Senin, 16 Februari 2015

Perjuangan dan Cinta

Seseorang pasti akan berjuang untuk apa yang dicintainya. Maka dari kalimat itu kita mendapatkan kalimat baru yang berbeda tapi senada, bahwa seseorang tidak akan berjuang untuk apa yang tidak dicintainya...

Perjuangan dan cinta. Kata yang lekat, maka layak jika cinta diukur dengan perjuangan. Maka, bisa kita katakan, bahwa apabila kita malas memperjuangkan sesuatu, maka kita perlu mempertanyakan apakah kita benar-benar cinta?

Pekerjaan, lembaga, saudara, benda, deretan hal-hal yang kita cintai, maka hal-hal tersebut adalah hal yang patut kita perjuangkan.

Lalu?

Kita bisa mengukur, seberapa besar cinta kita pada suatu hal dengan seberapa besar perjuangan yang kita lakukan.

Jika kita selama ini malas-malasan, berarti cinta kita tak seberapa.

Maka, jika mengaku cinta, seharusnya kita memperjuangkannya. Dengan jalan terbaik, dangan cara terbaik. Hingga tetes peluh terasa nikmat, hingga haus tak menguras semangat, sampai remuknya tulang belulang malah membuat tersenyum. Karena disanalah cinta dipertemukan. Di jalan perjuangan.

Menumbuhkan cinta memang tak mudah, tapi bisa diusahakan.

Jangan malas.

Ayo berjuang, dan kongkrit.

Hamasah lillah! 

Aku Senang Berjalan Bersama Mereka, Sangat Senang...

Benar memang apa yang Rasulullah katakan, bahwa perjalanan jauh dapat mendekatkan kita dengan saudara kita.

Aku senang berjalan bersama mereka...

Ada hal-hal menarik yang tak aku dapatkan ketika berjalan bersama orang lain...

Ketika malam hari aku berjalan bersama mereka, aku melihat sebuah pemandangan mengharukan. Ternyata, menempuh perjalanan berhikmah itu tak hanya bisa dilakukan menggunakan motor, seperti yang pernah kusampaikan sebelumnya. Berjalan kaki ternyata ada kerennya juga. 

Ketika berjalan, aku memilih berada di depan, dan ketika aku menengok ke belakang, aku hanya tersenyum dalam kegelapan, terharu, takjub, dan merasa beruntung. Aku melihat satu di antara mereka mendapati sebuah kelapa muda lumayan besar ada di depan kakinya. Kemudian ia menyingkirkan kelapa itu dengan hati-hati. Ia tau, masih ada banyak orang yang berjalan di belakangnya. Tak hanya itu, ketika ada sebuah kawat melintang, dari pagar rumah, ia membelokkan kawat itu. 

Malam tanpa kata, yang kujalani bersama mereka adalah malam penuh haru dan kekaguman. Kami tak banyak berkata-kata, karena malam hari pasti sudah banyak orang yang tidur, takut mengganggu. Hingga benar-benar hening, yang terdengar hanya langkah-langkah kaki. Itu kenapa, mata lah yang bertugas lebih banyak saat itu dibandingkan mulut dan telinga.

Ada hal lain lagi, menunjukkan kehangatan hubungan, dan kepercayaan.

Aku senang bersama mereka, aku ingin berlama-lama. 

Ketika aku hendak terjatuh, ada tangan yang siap menggenggam, hangat, ia menggenggam tanganku, dan menanyakan, "gak apa-apa kan?" aku merasa punya teman, sampai iri, karena ia begitu lembut. Andai aku bisa sepertinya, membuat orang lain nyaman dan tenang. 

Aku senang bersama mereka, aku ingin berlama-lama. 

Ketika aku mau menuju ke sebuah tempat, dan tempat itu banyak berseliweran laki-laki, tiba-tiba ada yang membuntut motorku dengan cepat dari belakang, menjajarkan motornya dengan motorku. "Udah ada yang nemenin belum ukh?" Aku bahkan selama ini tak pernah terpikir aku harus bersama orang lain ketika akan pergi ke suatu tempat, karena aku tak merasa butuh ditemani, tapi ternyata ada yang sebegitu perhatiannya menanyakan apakah aku sudah ada teman atau belum. Kaget waktu mendapat pertanyaan semacam itu. Mereka sangat perhatian.

Aku sangat senang berlama-lama bersama mereka.

Ketika aku solat, dan bersujud, tiba-tiba terasa ada yang menarik mukenaku di bagian kaki. Selesai aku solat, ada yang menyenggol pundakku dan berkata, "Kakinya..." Ia mengisyaratkan bahwa mukena di kakiku tersingkap, sehingga ia membenarkan mukenaku supaya auratku tak terlihat.

Aku bahkan belum menemukan pertemanan semacam ini dimanapun.

Genggaman tangan itu, hangat, senyuman itu menenangkan, bersama mereka aku sangat nyaman. Mereka tak banyak bercakap tak guna. Apa yang keluar dari mulut mereka adalah kebaikan, nada lembut, dan perhatian. Mereka mendahulukanku dibanding diri mereka. Mereka mendahulukan orang lain dibanding diri mereka sendiri.

Ukhuwah al islamiyah. Terdengar asing dalam bahasa Arab, persaudaraan karena ikatan iman.
Mereka bertemu denganku bukan karena ikatan darah. Mereka menyayangiku karena kesamaan kepercayaan.

Berjalan bersama mereka adalah sebuah keberuntungan. 

Rabu, 04 Februari 2015

Mungkin Dia Belum Tahu Dhek...

Dulu, di zaman sedang ramai OSPEK di universitas, banyak sekali cerita-cerita menarik yang saya dapatkan, terutama dari adik-adik yang menjadi panitia.

Salah satunya tentang ini.
"Mbak, temenku itu, dia ikhwan (laki-laki) hanif (lurus), tapi aku kaget, waktu dia jadi koordinator lapangan, banyak maba nge fans sama dia, terus minta foto sama dia."

Saya malah jadi penasaran, "Terus kaget nya di bagian mana?"

Adik saya satu ini, malah menjawab dengan nada marah, "Ya kaget mbak, dulu, mas itu *menyebutkan satu nama* waktu jadi ketua bem aja menjaga banget kog."

"Menjaga gimana maksudnya?"

"Mas itu *disebut lagi satu nama* waktu diminta foto sama cewek dia gag berani deket-deket, dan gag mau kalo cuma foto berdua, dia pasti minta si cewek bawa temennya buat foto bareng, lhah ini temenku malah mepet-mepet foto sama cewek," begitulah ia mengungkapkan kekagetannya, yang lebih terdengar seperti komplain.

(yang memang kebanyakan penduduk di fakultasnya adalah perempuan)

Saya tersenyum geli, "Itu temenmu?"

"Iya mbak, " dia menjawab pendek.

Gampang saja jawab saya, "Ya itu berarti tugasmu ngingetin, kan dia temenmu."

Lapangan itu terkadang becek, tak seperti lantai ruang rapat. Seperti apapun gerak di lapangan, sepertinya sulit merealisasikan semua teori seperti di rencana awal. Tapi bukan berarti menyerah pasrah memperbaiki keadaan. 

::::

Bercampur baur (ikhtilat) adalah hal yang dihindari oleh para pencari Ilmu. Karena guru Imam Syafi'i mengatakan, "Ilmu adalah cahaya, dan cahaya tak mau mendatangi orang-orang yang bermaksiat."

Dimana pun berada, menjaga interaksi adalah lebih baik. Dan lebih baik pula apabila kita mau mengingatkan apabila ada yang terlupa tentangnya.

Mungkin dia belum tau dhek, tentang tidak dibolehkannya ikhtilat, kamu yang harus beri tahu kalo gitu. Nah, ketidaktahuan ini yang menjadi bahaya, hanya karena tidak tahu jadinya beberapa hal tidak pas dilakukan. Berhuznudzon terhadap saudara adalah kewajiban kita, ada hak saudara kita di sana. 

Yuk saling mengingatkan. 

Selasa, 03 Februari 2015

Khidmat nya Orang Budha (itu) Beribadah...

Bismillahirrahmanirrahim...

Saat itu, ada seorang adik yang bercerita. Kebetulan adik ini adalah seorang jurnalist di lembaga press di sebuah kampus di Jogjakarta. "Aku mau cerita mbak..." begitu ia membuka percakapan dengan antusias.

"Kemarin aku mewawancarai orang Bali, yang sedang beribadah di pinggir pantai. Wawancara soal kebudayaan sana," antusiasnya menaik.

"Selesai wawancara aku nyeletuk, Pak, bapak tetap beribadah sementara orang-orang lalu lalang di sekitar bapak," ceritanya itu membuatku ikut antusias.

"Lho mbak, saya kan ibadah buat Tuhan, ya saya gag akan malu dan gag akan terganggu sama orang-orang di sekitar saya, gitu mbak, kata bapaknaya, bapaknya khusyuk banget sambil pegang dupa, aku sebagai orang islam jadi malu banget..." nada berceritanya menaik.

::::

Jika difikir, benar juga, terkadang saya sendiri dan teman-teman yang beragama islam tidak PD ketika harus beribadah di hadapan banyak orang. Sedangkan bapak yang diwawancarai ini, mengeluarkan pernyataan yang MJJ (Mak Jleb Jleb), "Lho kan saya ibadah untuk Tuhan mbak."

Malu kepalang malu.
Sungguh, tidak dipungkiri, (terkadang) perbedaannya jauh. Si Bapak dengan dupa nya ini melakukan gerakan-gerakan ibadah dengan sangat khidmat, sedangkan ketika menengok ke masjid, ada banyak orang (yang mungkin termasuk saya juga) beribadah solat dengan gerakan seadanya atau bahkan sangat cepat tanpa diperhatikan gerakannya.

Kata ustad, seorang muslim itu ada 3 kriteria. Kriteria pertama adalah Islam yaitu orang yang bersyahadat (kita semua yang muslim masuk kriteria ini). Kriteria selanjutnya adalah Iman yaitu orang yang melakukan amalan solih (baik) setelah bersyahadat (semoga kita sudah mampu masuk kriteria ini). Kriteria selanjutnya adalah Ihsan yaitu orang yang telah bersyahadat, telah beramal solih, dan yang terpenting adalah ketika ia beribadah kepada Allah seolah-olah ia melihat Allah, atau jika tidak dapat merasa seolah-olah melihat Allah, ia merasa bahwa sesungguhnya Allah melihatnya (ini dia kriteria tertinggi seorang muslim).

Jika dianalogikan dalam pekerjaan kita, ketika kita bekerja, dan pekerjaan kita dilihat oleh atasan kita, maka kita pasti akan bekerja sebaik-baiknya, berusaha tak ada cacat, berusaha tak melakukan kesalahan, kita melakukan dengan gerakan terbaik, dengan tutur terbaik.

Begitu lah seorang ihsan beribadah, memperhatikan seluruh bagian dari ibadahnya, berusaha melakukan yang terbaik, menghayati apa  yang dilakukannya.

Barangkali si Bapak pembawa dupa tadi adalah orang yang berderajat ihsan dalam agamanya.

Ibadah kita adalah cerminan dari derajat yang kita punya. Derajat islam, derajat iman, atau dearajat ihsan.

Semoga kita dapat menjadi muslim yang ihsan... aamiin...

Senin, 02 Februari 2015

Jangan Seperti Burung Kakak Tua (itu)

Bismillahirrahmanirrahim...

Saya tertarik dengan cerita ini, cerita pendek tapi berkesan. Cerita ini berkisah tentang Seorang ulama dan burung kakak tua peliharaannya.

Seorang ulama memelihara seekor burung kakak tua. Ketika ulama tersebut mengajar para santri nya di kelas, beliau selalu membawa burung kakak tua tersebut. Hingga pada akhirnya burung kakak tua itu bisa menirukan do'a-do'a yang disampaikan oleh sang ulama. Seperti dzikir singkat (Astaghfirullah, Subhanallah, Lailahaillallah Muhammadurrasulullah). Tentu hal itu menjadi hal yang menggembirakan. Itu mengapa sang Ulama sangat sayang dengan burung kakak tuanya itu.

Sampai suatu saat, burung kakak tua itu mati karena diterkam anjing dan berteriak-terak keras. Maka Sang ulama sangat bersedih. Para santri nya mencoba menghiburnya dengan berbagai cara. Salah satu santri nya mengatakan, "Biar kami carikan yang baru ustadz,"

Namun jawaban sang Ulama agaknya membuat para santri nya terkejut.
"Tidak. Tidak perlu. Aku bersedih bukan karena kehilangan burung kakak tua itu. Tapi aku bersedih karena ketika burung itu diterkam, ia berteriak-teriak keras. Namun apa yang ia teriakkan bukanlah do'a-do'a yang ia hafal selama ini, melainkan ia hanya berteriak-teriak merintih kesakitan tak karuan, hingga akhirnya ia meninggal."

::::

Ya, kita sudah rutin menjalankan solat, kita sudah hafal beberapa do'a harian, kita pun fasih membaca beberapa surat dalam Al Qur'an. Mungkin hal itu pun bisa dilakukan oleh burung kakak tua. 

Lalu samakah kita dengan burung kakak tua?

Sang ulama bersedih karena ternyata meskipun burung kakak tua kesayangannya hafal beberapa do'a namun itu tidak masuk sampai ke dalam hati, hanya sampai di mulut saja. Hal itu yang menyebabkan burung kakak tua milik sang ulama tak mampu mengatakan satu pun do'a yang dihafalnya ketika meninggal. -Karena do'a yang dihafal tidak sampai masuk ke dalam hati.-

Bagaimana pun kita berbeda dengan burung kakak tua. Manusia memiliki hati, yang bisa meresapi apa-apa yang ia pelajari, termasuk do'a.

Kenapa kita tidak menghayati mulai dari sekarang?

Ketika saya memasuki sebuah masjid, terlihat ada seorang lelaki duduk bersimpuh di tempat sujudnya. Ia sedang melakukan usaha. Menghayati itu perlu usaha. Semakin cepat kita memulai usaha maka semakin besar peluang kita menjadi pelaku perubahan, minimal perubahan dalam diri kita.

Bukankah kita tak ingin berakhir seperti si burung kakak tua? Hidup keseharian dipenuhi do'a namun mati dalam keadaan mulut tak dapat mengucapkan satu pun kata dari nya.
Jangan seperti burung kakak tua (itu).

(Sekali lagi) Penghayatan tak bisa dilakukan tanpa usaha.

 
Design by Wordpress Templates | Bloggerized by Free Blogger Templates | Web Hosting Comparisons