari rahim-rahim akhwat tak kasat mata... 'langka' nya ikhwan yang menjaga pandangan, jangan salahkan ikhwan, bisa jadi itu karena sudah 'langka' pula 'akhwat tak kasat mata' yang mampu melahirkan generasi-generasi menundukkan pandangan... Allahuakbar,

Senin, 05 Januari 2015

Terimakasih Telah Berbaik Sangka Padaku, Tak Banyak yang (bisa) Melakukan Itu

Terimakasih,
terimakasih telah mau berbaik sangka padaku. Dan bahkan kau mengajak orang lain pula untuk melakukan hal yang sama.

Sungguh, tidak ada kebahagiaan luar biasa yang kudapat kecuali mendapat kepercayaan. Baru saja kemarin aku mengatakan pada seorang teman, "Hal tersulit untuk dilakukan dalam hidup seseorang adalah memberikan kepercayaan." Dan sekarang aku telah melihat buktinya.

Sejak kapan kita bisa bercerita pada orang lain, teman, saudara, atau yang lainnya? Ya, sejak kita percaya kepada mereka. Kita memberikan kepercayaan kepada orang tersebut untuk mendengar dan menerima kita.

Bercerita, bercengkerama, bermain bersama, berjalan, saling berboncengan, bepergian, berbincang, berteman, bersahabat, bersaudara, semua butuh kepercayaan.

Dan kau memberikannya kepadaku. Satu hal berharga milik tiap orang yang sulit mereka berikan untukku.

Terimakasih telah berbaik sangka padaku.

Bahkan kau tak mengenalku,
hanya mengenalku dari luar. Meski tak pernah ada kata sepakat di awal, tapi sekarang kita berteman. Tidak, kau yang memberiku kesempatan untuk dapat menjadi teman.

Meski kau tak mengenalku, kau mengatakan pada orang lain untuk berbaik sangka kepadaku. Hal itu menunjukkan, seolah-olah kau mengatakan, "Aku percaya padanya, kalau kalian percaya padaku, kalian juga harus percaya padanya. Berbaiksangka lah." Atau semacam, "Dia orang baik, aku percaya padanya, kalian pun harus percaya."

Terimakasih,
ketika semua orang menghujat, ketika semua orang mencela,

ketika semua orang di sekitarku berburuk sangka...

aku ingin  mengatakan pada mereka, "Kenapa? kenapa aku dihujat? Aku tak menyakiti kalian, kenapa kalian menyakiti perasaanku dengan hujatan-hujatan yang belum tentu kebenarannya?"

tapi aku merasa tak ada gunanya mengatakan itu, yang kulakukan aku hanyalah terus bekerja, melakukan kerja-kerja dengan sedikit kata. Menahan sakit hati yang luar biasa. Ingin berteriak tapi tak bisa.

Lalu kau datang memberikan kepercayaan. Berlian termahal yang tak bisa kubayar. Ya, karena aku tak mampu membelinya, aku sangat berterimakasih karena kau memberikannya cuma-cuma, tanpa meminta bayaran, itu adalah hal yang sama sekali tak kuduga.

Terimakasih,
terimakasih telah memberiku kepercayaan. Itu hal yang sangat luar biasa. Kau telah mau berbaiksangka,

Sulit, sulit bagiku menenangkan diri ketika semua orang mulai mencaci. Mungkin aku terlihat tenang, mungkin aku terlihat berbiasa. Tapi gejolak yang dirasa tak sesederhana raut di muka. Aku bisa saja tegar, tersenyum menghadapi semuanya, tapi sesugguhnya keruntuhan di dalam hati sulit didefinisi. Yang kutahu ku tak bisa membalas caci mereka, aku hanya diperbolehkan tersenyum, ya aku tak bisa, aku tahu mereka mencaci hanya karena mereka tak mengenalku, itu kenapa aku memaafkan mereka. Tapi berbeda denganmu, yang tak mengenalku tapi mau berbaik sangka.

Aku hanya akan melakukan apa yang harus aku lakukan. Aku tak akan berubah. Tak akan berubah mengubah arah orientasi kepercayaan. Satu yang menjadi keyakinanku, bahwa kepercayaan akan datang kepada kebenaran, bukan kepadaku, kalaupun kau memberikan kepercayaan kepadaku, itu adalah karena ada kebenaran yang kau rasakan. Aku tak akan berusaha menjaga kepercayaan itu, aku takut bergeser orientasi. Yang akan aku jaga adalah kebenarannya. Aku akan terus berusaha berjalan di atas kebenaran, dan orang-orang sepertimu yang memberikan kepercayaan adalah orang-orang yang sangat aku butuhkan.

Sekali lagi terimakasih, teman.

Semoga kau tak mengalami kekecewaan dan penyesalan telah sudi menjadi teman dan memberi kepercayaan. Jazakumullah ahsanul jaza....



Semoga Allah memberimu sebaik-baik ganjaran,
karena telah dengan tulus menjaga lidah, 
dari godaan tren caci dan hujat,
kudengar orang lain sangat mudah melakukannya,
mencaci apa yang tak mereka kenal dengan sebenar-benarnya,
hanya karena berita-berita edaran yang tak tentu sumbernya,
tapi kau berbeda,
tak sekedar menjaga lidah,
kau membangun ruang kepercayaan yang mungkin sangat kecil di besarnya hatimu,
tapi untukku, itu sangat berharga.

 
Design by Wordpress Templates | Bloggerized by Free Blogger Templates | Web Hosting Comparisons