Kamis, 23 Juli 2015

Aku Ingin Menatap Wajah Kehidupan, Lekat

Aku ingin menatap wajah kehidupan lekat-lekat, dengan tersenyum. Dan aku ingin bercengkerama dengan wajah ceria di hadapannya.

Hai, kehidupan.
Selama ini aku merasakan telah salah bergulat dengan hal-hal kecil bersamamu. Ternyata, ada masih banyak stok hal-hal besar yang belum aku beri perhatian.

Kemarilah, mendekat, aku ingin meminta maaf dengan tulus kepadamu. Biar kulihat wajahmu dari dekat.

Sekilas aku memperhatikan angin sejuk, mungkin aku lebih suka menirunya, di kehidupan mendatang. Biarkan mengalir, dengan usaha paling keras yang bisa kulakukan.

Cinta, adalah bahasan yang dewasa ketika ia tersimpan dengan rapi. Sedangkan ia adalah bahasan anak kecil ketika ia terumbar. Mungkin ia bukan hal sepele yang mudah saja kita singkirkan, tapi, memunculkannya di hadapan umum adalah polah kekanak kanakan... Masih terlalu banyak hal besar yang harus diprioritaskan.

Allah, terimakasih telah menghadapkan beribu wajah kehidupan di depanku. Mereka memberiku pelajaran berharga, tentang kemantapan pendirian. Berbuat baik dengan segenap usaha pada ribuan wajah kehidupan, adalah pendirian.

Aku akan bekerja keras. Sepenuh energi. Dan berbuat baik, sepenuh hati. Pada kehidupan.

Sedang kupastikan bahwa urusan di tanganku adalah urusan-urusan prioritas. Bukan urusan-urusan sepele lagi sia-sia. Segala kekuatan hanya datang dari Allah swt. Mohon kuatkan dalam keistiqomahan, Ya Kariim...

Hai, kehidupan... :) aku di hadapanmu, dan aku menantangmu. :)

Sabtu, 11 Juli 2015

Menarik, Ini tentang Teko dan Isinya

Bismillah...

Sudah sering dengar cerita tentang teko dan isinya? Bahwa sebuah teko tidak akan bisa mengeluarkan sesuatu yang tidak ada di dalam nya. Bahwa seseorang tidak dapat memberi dengan apa yang tidak ia punya.

Ya, awalnya saya agak bosan dengan cerita tersebut, namun ternyata cerita kali ini berbeda.

Saya mendapat cerita ini dari sebuah kajian sore, di masjid Al Mujahidin UNY. Saya lupa saat itu kajian bersama ustad siapa, barangkali teman-teman ada yang ingat bisa sampaikan ke saya.

Bagi saya, ini cerita yang tidak terduga.

:::

Suatu saat ada seorang ulama yang dihujat oleh orang yang suka menghujat. Ulama ini diteriaki keras di hadapan banyak orang. Ia diteriaki atas hujatan yang tidak sepantasnya, bahkan cenderung kepada fitnah. Namun ulama ini diam saja. Alhasil, para muridnya lah yang geram. Para muridnya ini menahan rasa marah mereka, sebelum akhirnya terluap.

Para muridnya balik berteriak pada si penghujat. Mereka benar-benar marah, tidak terima ketika guru mereka dihina di hadapan banyak orang atas apa yang tidak dilakukannya. Mereka menentang hujatan si penghujat dengan teriakan yang sama kerasnya.

Namun si ulama ini tetap diam, dan justru menahan para muridnya untuk berteriak, ia menyuruh mereka juga diam.

Para murid justru bertambah marah, "Bagaimana bisa kami diam sedangkan Anda dihujat habis-habisan atas apa yang tidak Anda perbuat, terlebih di hadapan banyak orang ustad...???"

"Kenapa Anda diam saja ustad???"

Dengan tenang ustad itu menjawab, "Bukankah sebuah teko hanya mampu mengeluarkan apa yang ada di dalam nya? Dan tidak mampu mengeluarkan apa yang tidak dia punya?

Orang yang mampu menghujat adalah orang yang hati nya berisi kebencian, dipenuhi kedengkian, hingga akhirnya ia keluarkan dari mulut dalam bentuk hujatan, begitu pun orang yang marah, orang yang mampu marah adalah orang yang di dalam hatinya terdapat kemarahan, bukankah teko hanya dapat mengeluarkan isi yang ia punya di dalamnya? Biarkan saja orang-orang di sekeliling kita menunjukkan apa isi teko nya, jika yang ia punya adalah kebencian ya begitulah jadinya, kita diam saja."

Sontak seluruh muridnya terdiam, dan diam-diam mereka sangat malu. Ustad mereka tidak marah karena memang di dalam hatinya tidak terdapat kemarahan, dan mereka menyadari bahwa kemarahan yang secara refleks mereka buat saat menghadapi si penghujat menunjukkan di dalam diri mereka ada kemarahan, sedangkan Nabi Muhammad dengan sangat disiplin mengatakan, "Jangan marah, jangan marah, jangan marah, Maka bagimu surga." Nabi Muhammad mengatakan "Jangan marah " sebanyak tiga kali, itu berarti betapa pentingnya meredam kemarahan.
:::

Benar bukan, bahwa sebuah teko hanya dapat mengeluarkan isi yang ada di dalam dirinya. Baik isi yang sifatnya baik maupun isi yang sifatnya buruk.

Kalau biasanya saya mendengar cerita tentang teko dan isinya adalah tentang seseorang yang harus belajar terus menerus karena sebuah teko harus memiliki isi, agar ia bisa mentransfer isi tersebut ke gelas, ternyata "isi teko" yang dibahas kali ini di luar dugaan saya.

Benar juga ya, bahwa sebenarnya apa saja yang keluar dari dalam diri kita itu menunjukkan isi yang ada di dalam diri kita. Ini menjadi bahan evaluasi saya, sangat berharga untuk dijadikan pelajaran bagi saya.

Terimakasih banyak ustad, atas cerita luar biasa ini. :)

Mari menjadi teko yang berisi kebaikan.

Sidareja, 11 Juli 2015

Sumber gambar:
http://coachraditya.com/wp-content/uploads/2014/07/teko-dan-isinya.jpg

Mental pemenang


Sebuah pengantar dalam kehidupan ini, Al Qur'an yang mulia, telah banyak menceritakan kisah-kisah tentang mental pemenang yang dimiliki oleh Putra Sayyid Abdullah, Nabi Muhammad SAW.

Terharu mendengar kisah beliau yang memiliki pelindung Yang Maha Melindungi, Nabi tidak memiliki pelindung selain Allah Rabbul Izzati.

Begitulah kita seharusnya dalam menghadapi perang dalam kehidupan kita, perang yang wujudnya tak lagi menggunakan senjata yang melukai, melainkan perang dengan menggunakan etika dunia modern.

Mental seorang pemenang yang telah dicontohkan oleh Nabi SAW, adalah mental yang seharusnya kita miliki. Mental pemenang adalah dimana kita TIDAK mengusahakan secara Maksimal namun kita harus lebih dari maksimal. Going the Extra Miles. Lebih dari apa yang diusahakan orang lain.

Karena seorang pemenang tidak sekedar menggunakan kemampuan yang ia miliki secara maksimal, namun juga mengusahakan apa yang belum ia miliki, bagaimanapun caranya (masih dalam lingkup aturan) ia akan mencari solusi untuk menang. Ya SOLUSI! Itu yang dicari oleh seorang bermental pemenang.Bukan ALASAN! Apapun itu, kesalahan, kealpaan, kekurangan yang ia miliki bukanlah modal untuk ia mencari-cari alasan, namun modal untuk mencari SOLUSI.

Karena orang yang mencari-cari alasan sama halnya seperti orang yang berusaha untuk kembali ke masa lalu, berkutat dengan masa lalu, berusaha mengembalikan air dari hilir ke hulu, seperti orang yang ingin mengembalikan bunga yang telah mekar untuk kuncup kembali.

Sedangkan orang yang bermental pemenang, yaitu mereka yang mencari solusi dari kekurangan mereka, untuk memperbaiki kesalahannya, dan berkonsentrasi pada masa depan, bukan masa silam!

Mari kita bangun mental seorang PEMENANG dalam akar diri kita yang paling dalam untuk menumbuhkan batang, dahan, daun, bunga dan buah nya sebagai hasil usaha kita mencari solusi, bukan berhalusinasi ke masa silam!

Allahuakbar! Mari menang!
_Diana Azhar Al Rasyid_

Aku Bola Ping Pong, Bukan Bola Kasti...



Bismillah,

Dulu, tulisan ini hanyalah sebuah status singkat, dan kini berkembang untuk menebar senyum dalam sedih yang mengikat. Ammiin. :)

Seringkali dalam keadaan yang sulit, para kuman berevolusi (ini bukan iklan), menjadi lebih kebal dan hebat, mereka belajar dari kegagalan yang lalu, mereka jadikan kegagalan itu seolah ‘mata kuliah’ penting dalam kampus ‘realita kehidupan’ . Lalu akankah manusia (kita) akan kalah dengan kuman-kuman itu? Dalam keadaan drop atau futur, atau apapun bahasanya, kita harus memikirkan bagaimana cara berevolusi, bangkit, tidak tenggelam dalam lumpur menyedihkan bernama kegagalan. Tidak kalah dengan kuman. :)

Lalu hubungannya kuman dengan bola? Hehe. Ya, bola itu bermacam-macam, ada bola pingpong, ada bola kasti, ada bola sepak, ada bola takrow, ada bola voly, kesemuanya adalah bola, tapi masing-masing mereka berbeda. Inilah poinnya, mereka berbeda, padahal sama-sama bola. Balikkan cermin itu pada kita, kita, dengan teman kita, dengan musuh (lawan) kita sama-sama manusia, tapi kita sama sekali berbeda, karena memang begitulah fitrahnya. Bola ping pong tidak bisa disamakan dengan bola kasti, daya lontar masing-masing mereka berbeda. Begitupun kita, kita dengan teman kita memiliki ‘daya lontar’ yang berbeda pula, memiliki tingkat kemampuan yang berbeda. Nah, yang sering menjadi kesalahan kita adalah ketika kita gagal, seringkali kita mengukur kegagalan kita dengan melihat kesuksesan orang lain, mengukur kemampuan kita dengan kemampuan orang lain, padahal kita berbeda!

Bola pingpong dan bola kasti, mereka sama-sama dapat memantul, tapi pantulannya berbeda. Ketika kita menjatuhkan kedua bola itu ke lantai yang sama, maka yang terjadi adalah pantulan keduanya tidak sama tinggi, bola ping pong akan memiliki pantulan yang lebih rendah. Itu nyata! Tapi apa bisa dikatakan bola ping pong itu gagal? TIDAK! Karena memang begitulah sifat bola ping pong tidak bisa disamakan dengan bola kasti yang bisa membumbung tinggi. Sekali lagi mereka berbeda. Kitapun begitu. Teman kita, bisa mendapatkan ini dan itu dari usahanya, sedangkan kita tidak, apakah itu sepenuhnya bisa dikatakan sebuah kegagalan? Kita mengukur dengan parameter yang salah. Seolah kita menimbang gunung dengan timbangan emas, mengukur kemampuan kita dengan timbangan kemampuan orang lain. Padahal kita istimewa, kita adalah emas, meski ringan kita adalah benda berharga.

Baiklah, sampai di sana, pemikiran kita sudah berubah. Kita adalah kita bukan orang lain. Bola ping pong adalah bola pingpong, bukan bola kasti. Ukuran keberhasilan kita diukur dengan parameter diri kita, bukan dengan parameter orang lain.

Lanjut bercerita tentang bola ping pong.
Bola, pada hakikatnya dapat memantul tinggi, ia dapat memantul jauh ke atas, tapi sadarkah? Bola sebelum memantul ke atas PASTI jatuh atau dijatuhkan ke bawah lebih dulu. Ya memang begitu kehidupan manusia, maka la Tahzan! Jangan bersedih! Manusia ada kalanya mendapati kegagalan dalam hidupnya, tapi itulah strategi Allah untuk melontarkan kita jauh lebih tinggi dari sebelumnya, itulah siasat Allah untuk menghibur manusia, bahwa setelah kegagalan pasti ada kesuksesan, inna ma'al 'usri yusro, setelah kesulitan pasti ada kemudahan, hayo itu Qur'an surat apa? hihi.

Allah ingin menguji kita, karena tidak dikatakan beriman seseorang yang belum diuji. Ketika kita mendapati kegagalan, berbaik sangkalah pada Allah. Ibaratkan bola ping pong ada di tangan orang yang sedang berdiri, dan bola itu dijatuhkan, maka akan ada 3 kemungkinan. Kemungkinan pertama adalah bola itu akan melesat ke atas secara tegak vertikal, kemungkinan kedua bola pingpong itu akan memantul ke kanan atau ke kiri, kemungkinan ke-tiga bola itu akan memantul tidak lebih tinggi dari posisi awalnya.

Analogi yang pas untuk kita, ketika Allah sedang menguji kita dengan kegagalan, Allah menjatuhkan kita, Allah membuat kita merasakan sakit, dan Allah membiarkan hamba Nya memilih pantulannya sendiri, dengan 3 pilihan, setelah dijatuhkan (diuji dengan kegagalan) pilihan pertama bagi manusia adalah melesat tinggi dengan grafik naik ke atas, atau sama-sama ke atas tapi dengan grafik yang miring ke kanan atau ke kiri, atau pilihan ketiga menjadi futur jauh lebih futur dari keadaan sebelum diuji. Kita  manusia? Mau pilih yang mana? Bola tidak memiliki pilihan, tapi kita manusia... kita punya pilihan, kita yang menentukan usaha kita, akan memantul seperti apa dan kemana? :)

Memantullah ke atas, melesat tinggi, jadikan kegagalan sebagai trampolin, membuat kita melesat jauh lebih tinggi lagi, dan tersenyumlah, katakan selamat tinggal pada kesedihan, syukuri nikmat yang banyak ini, karena masih ada 99 macam nikmat lagi di syurga kelak, nikmat di dunia hanya 1/100 saja, masihkah kau diam?
Namun bukan berarti ini menjadi alasan bagi kita untuk nyaman berada di zona kegagalan, saatnya bangkit dan melesat. :) Cari arena lapangan tenis meja, agar potensi pingpong kita maksimal. Serahkan lapangan tenis indor pada bola kasti. Cari tempat yang tepat untuk kita, sampai kita menemukannya. Sertakan ridho Allah di sana. Memantul dan melesat!

Memantul dan melesat, ya, terkadang tidak semudah itu kita memantul, tergantung juga pada media pantul kita, bola ping pong akan memantul dengan baik pada lantai yang keras, lalu bagaimana jika ia jatuh ke lumpur? Ia tidak bisa memantul. Ya, kematian, kematian adalah lumpur yang akan menghentikan pantulan kita. Kematian itu hal yang niscaya, pasti! Tapi kehidupan kita yang sebenarnya akan kita dapatkan setelah melewati fase lumpur itu, setelah fase kematian, selagi masih di atas, jadilah orang cerdas, seperti apa orang cerdas itu, dikatakan bahwa orang cerdas adalah orang yang paling baik dalam mempersiapkan amalannya untuk bekal di akhirat sana.

Selamat memantul ke atas, dan berbagilah dengan saudara kita meski hanya sekadar senyuman, jangan tampakkan kesedihan, kunyahlah ndengan baik teori motivasi dari banyak buku, telan sari-sarinya, edarkan ke seluruh tubuh, dan berkaryalah bangun peradaban, peradaban orang-orang salih, mulai dari satu orang di kanan kita, kemudian satu orang di kiri kita, dan banyak orang di kanan kiri depan belakang kita. Tersenyumlah dan berbahagialah, Allah bersama orang-orang yang sabar.
_Diana Azhar Al Rasyid_

Hati-hati Dengan Sajadah Kita :)

Bismillah,
Salah satu kewajiban kita sebagai ummat muslim, adalah salat 5 (lima) waktu. Untuk kewajiban yang satu ini, sudah tidak ada lagi tawar menawar, sudah paten dan tidak bisa diganggu gugat. Subhanallah, Allah memberikan banyak sekali nikmat yang tersirat dalam gerakan maupun do’a-do’a dalam salat, seperti salah satunya telah banyak dikaji yaitu mengenai manfaat salat dalam kesehatan.

Lalu apa hubungannya sajadah dan kesehatan? Sebenarnya bahasan kita bukan masalah sajadah dan kesehatan, tapi mengenai teknis salat kita sehari-hari. Bagi yang laki-laki, Allah menganjurkan untuk salat berjamaah di Masjid. Sedangkan yang perempuan berjamaah di rumah. Dan Allah akan memuliakan orang-orang yang salat berjamaah baik laki-laki maupun perempuan dengan pahala yang berlipat ganda, hingga 27 kali.

Para jamaah di Masjid seringkali sudah membawa peralatan salat lengkap, mukena, sarung, peci, dan tak lupa sajadah panjang masing-masing. Nah, sajadah ini yang terkadang kurang pas dalam pemanfaatannya. Sajadah digunakan sebagai alas solat, karena terkadang lantai atau tanah tempat kita solat masih kotor, maka sajadah digunakan sebagai alas. Mungkin tidak akan menjadi masalah ketika kita melakukan salat munfarid (salat sendiri). Tapi akan kurang ahsan (baik) ketika digunakan dalam salat berjamaah, karena apa?
Karena realita yang sekarang ada adalah, lebar sajadah melebihi lebar pundak kita, sehingga tidak jarang, saat salat berjamaah, kita menggelar sajadah masing-masing, ada yang kecil, ada yang sedang, dan ada yang sangat lebar. Tapi biasanya kesemuanya melebihi lebar pundak kita. Lalu kenapa itu menjadi masalah?

Allah telah memerintahkan kita untuk merapikan barisan, seperti dalam surat yang tersohor, As Shaf ayat 4, “Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang dijalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.” Termasuk di dalamnya, merapikan barisan saat salat, seperti tertuang dalam hadits berikut, “Dari Anas bin Malik ra, Rosulullah bersabda: Luruskan shaf-shaf kalian, dekatkan jarak antaranya, dan sejajarkan bahu-bahu kalian! Demi jiwaku yang ada di tangan-Nya, sesungguhnya aku melihat setan masuk dari celah-celah shaf seperti anak kambing. (HR: Abu Dawud, Ahmad dan lainnya, dishohihkan oleh Imam Al-Albani).



Maka jelaslah perintah untuk menyejajarkan bahu dan merapatkan shaff saat salat, maka akan menjadi masalah, ketika realitanya di masyarakat saat salat berjamaah, semua orang menggelar sajadahnya dan salat di atas sajadahnya masing-masing dengan menyisakan celah di kanan kiri sajadahnya, seakan mereka tidak memiliki tetangga kanan kiri yang seharusnya sama-sama merapatkan barisan (shaff).
Telah jelas masalahnya. Kita harus berhati-hati dengan sajadah kita, meskipun sajadah kita lebar selebar lapangan bola sekalipun, marilah merapatkan barisan dalam salat. Marilah menyejajarkan bahu, dan tidak terkungkung oleh ‘keegoisan sajadah’ kita masing-masing. Sajadah boleh berjejer dan merapat dengan lebarnya masing-masing, tapi barisan salat kita, harus tetap rapat bahu. Nah, tinggal merapatkan bahu, hal yang sederhana dan gampang kan?

Terkadang, mudah bagi kita saling mengingatkan untuk merapatkan barisan bagi kaum muda, karena anak-anak muda masih open minded (kecuali yang tidak :P). Namun, ketika berada di masjid kampung, jamaah yang hadir kebanyakan adalah para orang tua, dan kita akan merasa sungkan untuk mengingatkan mereka. Terutama ibu-ibu yang sajadahnya lebarnya minta ampun, apalagi bagi yang ‘katanya’ sudah bergelar haji, mereka akan membawa sajadah tebal nan lebar kesayangan mereka, dan bisa kita lihat betapa barisan dalam salat itu memiliki banyak sekali celah, hasil dari banyaknya sisa sajadah di sisi kanan dan kiri mereka, padahal kalau diisi satu orang lagi mungkin masih cukup di tiap-tiap celahnya. Untuk kasus yang satu ini, mungkin membutuhkan waktu yang lama dalam penyelesaianannya, karena kita juga harus ‘ngajeni’ atau menghormati orang tua, mengingatkan mereka dengan sopan, dengan unggah ungguh yang benar.

Tapi bukan berarti kita diam saja melihat hal seperti itu, mari peduli dengan berbagi, mungkin mereka yang masih menyisakan celah dalam barisan salatnya dikarenakan mereka belum tahu, maka kewajiban kita untuk memberi tahu mereka :) dengan cara yang baik, seperti perintah berikut, “Hai orang-orang yang beriman, Barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin...” Q.S. Al Maidah ayat 54.
Mari peduli dan mari berbagi.

_Diana Azhar Al Rasyid_

Minggu, 05 Juli 2015

Cita-cita Sederhana

Bismillah,

Dear Diana,
Dii, hari ini luar biasa ya... Aku menghabiskan hari bersama temanku, ammah Nafilla, menonton film-film pendek inspiratif. Lumayan, ternyata bisa mengembalikan puing-puing semangat kita.

Sebenarnya hari ini adalah hari dimana aku menemukan jawaban dari pertanyaan, "Kenapa mbak-mbak di pondok itu punya cita-cita beli mukena baru untuk hati raya/ramadhan?"

Salah satu iklan yg mwnyertai film pendek yang kita tonton Dii..menceritakan tentang cita-cita sederhana para pemulung. Cita-cita mereka adalah: memiliki sandal layak pakai, memiliki mukena baru, memiliki uang cukup untuk membeli makanan enak di hari raya.

Bagaimana kau melihat cita-cita mereka Dii? Luar biasa ya? Iya Dii, jika di pandang dari latar belakang mereka maka cita-cita yang kuceritakan itu bukan lagi cita-cita sederhana, melainkan cita-cita luar biasa.

Tapi Dii, ketika ada banyak orang yang ekonominya memadai, merencanakan membeli baju baru, mbak-mbak muslimah itu tidak. Mereka malah menganggarkan mukena baru. 

Kini aku tahu alasannya. Dan sekarang, aku pun ingin membeli mukena baru ketimbang baju baru Dii. Mungkin aku terpengaruh.

Begini ceritanya. Di ponpes mahasiswa ini, sejak awal ditekankan supaya kami menggunakan mukena yang tidak tembus pandang. Karena ketika solat, kita tidak boleh menyepelekan pakaian solat kita sedikitpun. Jika tembus pandang, itu artinya aurat kita tidak tertutup sempurna.

Maka di awal-awal keberadaan kami si ponpes ini kami sibuk membuat agar mukena kami yg kebanyakan parasut agar tidak tembus pandang. Kami dobel lah menggunakan jilbab dan lain-lain. 

Berhasil tidak tembus pandang? Berhasil Dii. Tapi...ribet... 

Akhirnya kami mulai berpikir untuk membeli mukena baru dengan hati suka cita dulu di awal masuk. Lalu memasuki Ramadhan ini, tidak sedikit pula yang pada akhirnya menganggarkan membeli mukena baru (lagi). Kenapa?

Awalnya aku pikir itu adalah tindakan boros, tapi ternyata dugaanku salah. Mereka sama sekali tidak ingin boros, yang mereka inginkan Dii...adalah bertemu dengan Allah dalam keadaan paling baik setiap waktu. 

Aku perhatikan mereka Dii, mereka sangat memperhatikan bagaimana merek berpenampilan saat solat. Solat kan hanya 5 waktu? Iyap benar. Lalu kenapa harus membeli baru lagi sedangkan waktu pertemuan dengan Allah hanya 5 waktu saja? 

Ini dia Dii, jawaban yang selama ini kucari.

Ternyata, mereka tidak hanya beribadah di 5 waktu, mereka melakukan solat malam dan solat duha. Dan tidak jarang, dengan mukena masih terpasang, mereka duduk khusyuk membaca Al Qur'an. Jadi, aktivitas dunia mereka dengan aktivitas akhirat mereka sebenarnya jauh leboh sering aktivitas akhirat. Maka wajar, ketika mereka jauh lebih memikirkan mukena baru ketimbang baju baru.

Dengan mukena baru tsb maka mereka dapat dengan leluasa selalu berpenampilan baik di hadapan Allah. Tidak dengan pakaian seadanya. Berpenampilan baik di hadapan manusia sering kita lakukan, masa untuk berpenampilan baik si hadapan Allah kita perhitungan. 

Ya, aku akhirnya tahu alasan mereka dan tahu apa yang harus aku lakukan ke depan. 

Lanjut kan belajar! 

Rabu, 01 Juli 2015

Kajian Menarik Bersama Ustad Anis Matta, Cara Mengatasi Masalah Kemiskinan dengan Islam

Siapa tidak tau tokoh satu ini, penulis buku 'Serial Cinta' yang sangat menginspirasi banyak pembaca, ustad muda yang penuh karya, sekaligus tokoh masyarakat yang dipercaya. Wajar saja jama'ah yang datang ke Masjid Mujahidin, atau MasMuja (panggilan akrab untuknya) :D malam itu bertambah banyak.
Ustad Anis Matta menjelaskan, pendidikan atau pelajaran bagi orang-orang yang kalah dalam pertempuran yaitu dengan menganbil sisi scientific: bahwa dalam suatu peristiwa ada penyebab-penyebab yang melatarbelakanginya. Beginilah seharusnya Indoneisa memandang sebuah masalah, termasuk masalah kemiskinan. Inilah pembuka di kajian bersama ustad Anis Matta kali ini. Kajian kali ini akan membahas bagaimana Islam memberikan solusi permasalahan negara, terutama dari sisi permasalahan ekonomi.
Umat muslim sedang dalam suatu fase yang sedang menaik. Lalu apa yang diperlukan apabila kita ingin selalu stabil naik:
yaitu tingkat keyakinan hati (emosi, kemantapan) kita mantapkan hati dan menyadari dengan seksama, apakah risalah islam bekerja dengan baik dalam menyelesaikan segala masalah, jawabannya iya.Kemantapan hati ini sudah dicontohkan oleh Rasulullah.
Rasulullah diutus menjadi Nabi hanya seorang diri. Modal berdirinya Madinah hanya 275 orang, 5 tahun kemudian pada perang handaq jumlah kaum muslimin ada 3000, 5 tahun kemudian ada 100.000 dan penduduk bumu ada 100.000.000, maka saat itu, perbandingan orang muslim dengan seluruh penduduk bumi adalah 1:1000. Betapa perkembangan itu merefleksikan kemantapan dan keteguhan hati Rasulullah dalam memegang risalah islam. Hasil perbandingan itu adalah proses panjang, namun kemantapan hati Rasulullah sangat kuat.

Agama islam itu akan sampai pada seluruh manusia selagi siang dan malam masih turun pada mereka.
Lalu apa hubungannya dengan masalah ekonomi? Masalah ekonomi harus dihadapi dengan kemantapan hati bahwa kita bisa menyelesaikannya dengan baik, melalui konsep islam.

Masalah ekonomi yang menjalar sekarang ini, bukan karena ekonomi itu sendiri namun karena demografi (tingkat kelahiran). Dimana dunia ini menuju penghentian populasi, dengan konsep yang sedang marak, dua anak sudah cukup, dampaknya jumlah orang tua mendominasi jumlah penduduk, maka kekuatan produktivitas (yang sejatinya dimiliki pemuda) dan kreativitas menjadi terhambat, karena jumlah pemuda sangat sedikit, sedangkan orang tua begitu banyak.
Maka solusinya adalah memompa pertumbuhan populasi, meski dengan usaha yang tidak hanya memerlukan waktu 10-20 tahun saja. Pertumbuhan, membutuhkan Engine: ISLAM.
Bagaimana Islam menyelesaikan masalah kemiskinan, yang samasekali berbeda dengan cara-cara manusia? Solusi ini tidak datang dari timur dan dari barat.Berikut pembahasannya
Jauh sebelum persoalan kemiskinan menjadi persoalan ekonomi, itu sudah menjadi masalah BUDAYA.
Yang harus ditransformasi adalah BUDAYA. Salah satunya adalah dalam budaya ekonomi: Islam menjelaskan status harta dengan: Janganlah kalian memberikan harta-harta kepada orang-orang bodoh yang tidak tahu bagaimana cara mengatur uang tsb.
Islam mengajarkan agar pengelolaan harta dilakukan oleh orang yang sudah mampu melakukannya.Bagaimana di Indonesia? Kapan kita pernah belajar tentang pendidikan finansial di sekolah? Apa yang disebut sebagai tulang punggung kehidupan malah tidak dipelajari. Maka karya pertama yang akan dihasilkan oleh para sarjana adalah: SURAT LAMARAN KERJA, bukan menciptakan lapangan kerja. (Sontak seluruh jama'ah tertawa dengan sindiran yang menggelitik itu)Inilah budaya yang perlu dikoreksi.


Rasulullah membayar mahar siti Khadijah dengan 100 unta yang senilai dengan harga 1 milyar.
Sesungguhnya seluruh orang Quraisy tahu, bahwa Muhammad adalah pemudanya yang paling terhormat. Nabi memiliki pengelolaan harta yang luar biasa bukan? Beliau belajar mengelola harta sejak umurnya masih belia.

Selesaikan akar budayanya dulu, begitu akar budayanya benar, maka tinggal pemberdayaan individu. Jika kita ingin menjelaskan kemiskinan di Indonesia, kemiskinan itu terjadi karena pemahaman yang salah tentang harta pada orang-orangnya. Dari sejarahnya di Indonesia, pemahaman-pemahaman yang masuk adalah pemahaman sufisme, bercampur dengan budha dan hindu, terbentuklah BUDAYA. Di sana terbentuklah persepsi seolah-olah ada split (batas) antara orang pasar dan orang masjid, ada anggapan orang pasar ya ngusrusin duit, gag tau menau soal alif ba ta, dan orang masjid bisanya berdo'a gag ngurusin masalah harta, atau orang pasar kerjanya ngasilin duit, orang masjid kerjanya ngabisin duit :D (jamaah gaduh dengan gelak tawa). Persepsi budaya seperti ini yang salah.
Konsep pemberdayaan individu dalam islam: Ketika ada seorang pemuda meminta-minta, maka yang diberikan oleh Rasulullah adalah kampak, beberapa tahun kemudian pemuda itu kembali dalam keadaan kaya raya.
Inilah alur solusi MENGATASI KEMISKINAN:
Pembudayaan --> baru Pemberdayaan indivisu --> kemudian pemberdayaan sosial --> Struktural (tugas negara).
Budaya dulu diperbaiki, kemudian pemberdayaan individu dikembangkan, setelah individu mencapai kualitas prima langkah selanjutnya adalah pemberdayaan sosial, dan sampailah pada Struktural Negara. Jadi tidak serta merta permasalahan ekonomi langsung diselesaikan di tingkat negara, namun dari akar budaya.

Pemberdayaan sosial dengan konsep Infaq. Konsep takafful (gotong royong, saling topang)dalam keluarga. Masyarakat urban seringkali berpindah dari extended family menjadi rumah kecil, dimana rumah-rumah minimalis seringkali menjadi pilihan favorit.

Konsekuensi dari konsep takafful dalam keluarga adalah rumah yang luas. Setidaknya, sebuah rumah memiliki 1 kamar suami istri 2 kamar anak (dipisah yang laki-laki dan perempuan), 1 kamar tidur untuk tamu sepasang suami istri, 1 kamar tidur tamu perempuan, 1 kamar tidur tamu laki laki (usaha memuliakan tamu), dan 1 ruang keluarga, 1 ruang tamu, 1 ruang solat, 1 perpustakaan, 1 dapur. (Terdengar gemuruh tawa di jamaah ikhwan yang sedang mendengarkan ceramah ini, batin mereka: "Gimana caranya besok gue bangun tu rumah? gede bener :D") Jamaah akhwat pun ikut tertawa, batin kita, "Alhamdulillah :D"
Membutuhkan satu tradisi: kedermawanan yang kompatibel dengan konsep takafful jama’i. Contohnya adalah ketika kita ingin membangun rumah, yang pertama harus diperhatikan adalah tetangga.

Langkah keempat adalah struktural, namun menyelesaikan masalah kemiskinan tidak langsung ditanggung negara, melainkan menggunakan konsep dasar ISLAM. InsyaAllah di era kebangkitan ini, ISLAM dapat menyelesaikan masalah-masalah kebangsaan dan kenegaraan.

"Salah satu yang membuat bahagia adalah rumah yang luas, yang di dalamnya ada banyak kamar."
@Masjid Al Mujahidin uny
_Diana Azhar Al-Rasyid_

nb: gambar diambil dari sumber: http://ayip7miftah.wordpress.com/tag/mujahidin/

 
Design by Wordpress Templates | Bloggerized by Free Blogger Templates | Web Hosting Comparisons