Selasa, 30 Desember 2014

ASMA AMANINA JOURNEY

ASMA AMANINA JOURNEY
THE JOURNEY OF SEEKING THE TRUTH

Bismillahiirrahmanirrahim.

Saya mohon izin untuk mennjadikan ‘kantong ide’ ini menjadi sebuah tulisan, sepenggal kisah perjalanan ‘pencarian kebenaran’, yang diiringi segenap kesulitan dan ke-riweuh-an di dalamnya dan sedikit kekonyolan dimana-mana.

Tapi mohon maaf, saya mohon maaf kepada ustad dan Umi, kepada Haura dan Aiman, kepada seluruh santri, kepada seluruh alumni, dan kepada seluruh musrifah (pemandu), pada pohon mangga di halaman, dan kepada plang cantik ungu di depan Asma Amanina. Saya mohon maaf, saya berharap tulisan ini tidak akan menjadikan saya didepak dari Asma Amanina.

Ingin rasanya saya mencantumkan seluruh nama santri di dalam tulisan ini, tapi saya tidak sanggup membayangkan bagaimana cara saya untuk mengembalikan nama baik mereka satu per satu setelah tulisan ini jadi. Jadi saya khususkan tulisan ini untuk Ade Pipin (sebut saja begitu  –bukan nama asli- ) dan Imas (-bukan nama asli-), yang telah sangat berani bertanya tentang pertanyaan sakral, “Mbak Ihti kemarin di depan IC ngapain?”

Dua santri cilik ini bertanya di depan saya dengan nada (sok) perhatian dengan wajah ngece dan menahan tawa kemudian berlalu dari hadapan saya seolah-olah tak tau apa yang terjadi. Mereka sangat menggemaskan ingin saya cubit mereka. Hemmm. Setelah mendengar pertanyaan itu saya  langsung terdiam dan terperangah dengan wajah kaget, melirik sekitar, dan secara refleks menjawab, “Hey? Kamu tau darimana?” Melihat wajah kebingungan saya mereka berdua hanya menjawab dengan tertawa puas -ala santri Asma Amanina solihah- tetapi tetap saja mereka tidak mau bercerita, padahal saya sudah memaksa mereka untuk bercerita.

Aneh, dari ekspresi keduanya, dua adik berwajah imut ini sepertinya hanya 2 di antara banyak santri yang tau cerita soal itu. Rupanya cerita itu sudah menjadi konsumsi umum. Bagaimana cerita itu dapat menyebar? Saya bahkan belum sempat menuliskan –dan memang tak ingin saya tuliskan sebelumnya, karena ehem, karena.....memalukan- lebih tepatnya saya takut Ustad Deden tidak mengakui saya sebagai santrinya ketika mengetahui ini, terlebih setelah ini menjadi tulisan. Ini penyebaran berita tanpa izin. Siapa pelakunya?

Tapi saya berhusnudzon, cerita ini akan banyak menginspirasi santri-santri lainnya

–tepatnya menginspirasi untuk tidak melakukan hal yang sama-.

Baiklah. Ini sepenggal kisah dramatis tentang perjalanan pencarian kebenaran.

GARA-GARA USBU’ ‘ILMI

Saya tinggal di Pondok pesantren mahasiswi, Asma Amanina namanya, di daerah Maguwoharjo. Ceritanya, pekan ini adalah usbu’ ‘ilmy, atau pekan keilmuan, dimana seluruh kegiatan belajar mengajar di pondok pesantren ini dialihkan ke tema tentang bahasan: ilmu, di pekan ini.

Nah, santri Asma Amanina dibagi menjadi berkelompok-kelompok. Kebetulan saya satu kelompok dengan Ade Pipin yang super menggemaskan -dan menjengkelkan itu hihihi-. Selain itu ada Jems, ada Aim, ada Kiki, dan Sisil (bukan nama sebenarnya, panggil saja begitu). Kami berenam mendapat tugas untuk mengkaji tema “Kedudukan Ilmu dalam Islam.” Tema yang menarik. Kami antusias.

“Silakan kelompok 1 mengunjungi Ustad Solihun untuk menggali tema tersebut,” kata ammah musrifah (pemandu).
Singkat cerita kami memutuskan untuk menghubungi beliau, Ustad Solihun, seorang ustad yang dinanti-nanti untuk memberikan ceramah di Asma, namun beliau sangat sibuk. Benar saja, ketika kami sms tak ada respon dari beliau, seperti nya ustad bingung mau jawab apa, jadi smsnya tidak dijawab. Selang satu hari pasca sms yang tak berbalas itu, kami –dengan antusias seusai kelas- membuat janji untuk berkunjung langsung ke rumah beliau menanyakan tentang keluangan waktu beliau. Keputusan terakhir pasca kelas pagi berlangsung adalah dua orang dari kami langsung datang ke rumah Ustad menanyakan jadwal luang ustad untuk dikunjungi.
Kami sepakat. Dan yang bisa berangkat pagi itu hanya saya dan Ade Pipin. “Ok Ade, nanti jam 8 ya,” kami semangat membuat janji. Masing-masing dari kami bergegas keluar kelas untuk melanjutkan aktivitas, yang salah satunya adalah sarapan pagi. Seperti biasa, sarapan pagi adalah waktu yang dinanti-nanti seluruh santri. Aktivitas setelahnya bebas. Saya bersiap-siap di kamar dengan menyiapkan ini dan itu untuk keperluan seharian di kampus. Seperti biasa dengan tas ransel saya yang besar, saya menata keseluruhan keperluan di dalam tas itu, supaya saya tak perlu bolak balik kampus-pondok pondok-kampus, karena jaraknya terlalu jauh. Entah apa yang dilakukan Ade Pipin.
Pukul 08.00
“Assalamu’alaikum, Aaaadeeee...” saya ke depan kamarnya bermaksud mengajak Ade pergi ke rumah Ustad sesuai janji.

Lama tak ada jawaban, saya buka kamarnya, dan: kosong.
“Dimana Ade?” gumam saya. Saya mencoba mencari di kelas.
Dan benar, ada Ade di sana. Tertidur di kursi tempat ustad/ustadhah mengajar, dengan wajah panda nya ia bangun –setelah saya bangunkan-. Sepertinya hampir tak mungkin Ade terbangun tanpa dibangunkan.
“Ayo De, jadi ke tempat ustad Solihun kan?”
“Emmm, aku ngantuk mbak, kalau mbak aja gimana?”
“Sendirian De?”
“Iya, berani kan mbak?”
Singkat cerita, saya mengiyakan. Ade biasanya begadang setiap malam mengerjakan tugas kuliah, wajar, tugas mahasiswa D3 itu sangat banyak, biar dia istirahat saja. Tiba-tiba seperti ada bundaran putih di atas kepala saya.

Tanpa memelas pun wajah pandanya sudah membuat saya luluh. Tapi rumah Ustad Solihun itu tidak lain dan tidak bukan adalah pondok ikhwan. Apa yakin saya ke sana sendirian? Mengunjungi rumah yang isinya laki-laki semua? Bundaran putih di atas kepala saya pecah, dan berganti dua tanduk merah, tapi belum sampai tanduk itu muncul ke permukaan, saya segera membulatkan tekad. Karena ini kepentingan kelompok, tak apa lah, lagi pula pasti ada istri ustad di rumah ustad. Seperti  ada sepasang sayap putih tumbuh di punggung saya. Saya meyakinkan diri untuk berangkat sendiri. Ini adalah kunjungan terekstrim yang pernah saya lakukan.

Tapi sempat terbersit untuk membatalkan, karena jam 8 itu juga saya sudah mempunyai janji, untuk menyambut tamu dari BEM FT UNESA (Universitas Negeri Surabaya) di FT UNY. Pesan singkat-pesan singkat untuk segera hadir di tempat penyambutan berdatangan satu persatu. Tapi, kalau tidak saat itu juga ke tempat Ustad Solihun kapan lagi, pikir saya. Akhirnya, bulatlah tekad saya.
Hupt!
“Ini mbak kunci motornya, tapi sabar ya sama motorku,” begitu pesan Ade Pipin kepada saya, curiga saya, ada apa dengan motornya? Tapi saya tak ambil pusing, saya harus bergegas, sudah di tunggu teman-teman BEM, harus bersegera.
Saya keluarkan motor dari parkiran Asma Amanina. Saya pencet starter: tidak bisa. Oh, berarti harus dislah. Slah pertama: gagal. Baru genjotan pertama, sepatu cantik seharga 35.000 milik saya langsung melengkung bagian bawahnya (red: solnya), tak dapat kembali seperti semula. Mau bagaimana lagi, sepatu 35.000.
Slah kedua: masih gagal. Slah ketiga: gagal juga. Entah berapa kali slah, akhirnya saya berhasil menyalakan motor. Ah, Ade Pipin terlalu berlebihan waktu mengatakan harus sabar. Hanya beberapa kali slah sudah bisa nyala kog, tidak sampai menguji kesabara. Hanya menguji kualitas sepatu saja.
Saya menuju IC (Islamic Center) Seturan, Yogyakarta. Sebuah pondok mahasiswa khusus laki-laki.
Sekali lagi, semoga cerita ini tidak merontokkan daun-daun pohon mangga di depan Asma ketika saya lewat, atau menjadikan kucing besar tetangga Asma mengeong, memprotes kehadiran saya di Asma. Semoga.
Sampailah saya di depan IC Seturan, saya langsung parkir di depan rumah Ustad, yang langsung berdampingan dengan pondoknya. Saya berpikir keras, bagaimana hukumnya seorang akhwat pergi sendirian menuju ‘sarang’ ikhwan. Alhamdulillah kostum saya bukan kostum yang menarik perhatian, dengan warna warni baju yang lucu-lucu seperti yang dipakai akhwat di kampus. Kostum saya saat itu lebih mirip kostum satpam, atau kostum pegawai kereta api, rok hitam dengan baju atasan berupa PDL (Pakaian Dinas Lapangan) BEM FT yang berwana dominan hitam dan orange, kemudian kerudung orange. Bismillah, saya ketuk pintu, dua kali ketuk pintu tak terdengar jawaban dari dalam. Ternyata ada suara motor dari belakang saya. Ternyata itu Ustad Solihun. Ah, beruntungnya saya. Santri solihah memang disayang Allah.
Intisari dari kunjungan saya ke rumah Ustad mendapat titik terang, bahwa Ustad tidak bisa dikunjungi pekan ini, kecewa, tapi mau dikata apa. Saya pamit pulang, mengambil motor Ade Pipin yang saya parkir di depan. Teman-teman tahu IC Seturan? Di sana ada tempat parkir, yang gerbangnya agak sempit. Saya mencoba menghadapkan motor ke gerbang tersebut, kemudian dengan nyaman melakukan aksi penge-slah-an motor, berharap setelah itu bisa langsung keluar gerbang sempit itu lalu berlenggang ke kampus.
Berkali-kali saya lakukan penge-slah-an itu, dan hasilnya: nihil! Ada santri IC keluar dari pondok, saya bergegas menuntun motor keluar dari gerbang, memosisikan motor di pinggir gerbang, supaya tak begitu terlihat oleh santri-santri di pondok, karena kebetulan gerbangnya agak tertutup pohon.

Saya mencoba lagi, menggenjot pedal slah, berkali-kali pula. Sampai akhirnya telinga saya menangkap ada suara motor akan keluar dari gerbang, sepertinya santri IC. Saya berharap mas santri nya tidak melihat keberadaan saya, dan tidak melihat aksi yang baru saja saya lakukan. Hosh-hosh, nafas saya sudah tersengal-sengal. Saat sedang tersengal-sengal itu, tiba-tiba ada suara dari samping dengan nada tanya, “Bisa mbak?” ah rupanya si mas santri.

Kaget sebenarnya, refleks saya ambil hape di saku, berusaha mengatur nafas, dan berusaha untuk tetap cool, “Ah hehe, bisa kog mas, bisa, bisa,” saya menghadap layar hape berusaha mengacuhkan masnya. Berusaha memberikan kode bahwasannya saya tak membutuhkan bantuan, saya duduk di atas motor Ade Pipin yang belum berhasil saya nyalakan gasnya, dengan tangan kiri bersedekap, dan tangan kanan memegang hape. Saya berlagak seperti sedang sibuk dengan hape.

Melihat saya yang sepertinya terlihat baik-baik saja, si mas santri itu tadi pergi dengan motornya. Punggung mas santri sudah tidak terlihat. Saya menurunkan hape, dan melepas napas yang tertahan, hosh-hosh-hosh. Gengsi lah kalau sampai ada santri ikhwan menolong saya, kasihan mas santri nya juga, nanti sampai ke dalam pondok di cie cie lagi sama teman-temannya, -suudzon saya-.
Belum selesai usaha saya, saya coba genjot lagi! Hosh! Sepertinya mantra dari Ade Pipin harus digunakan, saya mengingat-ingat lagi kata per kata dari Ade Pipin, “Harus sabar ya mbak sama motorku.” Jadi ini yang kau maksud De? Baiklah. Aku bersabar De. Aku benar-benar bersabar. Tidak kah kau tau aku terus berusaha, dan itu adalah tanda kesabaran bukan? Aku terus berusaha De, aku selalu ingat pesan darimu. Percayalah.

Hiks. Tapi kenapa tak menyala juga gasnya? Sepatu 35.000 ini juga sepertinya sudah sangat melengkung, kasihan dia. Akhirnya saya menuntun motor itu lagi, mendekatkan diri pada bangunan yang sedang dibangun, barangkali bapak-bapak tukang bangunan yang melihatku dari atas bangunan mau membantuku. Aku usaha lagi. Hosh. Apa yang terjadi? Aha! Berkali-kali, sekali lagi saya tekankan berkali-kali saya mencoba, dan?

Belum juga berhasil saudara-saudara!

Dan parahnya, aksi saya sepertinya tidak menarik bagi bapak-bapak tukang bangunan. Saya dikacangin. Rupanya harga kacang mulai mahal, mungkin seiring kenaikan BBM sampai berefek pada kacang. Astaghfirullah.... Mungkin salah, saya seharusnya mendekatkan diri pada Allah semata, ini malah mendekatkan diri pada bangunan yang sedang dibangun.

Baiklah, saya menuntunnya lagi, berharap setelah menuntun beberapa lama bisa terpancing gas motornya. Saya coba lagi!

Eh, sebentar, ada mas-mas baju biru kuning dari kejauhan. Itu mas santri yang tadi.
Saya rasanya ingin mengambil meja Asma Amanina, terus bersembunyi di bawahnya, berharap mas santri nya tidak melihat saya. Meja, mana meja?!
Tolong Ihti, tolong stay cool, jangan panik. Baik, saya sudah tenang, begitu masnya mendekat, teman-teman bisa membayangkan seperti apa wajah saya?

Saya seperti sudah tidak punya wajah lagi >_< Malu.

Saya turun dari motor,

Terus terpaksa saya mengatakan: “Hehe, mas nya, minta bantuannya ya mas.”
Mas nya berceletuk, “Nah kan.”
Saya biasa menulis, bisa menyulap angin menjadi bait-bait romantis. Saya seorang kaderisator, biasa merawat bibit menjadi tunas. Saya anak pertama, biasa menjadi anak paling dewasa. Tapi momen itu, merontokkan semuanya. Malu, sangat malu pada mas nya. Konyol. Menggelikan.

Belum selesai, ternyata mas nya juga mengalami kesusahan untuk menyalakan motornya. Tapi pada akhirnya bisa. Motor kembali diserahkan kepada saya. “Ini mbak.”
“Ya, terimakasih banyak ya mas. Terimakasih. Terimakasih”
Baru saja saya naik di atas motor, gasnya mati lagi.

“Ah, saya coba dulu mas, saya coba, barangkali bisa.” Hosh-hosh-hosh. Berkali-kali, wajah saya saya hadapkan membelakangi mas santri itu, dan saya berdo’a, Ya Allah, pertahankan wajah saya agar tetap berada di tempatnya tidak bergeser 1 cm pun, semoga wajah saya terlihat wajar, dan biasa saja.

Tapi nyatanya, itu kejadian luar biasa.
Saya lemas, dan turun lagi dari motor ajaib itu. Menyerah, saya mengatakan, “He, minta tolong lagi ya mas.”
Hening.
Beberapa lama kemudian.

“Ini mbak, nanti kalau susah dinyalakan lagi, chock nya diturunin aja.”
Saya menjawab dengan sigap, ingin menyegerakan urusan. “Ohya mas.”
“Makasih ya mas.”
Saya beranjak pergi dengan motor Ade Pipin tercinta.

De, nasihatmu tetap aku pakai sampai detik akhir penghabisan De, tapi mau bagaimana lagi, aku sudah berkeringat pagi-pagi De, benar-benar kehabisan nafas saat itu. Aku tak ingin meneruskan kekonyolanku, keras kepalaku, jadi di ujung kesabaranku, aku meminta tolong masnya De, merontokkan seluruh gengsiku.

Di perjalanan menuju kampus saya sudah tak lagi memikirkan bagaimana teman-teman di sana sedang menyambut tamu dari UNESA. Saya sedang memikirkan selama ini bagaimana Ade Pipin bermesraan dengan motornya? Tak lelah kah? Ah, lelahku pasti belum seberapa. Konyolku saja yang terlalu besar.

Karena sebelum pergi dari IC tadi ada sms masuk, saya punya tugas untuk membeli sesuatu di kopma (koperasi mahasiswa), saya bergegas menuju Kopma.

Siap. Barang yang diminta sudah saya beli. Saya mau menuju parkiran kopma, dan berdo’a semoga tak terulang. Tapi apa daya do’a tak terkabul. Sepertinya tidak cukup solih untuk dikabulkan do’anya.
Belum juga hilang ngos-ngosan, dari IC, nafas masih hangat, ternyata hal itu terulang lagi >_<
Tak ingin berkeringat konyol seperti semula, saya langsung meminta tolong Pak satpam. Hehe, “Pak boleh minta tolong nge-slah motor pak?”

“Oh, ya mbak, yang mana motornya?”
Alhamdulillah pak satpamnya baik.

Mukaku, Allahurabbi, mukaku. Masihkah utuh seperti semula aku berangkat dari Asma?
Sesampainya pada acara penyambutan tamu di gedung dekanat, saya lemas. Sudah, saya tak ingin berkomentar apapun.


Cerita ini tidak berhenti sampai di sini.

Ada cerita lain dibalik usbu’ ilmy. Tentang Ade Pipin. Terimakasih Allah, terimakasih ustad, terimakasih ammah musrifah, karena telah menyediakan waktu satu pekan untuk usbu’ ilmy. Sangat terasa manfaatnya. Tak hanya soal ilmunya, tapi soal kedekatannya. Saya menjadi mengenal sosok Ade Pipin, si pemilik motor ajaib itu.

ADE PIPIN.

Setelah Ustad Solihun tidak bisa, bergantilah target kami. Target ustad selanjutnya adalah Ustad Talqis. Tapi ternyata Ustad Talqis juga tak bisa. Ini ustad yang ke-tiga. Ustad Agus Mas’udi.
Hari Sabtu, Ade Pipin bilang akan ke perpustakaan UIN, dengan sebelumnya menjemput saya di kampus pukul 11.00. Ternyata janji yang ke-dua ini tidak lagi hoax belaka.

Saat itu Ade Pipin menjemput saya dengan motor ajaibnya. Sekali slah gagal, dan dua kali slah berhasil.

Ekspresi saya waktu melihat fenomena itu adalah melongo. “Kog bisa?”
Ini motor nakal sekali rupanya, menurut sekali dengan si pemilik. Atau saya saja yang terlalu bodoh menyalakan motor? Ah sudahlah.

Saya membonceng Ade menuju perpustakaan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Begitu sampai di perpustakaan tersebut, kami berdua terkagum. “Ini De, ini wujud penghargaan Islam kepada buku. Perpustakaan mana yang lebih besar dari perpustakaan ini? Perpustakaan mana yang lebih bagus pengelolaannya dari perpustakaan ini? Perpustakaan ini benar-benar mengajarkan kita bagaimana menghargai ilmu-ilmu, dengan merawat buku-buku dengan sebaik kita bisa, dengan usaha maksimal kita.”

Di dalam kami berdiskusi banyak sekali, sesekali kami tertawa bersama, dan sesekali bertukar pendapat. Baru kali ini saya menemukan seorang akhwat sedatar Ade, sekaligus se-keren Ade. Banyak akhwat yang –nampaknya- ingin berpenampilan cantik dengan make up dan berbaju cerah, tapi Ade, inilah kerennya Ade. Ia bahkan cantik tanpa make up –serius- kerudungnya yang ia julurkan ke bawah tanpa ada aksesoris berlebihan membuat ia benar-benar terlihat natural. Tapi datarnya itu membuat saya heran –ah ini anak tak punya ekspresi kah?-

Tentang caranya mengendara motor, biar datar seperti itu, cara mengendarai motornya tak lebih baik dari Atika, si pembalap Asma Amanina V. Tapi saya sudah terlatih dengan sering membonceng Atika –nama sebenarnya- jadi biasa saja. Tapi tetap saja itu cara berkendara yang tak normal.


Ade, Ade. Baru sebentar saya mengenalnya, saya sudah dibuat nge fans. Meskipun datar, ia pandai menghargai orang. Mungkin ekspresinya datar, tapi matanya berbinar. Seolah saat berbicara, matanya pun ikut berbicara. Wkwkwkwkwk. Uhibbuki fillah Ade. Saya menemukan orang-orang baru akhir-akhir ini.

Sabtu, 06 Desember 2014

Dia Terus Saja Mencari-cari Alasan!

Pernah punya teman yang selalu mencari-cari alasan? Ya, saya punya :)

Begini ceritanya.

::::

Sore itu, saya punya janji dengan dua orang teman perempuan. Bertemu di sebuah masjid, tapi hape saya mati seharian, sehingga saya harus bersusah payah bertemu dengan keduanya, seperti bermain petak umpet di masa kecil, tapi sangat panik karena terbiasa bergantung pada alat-alat elektronik, akhirnya jam 16.30 kami bertiga berhasil berkumpul, dengan segala ke-riweuh-an yang kami dapati masing-masing sebelum menuju ke masjid.

Ini ke-riweuh-an saya. Saya, meminjam motor seorang adik yang akan melakukan gladi bersih IJF (Islamic Journalist Festival) di KPLT (gedung dekanat FT UNY). Saya berfikir adik saya tersebut tidak akan menggunakan motor untuk beberapa jam ke depan, mungkin motornya bisa saya pinjam. Benar. Adik yang baik hati ini memperbolehkan motornya untuk dipinjam. Saya berniat mengembalikannya sebelum waktu maghrib.

Setelah lama berbincang, pertemuan kami bertiga itu berakhir seiring adzan maghrib berkumandang. Niat saya untuk mengembalikan motor sebelum waktu maghrib gugur sudah. Saya solat di masjid tersebut, satu janji sudah saya ingkari, dan sialnya hape saya mati dan saya tak bisa memberi kabar kepada adik pemilik motor.

Lebih sial lagi, jika sesuai jadwal, ba'da maghrib saya seharusnya sudah berada di tempat Pelepasan Wisuda di KPLT sebagai among tamu dengan pakaian bersih, sopan, dan lengkap sesuai dresscode yang telah ditentukan. Tapi apa yang terjadi? Keadaannya sangat parah, saya masih menggunakan baju outbound! Rok jeans, kaus outbound, dan kerudung hitam.

Bagaimana ini? Saya tak mungkin pulang untuk mengambil baju, rumah saya jauh, saya lalai mempersiapkan, pelepasan wisuda sudah dimulai, satu tanggungjawab saya lalaikan.

Lalu alasan-alasan itu mulai bermunculan di sini.

Teman saya, satu di antara dua, yang mana tadi kami bertemu bersama di masjid, sebut saja Mawar, dia mulai mencari-cari alasan.

Dia biasa memanggil saya dengan sebutan mbak, "Ya udah mbak, aku ada rok item, mau pinjem punyaku aja gag papa," ia menawari dengan sangat sigap.

Kami belum lama dekat, dia sudah mencari-cari alasan untuk membantu saya, "Ohya, boleh?"

"Boleh lah mbak.."

"Kamu naik apa ke kos?"

"Jalan kaki mbak. Gag papa kog."

"Beneran gag papa?"

Ia terus beralasan untuk tak merepotkan saya. 

"Ya udah, aku nganterin Melati ke kos dulu naik motor, terus abis itu ke kosmu ya... ^^ Kosmu mana ya?"

"Karangmalang nomor X43X"

"Berarti dari perempatan kemana?"

"Ke barat terus, sebelum masjid."

"Oh, ya ok, ok, kamarmu yang mana?" saya terlalu banyak tanya, saya hanya ingin mengantisipasi kalau-kalau saya nyasar, tak ada alat komunikasi yang bisa saya gunakan, hape saya wafat sejak pagi.

"Kamarku keliatan begitu buka gerbang, ada di paling ujung. Gini aja mbak, aku jalan, terus aku nungguin kamu di depan gerbang," dia kembali menawarkan bantuan. 

"Di depan gerbang beneran? Gag usah. Kamu kan lagi sakit"

"Gag papa kog. Beneran, aku gag papa," Allahurabbi, serba tak enak, benar-benar tak enak menerima bantuan darinya, tapi aku butuh, aku harus bagaimana?

"Oh, ok, aku anterin Melati dulu ya."

"Ok mbak,"

Fakultas Teknik UNY adalah fakultas yang lumayan luas wilayahnya, dan berpagar keliling. Setelah saya mengantarkan Melati, saya berniat langsung menuju kos Mawar, tak ingin Mawar menunggu lama. Saya mengantar Melati lewat timur FT, separuh FT saya putari. Sudah sampai di barat FT hendak masuk ke perempatan Karangmalang, naas, saya lupa kalau saya pakai motor pinjaman, dan saya harus segera mengembalikan ke KPLT.

Ah, tidak, Mawar pasti menunggu lama.

Tapi akhirnya saya putuskan untuk mengembalikan motor terlebih dulu, dan itu artinya saya harus memutari FT satu kali lagi lewat timur. Saya sangat tergesa-gesa karena takut Mawar menunggu lama... Benar-benar tak sampai hati.

Sesampainya di Karangmalang dengan motor pinjaman yang belum berhasil di kembalikan padahal sudah menghabiskan banyak waktu, ada seorang perempuan mengenakan baju pink di depan gerbang dengan payung berwarna senada pula. Dia Mawar.

Allahuakbar, :') Dia menungguiku di depan gerbang, hampir 20 menitan aku berputar-putar FT tanpa hasil karena hapeku mati dan tak bisa menghubungi si pemilik motor, aku hanya berputar-putar, dan dia masih bertahan di depan gerbang, menungguiku. 

Aku tak tega melihatnya, dan aku langsung meminta maaf, dan dia mengatakan, "Gag papa mbak, gag papa..." Sambil menyibukkan diri dengan payungnya supaya tak ketahuan bahwa ia berbohong. Dan ia menunjukkan wajah yang tetap ceria, dan menandakan respek. Aku tahu betul ia sedang sakit, tapi ia terus dan terus mencari-cari alasan, supaya tak ketahuan. 

Sampai di dalam kamar, "Mbak mandi aja dulu, bajunya biar tak siapin. Kalo pake rok item yang ini mau gag?"

"Emmm kalo yang rok lurus gag pake span ada gag?" bodohnya aku menanyakan hal yang pasti akan menambahnya repot. Ah, terlanjur.

"Emm, coba ya aku cari. Mbak mandi aja dulu, biar tak siapin."

"Oh, ya, ya, ok.."

"Nanti aku anterin rok nya ke kamar mandi."

"Oh gag usah, nanti aku aja yang ambil ke sini," bagaimana mungkin aku tak refleks menolak tawaran bantuannya yang kesekian kali ini, dia benar-benar terus mencari-cari alasan untuk dapat membantuku. Orang baru yang kukenal yang sangat senang membantu, dan ia terus mencari-cari alasan, terus, dan terus. 

Pada akhirnya, pukul delapan malam saya baru bisa menyusul ke KPLT untuk menjadi among tamu dengan pakaian rapi, bersih, dan wangi, dari seorang teman yang belum lama saya kenal.

:::

Dia terus saja mencari-cari alasan!

Pernah punya teman semacam ia?
Begitu bersemangat membantu teman, dengan segala macam alasan yang bisa menyembunyikan kesusahannya saat berusaha membantu. Sampai tak enak hati berusaha mematahkan alasan-alasannya, meskipun saya tahu, ia hanya sedang berpura-pura bisa, berpura-pura bisa membantu, entah ia benar-benar bisa membantu atau tidak dipikir kemudian, yang penting ia berniat membantu.

Ia terus mencari-cari alasan bukan untuk menghindar dari kebaikan, melainkan ia balik, ia mencari-cari alasan untuk dapat melakukan kebaikan. 

Malam itu, malam dimana tak ada hape, tak ada barang elektronik yang bisa aku gunakan, dan Allah mengirimnya untuk memberikan bantuan. Bukan tidak mungkin jika ada hape aku bisa menghubungi banyak orang yang berada jauh dariku untuk memberikan pertolongan, tapi tak akan ada peng-andai-an.

Saya jadi membayangkan, jika saya tak punya teman berupa alat-alat elektronik, masih bisa kah saya mengandalkan kawan-kawan saya? Tapi nyatanya Allah selalu memberikan saya kawan, terimakasih Ya Allah.

_great moment.

Rabu, 26 November 2014

Karena Hujan Menyuburkan Tumbuhan...

Pernah mencintai sesuatu? Kemudian berbalik sangat membencinya?

Saya adalah orang yang sangat benci hujan, dimana sebelumnya saya orang yang paling mencinta. Saya membenci setelah sekian lama suka. Ada sebuah titik yang membuat rasa ini terbolak balik.

Prolog saya tentang hujan adalah analogi bertabir, yang bisa saya lepaskan tabir nya setelah datang waktunya. Jadi hujan hanyalah analogi, namun ini analogi yang sarat makna.

Jika Allah mengizinkan ingin sekali saya menuliskan analogi hujan ini ke dalam sebuah buku. Ya, nanti jika sudah waktunya.

::::

Ketika saya sangat suka dengan hujan, saya menikmati banyak hal dari hujan yang turun, bermesra dengan hujan, saya bisa menjadi diri saya sendiri ketika hujan datang. Tanpa ada kepura-puraan. Riang, senang, gembira saat hujan mengguyur. Tak peduli kena marah, tak peduli jatuh sakit, setelahnya, bermain-main dengan hujan sangat lah menyenangkan.

Lalu datanglah titik balik, dimana rasa suka saya terhadap hujan berbalik menjadi benci. Benci yang sangat. Saya tak ingin lagi menyentuh hujan, saya ingin menghindar dari hujan, dan saya menghujat hujan habis-habisan.

Titik balik itu adalah saat dimana saya sangat senang bersama dengan hujan, saya menganggap hujan adalah teman terbaik, dan ia yang akan setia bersama. Seolah saya dan hujan adalah sepasang sejoli yang tak dapat dipisahkan. Hingga saya meng-klaim, bahwa hujan adalah milik saya. Tak ada orang lain yang bisa merebut hujan dari saya. Namun  nyatanya, saat saya membuka mata lebar-lebar, ada banyak orang pula bermain-main dengan hujan, dan sama senangnya dengan saya. Seketika itu juga saya membenci langit. Mengapa ia menurunkan hujan dimana-mana. Saya kira ia hanya menurunkan hujan di halaman rumah saya. Saat itu kecewa yang sangat terhadap langit datang seketika.

Kemarahan dan kekecewaan saya kepada langit coba saya redam, bukan langit yang saya benci, Tak seharusnya saya membenci langit, siapa langit hingga saya merasa berhak membencinya.  Akhirnya saya berusaha untuk tak membenci langit, hanya membenci hujan yang diturunkannya.

Tapi segala sesuatu ada puncak ada lembahnya. Saya tahu bahwa tak boleh ada rasa benci pada apapun. Maka saya mencoba mencari alasan bagaimana caranya agar rasa benci hilang.

::::

Saya mencari alasan supaya saya tak membenci hujan, namun juga tak kembali menyukainya. Me netralkan rasa...

Karena hujan menyuburkan tumbuhan.
Karena hujan membuat banyak orang senang.
Karena hujan membawa banyak kemanfaatan.
Karena turunnya hujan memberitahu kita tentang sejauh mana kebijaksanaan langit...

::::

Ketika kita membenci sesuatu, dan kita tahu bahwa hal itu tak baik, maka kita harus berusaha menghilangkan rasa itu. :) Menghilangkan rasa benci itu menenangkan. Menjadi kan kita lebih dewasa. Karena dengan menepis benci kita mampu tersenyum, dan tersenyum hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang dewasa hatinya.

Lihat saja orang-orang yang tersenyum tenang itu, tidakkah terlihat kedewasaannya menghadapi pahit di depan wajahnya? Lihat saja dua sudut bibir yang melengkung dan garis mata yang merendah, ketulusan tak dapat dihadirkan oleh orang-orang yang masih suka bermain-main seperti anak kecil. Ia hanya dapat dihadirkan oleh orang-orang yang telah dewasa.

Menjadi dewasa bukan lah kebanggaan, tapi seperti banyak orang bilang, tua itu pasti, dewasa adalah pilihan. Umur yang semakin menua mengharuskan kita untuk dewasa, bukan lagi kekanak-kanakan dengan mudah membenci sesuatu.

Ayo kita cari alasan, kita cari alasan agar kita tak lagi membenci. Ayo kita cari alasan.

Karena jika kita tetap bertahan dengan kebencian kita, sama halnya dengan membuang-buang waktu kita. Sedangkan usaha kita untuk menghilangkan rasa benci adalah sebaik-baik waktu latihan kita untuk menjadi dewasa.

Untuk menghilangkan rasa benci akan sesuatu, cari sejumlah kebaikan, dan ikhlaskan.

Hingga kita sudah benar-benar kehilangan rasa benci terhadap apa yang seharusnya tak kita benci.

Qs. Al-Baqarah : 216
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu dan boleh jadi pula kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu, Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui”

Tersenyum :)

Sabtu, 25 Oktober 2014

Sekolah Politik Semalam :)

07.00
Berangkat dari Jogjakarta menuju Purbalingga.
Tapi salah niat :D Karena sedang dalam keadaan lelah yang sangat, aku meniatkan untuk tidur dan beristirahat di mobil. Dan benar! Niat terlaksana. Sepanjang perjalanan, dari Jogja Purbalingga, dan Purbalingga Kebumen aku tidur!

19.00
Berpamitan dari Kebumen, sekolah politik dimulai, Pemateri sekolah politik semalam di mobil petualangan ini adalah Alfian Ramadani dan Triyanto 'Mekel' Puspito Nugroho. Tak menyangka, sekolah politik di sepanjang perjalanan ini berlangsung singkat namun mengena, semenjak 19.30 sampai 23.30

Berawal dari peran eksekutif dan legislatif di kampus, komentar yang membuat saya malu adalah, "Kamu itu gag perlu repot Ihti, jangan buat yang gampang jadi susah... Gitu aja kog repot..." Kata para aktivis masyarakat itu.

Kemudian bullying demi bullying terlontar... Menyalahkan satu sama lain, berakhir dengan senyum bahagia. Kata mas Alfian, "Kalau ada yang bisa disalahkan, kenapa harus kamu yang salah," kalimat itu tenang tapi mematikan kami seisi mobil. :D

Pembahasan berlanjut, kadang serius sampai panas, dan kadang meledak tergelitik lelucon-lelucon yang dilontarkan mas Mekel.

Dari masalah politik sampai masalah pembangunan perkotaan, dari masalah kampus sampai adat istiadat masyarakat, dari kalimat-kalimat sederhana hingga kalimat-kalimat langit yang entah apa maknanya.

Satu yang ingin saya bahas karena menarik adalah mengenai kehidupan orang-orang perkotaan.

"Kota yang indah (bahagia) adalah kota yang orang-orangnya banyak di luar rumah, Ihti." Kata mas Mekel yang sedang sakit gigi.

"Kog bisa mas?"

"Ya,"

Mas Mekel menjelaskan panjang lebar,
"Lihat. Sekarang, apa yang membuat banyak sekali orang di titik nol KM ini? (kebetulan sudah sampai di Jogja). Tidak ada apa-apa di Nol KM, tapi banyak orang berkumpul di sana, dan merasakan bahagia."

"Bahagia darimana mas?"

"Oh, apa mau berhenti di sini, nyoba nongkrong di sini?"

Seisi mobil tertawa.

"Itu lihat, anak-anak nyebrang aja sambil ketawa-ketawa."

"Iya ya... Tapi kan mereka beraktivitas sendiri-sendiri mas, berkelompok-kelompok, gag saling membaur. Individualisme nya besar banget."

"Iya kita sedang membicarakan perkotaan Ihti, bukan pedesaan. Itu makanya, ada kebijakan di setiap 1 (satu) kelurahan harus ada minimal 1 (satu) ruang publik, supaya masyarakat perkotaan bisa berkumpul. Itu baru kota yang baik," penjelasan dari Mas Mekel.

Mas Alfian Menyambung, "Iya itu yang dilakukan Ridwan Kamil. Dengan membangun banyak ruang publik di Bandung."

Mas Mekel ndagel, "Iya, itu Ridwan Kamil udah tak bisiki sebelumnya haha..."

Mas Mekel melanjutkan, "Ruang Publik itu dibutuhkan masyarakat perkotaan supaya masyarakatnya bisa bertukar sapa satu sama lain, supaya mereka keluar dari rumah-rumah mereka. Itu mengapa kota yang indah adalah yang banyak orang-orangnya di luar rumah."

Sekolah politik semalam ini berakhir dengan pertanyaan, "Mas, kayaknya aku merasakan ada missing link di Indonesia soal peran ulama. Dulu, ulama berperan besar di masyarakat, bahkan tatanan negara. Nama ulama mengudara. Tapi sekarang bahkan tak ada bekasnya. Bener kah?"

"Ya itu, sejarah itu tergantung Penguasa. Penguasa itu berhak menuliskan sejarah. Sedangkan orang kecil tak berhak menentukan cara dia mati -smoker one peace- haha.
Dulu perjuangan bangsa Indonesia itu banyak diwarnai oleh para Ulama. Ulama yang menggerakkan masyarakat untuk menentang penjajah. Mereka yang berkoar-koar dan menyemangati bangsa ini untuk berjuang mempertahankan tanah air, karena para penjajah itu musyrik, dan tak bisa kita membiarkan orang-orang musyrik mengobrak-abrik negara ini."

"Masalahnya penulis sejarah adalah penguasa. Dulu kenapa tanggal 28 Oktober bisa dijadikan hari sumpah pemuda itu karena ada Muh.Yamin di sana. Muh.Yamin adalah menteri saat itu."

"Berarti Indonesia ini sekuler ya mas... membedakan antara urusan agama dengan urusan agama. Seperti yang terjadi di luar negeri."

"Haha, sebenernya bisa jadi kita juga sekuler lho Ihti, sekarang kamu menganggap kamu di BEM itu sedang beribadah atau gag?"

"Nah itu mas gkgkgk, kadang bertanya-tanya dengan itu."

"Itu, kadang saya juga berpikir, kita ini menuduh orang lain sekuler sedangkan kita sendiri menjadi pelaksana sekulerisasi... haha."

-Berakhir-

Minggu, 19 Oktober 2014

Kami Menamainya Lingkaran Cinta :)

Sembilan orang berkumpul duduk bersila (lingkaran haroki) merapatkan lutut, tersenyum lalu terseling tawa, seringkali serius, namun seringkali keseriusan itu hanya wacana dan wacanda, karena muka serius yang tertunduk itu sesungguhnya adalah alibi cerdas seseorang yang tertidur. #hayoSiapa?

Tapi tidak jarang kami benar-benar serius, membahas strategi perang Khandaq (perang parit) yang dipenuhi cinta Rasulullah dalam pukulan pertama di batu besar, dan dipenuhi optimisme di pukulan kedua dan ketiga.

Momen tertunduk dalam-dalam ketika sang Murabbiah mengatakan, "Ayo muraja'ah surat nananina,"

Momentum mendebarkan ketika kami melakukan kesalahan-kesalahan kecil yang seharusnya bisa dihindarai, "Kalian kan sudah dewasa...(!)"

Hal yang menumbuhkan cinta lainnya seperti momentum ketika satu persatu muncul dari tangga dengan wajah kelelahan, dan sesampainya di lingkaran yang belum sempurna, wajah ngos-ngosan itu terlihat sangat kasihan :D Dan itu dialami oleh kami keseluruhan. Ish ish kasihan.

Ada yang membuat saya terharu lagi terkesan tanpa sengaja. Lingkaran cinta sudah terbentuk sempurna, saatnya dimulai, Tilawah dan pembacaan tafsir sedang berlangsung, saya berbisik, "ssst, sini-sini dikumpulin hape nya." Di awal dulu kami bertemu kami bersepakat untuk tidak menduakan forum dengan hape. :D Tapi pengumpulan hape kali ini bukan untuk hal tersebut, melainkan saya menemukan hal unik yang ada di hape kami berdelapan (hape Murabbiah tidak termasuk). Ada kesamaan di delapan hape yang kami punya.

Hape-hape itu saya jajar di tengah lingkaran, sambil terus mendengarkan tafsir yang sedang dibacakan. Saya menyadari sebuah hal yang istimewa di lingkaran cinta ini. Saya tidak konsen lagi dengan tafsir yang sedang dibaca.

Tidak mungkin lingkaran cinta ini terbentuk tanpa sengaja. Dari hape yang ada di depan saya, saya bisa menilai isi kepala dari teman-teman saya (tidak saya tidak membuka-buka isi sms atau apapun di hape-hape tersebut) hanya melihat casing nya saja. Ada hal yang sama.

Karena fasilitas yang digunakan seseorang dapat menggambarkan pola pikir yang ia gunakan juga. Kenapa saya baru menyadarinya? Ada hal yang sama.
Ini yang membuat semakin cinta...

Terharu.




Kamis, 16 Oktober 2014

Islam adalah Mushaf dan Pedang, Islam adalah Masjid dan Medan Perang

Apa yang ingin saya bahas di sini bukan islam secara definitif normatif, namun lebih kepada pemaknaan dari islam dalam pengamalan keseharian,

Secara difinitif formatif dapat kita temukan pengertian Islam dari hadits 'Arbain no.2 tentang Islam, Iman, dan Ihsan, seperti dijelaskan dalam penjelasan berikut:

"Dari Umar radhiallahuanhu juga dia berkata : Ketika kami duduk-duduk disisi Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam suatu hari tiba-tiba datanglah seorang laki-laki yang mengenakan baju yang sangat putih dan berambut sangat hitam, tidak tampak padanya bekas-bekas perjalanan jauh dan tidak ada seorangpun diantara kami yang mengenalnya. Hingga kemudian dia duduk dihadapan Nabi lalu menempelkan kedua lututnya kepada kepada lututnya (Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam) seraya berkata: “ Ya Muhammad, beritahukan aku tentang Islam ?”, maka bersabdalah Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam : “ Islam adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada Ilah (Tuhan yang disembah) selain Allah, dan bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah, engkau mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan dan pergi haji jika mampu “, kemudian dia berkata: “ anda benar “. Kami semua heran, dia yang bertanya dia pula yang  membenarkan...." 
...Kemudian beliau (Rasulullah) bertanya: “ Tahukah engkau siapa yang bertanya ?”. aku berkata: “ Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui “. Beliau bersabda: “ Dia adalah Jibril yang datang kepada kalian (bermaksud) mengajarkan agama kalian “.

(Riwayat Muslim)
Kemudian apabila kita menjabarkan islam dalam kehidupan keseharian, ada banyak sekali penafsiran. Secara naluri, sekarang ini adalah keadaan dimana saya ingin sekali dekat dengan Nya, dan ini pula yang mungkin dirasakan oleh orang-orang yang ada di masjid sana.

Dan apa yang dilakukan oleh orang-orang yang ingin dekat? Terus mendekat hingga tak ingin ada jarak. Pada akhirnya banyak orang (termasuk saya) mengartikan dekat dengan Allah itu dengan melakukan ibadah-ibadah seperti solat sunnah berlama-lama, tilawah berjuz-juz, dan tak ingin diganggu dengan kegiatan duniawi apapun. Rasanya tentram jika bisa melakukan itu.

Siapa yang tidak tentram berlama-lama berkhalwat dengan Tuhannya...

Di lain sisi, amanah kampus tiba-tiba bertumpuk tak beraturan, ada banyak macamnya. Seperti kedekatan itu tak ingin terganggu oleh apapun, malas rasanya beranjak. Bahkan bukan tidak mungkin marah jika diganggu dengan sms-sms aktivasi ini dan aktivasi itu.

Ekstrimnya, sebagian orang menganggap bahwa peribadatan itu hanya di masjid. Di luar masjid itu urusan duniawi, seperti persepsi saya di awal tadi.

Sampai pada akhirnya saya mampir di sekretariat LPIM Al Mujahidin UNY, iseng saya cari-cari buku, dan tertarik dengan sebuah buku tebal berwarna hijau, berjudul FIQH DAKWAH, tulisan Jum'ah Amin Abdul Aziz, dan saya tersentak dengan beberapa kata yang saya baca di halaman awal buku.

Kurang lebih kata-kata tersebut menjelaskan seperti ini,
Islam itu menyeluruh, seluruh bidang dapat diselesaikan dengan solusi islam. (Saya berpikir keras untuk poin ini, masih merasa jenuh dengan amanah-amanah di kampus yang terasa begitu berat, saya berpikir bagaimana islam mengatasi masalah amanah-amanah saya ini? Bagaimana solusinya?)

Beralih ke paragraf selanjutnya, yang kurang lebih tertulis seperti ini,
Islam adalah aqidah dan ibadah, ISLAM ADALAH MUSHAF DAN PEDANG, ISLAM ADALAH MASJID DAN MEDAN PERANG...

Saya langsung menutup bukunya dan merenunginya dalam-dalam, dan terdapat penyesalan yang sangat dalam di hati saya. Ampuni saya Ya Allah, yang mengartikan islam hanya parsial saja, tak meng-iman-inya dengan sungguh-sungguh bahwa islam itu syamil (menyeluruh).

Awalnya saya sangat tertekan dengan semua aktivitas saya, jika saya mengatakannya dengan kasar, untuk apa saya aktif di organisasi mengurus ini dan itu? Tidak ada gunanya, yang ada gunanya adalah aktivitas di masjid.

Dan setelah membaca tulisan di buku tersebut, saya seperti ditampar kuat-kuat, bahwa islam itu tidak sekedar mengaji dan solat, islam adalah mushaf dan pedang, islam adalah masjid dan medan perang, artinya ada keseimbangan di sana. Kegiatan-kegiatan di luar masjid juga termasuk perjuangan, tak bisa dihilangkan dan dikesampingkan begitu saja.

Sebisa mungkin, seperti kata Umi, "Dzikir itu dimana saja kapan saja, kalau ibadah yang lain boleh ada uzur (halangan) maka tidak untuk dzikir,"

Kesimpulan yang saya dapat hari ini adalah bahwa kita berislam tak bisa setengah-setengah, jika memang ada aktivitas yang harus dilakukan di luar, kita sendiri yang harus memastikan bahwa aktivitas tersebut juga bernilai ibadah, dengan cara terus mengingat Allah atau sering kita sebut sebagai dzikrullah.

Semoga bisa menjadi manfaat bagi kita semua.

Senin, 06 Oktober 2014

Bagaimana Kabarmu, Akhwat?

Bagaimana Kabarmu, Calon Ibu?

Sebenar-benar tulisan ini adalah tertulis untuk saya pribadi. Namun ada keinginan untuk membagi ilmu ini supaya tak terputus hanya di jari-jari saya yang terbatas kemampuannya, maka semoga tulisan ini dapat kita gunakan sebagai barang bagian, atau harta rampasan yang layak dibagikan. 

Akhwatus solihah (perempuan muslim yang baik),

Pertama kali saya mohon maaf apabila dalam saya menuliskan tema tulisan kali ini ada banyak khilaf. Berharap, semoga tulisan ini bisa menjadi pemberat timbangan amal saya di hari perhitungan kelak. Aamiin.

Akhwat (perempuan) adalah berlian, dan tak ada berlian yang tak istimewa. Maka setiap akhwat (baca: perempuan) adalah istimewa.

Apa buktinya bahwa akhwat adalah istimewa? Buktinya bahwa islam sangat memperhatikan akhwat. Akhwat sangat dihargai oleh Islam, dilindungi dengan jaminan tinggi. Hal macam apa yang tidak istimewa apabila dijamin sebegitu besar oleh sebuah sistem yang sempurna (Islam)? Ya, akhwat itu istimewa.

Lingkungan yang disempurnakan itu dapat melindungi wanita dengan cara yang sempurna, dan cara yang sempurna itu apabila dianalogikan ke dalam pembuatan berlian maka dapat menghasilkan berlian yang paling indah. Bisa dibayangkan sebuah berlian yang diproduksi oleh pabrik terbaik? Berlian itu bernilai sangat mahal karena kualitasnya yang tinggi. Seperti itulah akhwat dalam balutan sistem islam yang sempurna. Mungkin biasa kita bayangkan seperti bidadari.

Di dalam syurga itu ada bidadari-bidadari yang baik-baik lagi cantik-cantik.
Q.S. Ar Rahman (55): 70

Di dalam syurga itu ada bidadari-bidadari yang sopan menundukkan pandangannya, tidak pernah disentuh oleh manusia sebelum mereka , dan tidak pula oleh jin.”
Q.S. Ar Rahman (55): 56


“Dan ada bidadari-bidadari bermata jeli,”
Q.S. Al Waqi’ah (56): 22


Betapa cantik bidadari-bidadari itu.

Itu bidadari. Lalu apa kata Nabi ketika ditanya oleh sahabat, mana yang lebih baik antara bidadari-bidadari itu dan wanita muslimah yang ada di dunia? Jawab Nabi Muhammad, wanita muslimah di dunia ini jauh lebih baik dari bidadari-bidadari itu.

Pertanyaan besarnya adalah: mengapa? Dan  bagaimana bisa?

Ya, karena wanita muslimah di dunia ini punya satu kelebihan, yaitu mampu bertaqwa.

:::
Selanjutnya tentang akhwat, saya tipe orang yang setuju dengan akhwat yang aktif. Jika banyak orang mengatakan bahwa keaktifan akhwat itu terbatas karena ‘kerempongan’ nya, saya yang akan berada di barisan depan untuk menolak pendapat itu. Saya bisa melakukannya selama ini, aktif dalam banyak hal, dan mandiri dalam melakukannya.

Tapi dibalik semua itu, kita sebagai akhwat memiliki tugas besar yang tak kalah istimewa. Tugas itu adalah: Menjaga diri sendiri.

Akhwat, bagaimana kabar badan? Bagaimana kabar pikiran? Bagaimana kabar hafalan? Bagaimana kabar ilmu? Bagaimana kabar kamar?

“Al-ummu madrosatul uula Ibu adalah sekolah pertama bagi anaknya.”

Inilah istimewanya akhwat. Ia punya proyeksi besar di masa depan, sebagai seorang ibu bagi anak-anaknya. Hal ini sekaligus menjawab mengapa seorang akhwat harus menjaga diri. Karena diri seorang akhwat adalah investasi besar peradaban di masa mendatang.

Bayangkan ketika ada orang tua yang ingin menyekolahkan anaknya, mereka pasti akan memilih sekolah yang terbaik, terlebih pada jenjang sekolah yang pertama, SD. Orang tua itu akan memilihkan SD terbaik bagi anaknya.
Sama dengan kita, kita sendiri kelak ingin sekali anak-anak kita ketika baru lahir langsung ‘bersekolah’ di sekolah terbaik. Sedangkan ketika anak kita baru lahir, sekolah pertama yang ditemuinya adalah ibunya, ya kita sendiri. Tidakkah kita ingin menjadi sekolah terbaik baginya? Tentu ingin.

Menempa diri sejak sekarang untuk mendapat akreditasi “A” sebagai sekolah terbaik untuk anak-anak kita seharusnya bukan lagi tinggal wacana. Terus bergerak tuntaskan perubahan menjadi layak. Urus administrasi sebagai syarat-syarat ter akreditasi “A”, bacaan alqur’annya, hafalan alqur’annya, amalan-amalan sunnahnya, perilakunya, kebiasaannya, pola pikirnya, dan semua administrasi yang diperlukan agar Allah meng ACC kelak anak-anak kita adalah seorang ‘alim (berilmu) seperti para ulama, tidak lain karena didikan kita.

Perjalanan saya berhari-hari ke luar kota Jogjakarta, mencoba mencari jawaban dari sekian banyak pertanyaan yang berkecamuk dalam pikiran akhirnya memberikan saya setumpuk pencerahan. 

Depok mengisahkan anak-anak manusia yang dididik dengan didikan berbeda-beda. Depok berkisah kepada saya tentang, "Bagaimana seorang anak ketika dewasa? adalah tergantung seperti apa ibu nya."

Tergantung seperti apa ibunya mendidik ia di waktu kecil. Dan dengan penuh keyakinan saya mengambil kesimpulan, bahwa sekarang bukanlah waktu yang terlalu cepat untuk kita memikirkan bagaimana anak kita kelak? Dan ini bukan hal yang tabu sama sekali, melainkan ini menjadi bahasan yang sangat penting.

Jika pendidikan seorang anak tergantung kepada seperti apa ibu nya, maka seperti apa ibunya tergantung pada seperti apa masa muda ibu nya. Karena sebuah kebiasaan (habit) terlahir oleh perilaku yang diulang-ulang. Semakin lama mengulang-ulang perilaku itu maka akan semakin kuat kebiasaan itu tertanam dalam diri kita.

Depok berkisah kepada saya betapa tugas seorang ibu sangat berat. Saya tidak bohong. 

Pernah bermain Pou?

Ya, Pou yang tak bisa apa-apa kita rawat, beri makan, mandikan, kita obati kala sakit, lalu setelah kita melakukan semua itu, kita mampu melihat perkembangan dari Pou, apakah ia bertambah besar, bertambah bersih, dan lain sebagainya.

Bisa membayangkan kita memiliki anak yang kita rawat dari umur 0 hari sampai kelak menjadi besar? Apa yang menjadi kebiasaan ibu nya lah yang akan menentukan kepribadian anaknya.

Ibu nya mengajarkan anak untuk berkata "Bunda" maka sampai besar ia akan memanggilnya Bunda, Ibunya marah di hadapan orang lain, anak akan melihat bagaimana ibu nya marah, maka ketika dia marah, ia akan meniru apa yang dilakukan ibunya (jadi jangan mudah marah). Ibu nya memperdengarkan bacaan alqur'an di waktu senggangnya, anaknya akan terbiasa dengan surat-surat dalam alqur'an, dan bukan terbiasa dengan lagu-lagu pop kebanyakan.

Sekarang adalah waktu yang tepat untuk memikirkan dan merancang sekolah terbaik itu bukan? Dimulai dari kebiasaan. Terpenting adalah memperbaiki intensitas kita dengan Al-Qur'an, karena kelak jika kita mengajarkan Al Qur'an kepada anak-anak kita, maka yang menjaga anak-anak kita bukanlah kita saja, melainkan Allah yang akan menjaganya, karena Allah menjaga orang yang dekat dengan Al Qur'an.

*mungkin akan ada tulisan bagaimana kabarmu Ikhwan (laki-laki)?

Jumat, 12 September 2014

Pucuk-pucuk Rindu Pada Daun

Di pohon-pohon ketegaran itu, ada daun-daun berpucuk rindu. Pucuk-pucuk daun itu bergelantungan, indah ingin segera lepas, ingin segera bertemu dengan yang ia rindu.

Pohon-pohon ketegaran berbatang besar berakar kuat itu bahkan tak bisa menahan pucuk-pucuk rindu yang ingin segera pergi. Lagi-lagi pergi menemui yang ia rindu.

Pucuk-pucuk rindu pada daun, kau bisa merasakan getarnya?

Ini bukan kemarau, tapi hujan jarang turun. Pucuk-pucuk itu berguguran...

Merindu sangat dalam, akhirnya pucuk-pucuk itu bertaburan di tanah membusuk terpendam bersama rindu. Beberapa pucuk berhasil bertahan, dan bertemu dengan yang ia rindu, hujan.

Tapi aku? Pucuk yang ingin bertahan hingga hujan reda, karena yang kurindu bukan hujan,

tapi, langit pasca hujan. Aku ingin menyapanya, menyapa langit pasca hujan.

dan singkat, "Hai langit" 

Minggu, 07 September 2014

Hijab, Tak Menghalangi Aktivitas Saya

Tulisan ini muncul bukan sebagai ekspresi membanggakan diri mengenakan jilbab,
justru sebaliknya, tulisan ini muncul karena (mungkin) masih ada sebagian orang yang meragukan, apakah iya dengan berjilbab, seorang wanita akan dapat beraktivitas seperti biasanya...?

Saya berjilbab,
dan saya beraktivitas seperti khalayak wanita beraktivitas, berkarya, dan mengukir prestasi. Bukankah wanita biasanya juga melakukan itu?

Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu'min: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya  ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Karenanya,
sepantasnyalah, seorang wanita muslim menunjukkan bukti kebesaran Allah yang telah menjaganya sebagai makhluk yang terhormat dengan jilbabnya.

(nyatanya) Penghuni neraka paling banyak adalah dari kaum wanita, tak khayal, ia tak mau menjaga kehormatan dirinya dengan jilbab, padahal sudah jelas adanya perintah mengenakan jilbab, Allah Maha Pengampun atas orang-orang yang memperbaiki diri (beraubat).

Jilbab adalah kehormatan bagi seorang wanita, Allah menciptakan wanita selayaknya berprestasi di atas dunia, tapi tak meninggalkan nilai akhirat yang begitu penting: menutup aurat.

Saya berjilbab sejak kelas 5 SD, dikala yang lain masih sangat asing dengan jilbab. Guru-guru perempuan kala itu belum banyak yang mengenakan jilbab. Seingat saya hanya satu orang di sekolah saya.

Tak pantas bagi saya menyandingkan frasa: "Saya berjilbab" dengan kata "tapi..." seperti kalimat berikut, "Saya berjilbab, tapi nyatanya saya tetap bisa mengukir prestasi. Kata tapi terdengar tak sopan bagi saya, menyandingkan perintah Allah dengan kata tapi. Ia lebih pantas disandingkan dengan kata hubung "dan..."

Saya berjilbab, dan saya berprestasi.

Jilbab sama sekali tak menghalangi saya untuk berprestasi. Kedua orang tua saya sudah mendidik keras anaknya, hidup dengan gaya hidup islam (bukan arabisasi!), gaya hidup yang diajarkan Rasulullah, maka selayaknya saya menunjukkan bahwa apa yang diajarkan Rasulullah adalah sebaik-baik ajaran dan ajaran itu sangat memungkinkan semua orang untuk berprestasi.

Saya berjilbab, dan saya berkarya.

Jilbab sama sekali tak menghalangi saya untuk berkarya dalam tulisan dan desain. Jika banyak orang membuat tulisan yang negatif, tentang keluarga saya, tentang islam, lalu siapa yang akan membela mereka? Untuk itu saya menulis. Jika ada banyak yang membuat desain bebas tak bermoral, lalu siapa yang akan melawan keburukan itu? Untuk itu saya belajar berkarya dalam desain.

Saya berjilbab, dan saya beraktivitas.

Jilbab sama sekali tak menghalangi saya untuk beraktivitas. Saya memimpin forum rapat seperti yang lain juga bisa lakukan, saya bekerjasama dengan banyak orang untuk menjalin relasi seperti yang orang lain juga lakukan,  saya mengutarakan pendapat seperti yang orang lain juga bisa lakukan. Tapi saya (berusaha) melakukan semua itu sesuai dengan etika yang diajarkan oleh Nabi Muhammad melalui 'Aisyah dan Khadijah, dengan tetap menjaga aurat.

Khadijah adalah seorang wanita kaya, dan Aisyah adalah seorang wanita cerdas. Bukan tidak mungkin wanita muslim untuk bisa meniru keduanya, dengan tetap mengamalkan apa yang diajarkan tauladan kita.


Minggu, 31 Agustus 2014

Jika Kau Bertanya Apa Itu Murobbi, Biar Kujawab (dengan Sederhana)


Ia adalah orang yang mau meluangkan waktunya untuk janjian bertemu meski harus bersusah payah. Meski pada akhirnya hanya satu atau dua orang yang datang, dari tujuh orang yang dinantikannya.

Ia adalah orang yang mau memberi kami rechease nabati di kala jam-jam pertemuan. (Meskipun hanya sebuah rechease, yang ia maksudkan adalah di setiap pertemuan ia bisa membawakan sesuatu meski hanya barang kecil, dan ia melakukannya rutin di tiap pertemuan dengan pemberian-pemberian kecil lain. Ia ingin semua mutarobbi nya mendapatkan hadiah kecil darinya, hingga tak ada satu yang terlewat)

Ia adalah orang yang mengatakan, “’Afwaan ya motor mbak gag bisa ngebut, belum diservis” (Ia adalah orang yang tak ingin memberatkan orang tuanya dengan kegiatan-kegiatan di kampusnya, ia pergunakan fasilitas dengan bijaknya, motornya sudah bertahan sangat lama bersamanya, menemani perjalanan-perjalanan jauh pertemuan-pertemuan kita, prambanan, gunung kidul, kulonprogo, alkid). Menikmati perjalanan pelan bersamanya di antara hiruk pikuk kota bukan hal yang buruk, bahkan ia begitu romantis).

Ia adalah orang yang siap mendengarkan ceritaku, keluh, di kala aku butuh didengar, meski ia hanya mengangguk-angguk kemudian tersenyum, dan akhirnya aku malu, tak seharusnya aku mengeluh seperti itu di depannya, “Kegiatanku padet banget mbak, bla bla bla... targetanku jadi sulit tercapai,” lagi-lagi ia hanya mengangguk dan mengunyah makanannya yang ada di mulut, tersenyum memperhatikanku kemudian mengalihkan pandangannya ke padang panas alkid. (Aku terdiam, tak seharusnya aku meneruskan keluh itu, karena ia pasti mengalami hal yang tak lebih mudah dariku, hari-harinya pasti dipenuhi kepadatan, dipenuhi kesibukan). Akhirnya ia mengeluarkan kalimat pamungkasnya, “Dulu waktu mbak KKN PPL kondisinya juga sama seperti Ihti (tersenyum), masih memegang amanah kadept di b*m).” Malu rasanya.

Tapi ia tak marah aku bercerita demikian, ia tetap mau mendengarkan. Ia lah Murobbi.

Ia adalah orang yang dengan tegas mengatakan, “Kog belum dimulai? Jam berapa ini? Kalian itu sudah besar, mbak sudah izin telat, mbak berikan susunan acaranya, seharusnya kalian bisa memulai halaqah mandiri, tidak harus menunggu.”

Atau ‘memarahi’ kami,
“Anti itu sudah dewasa, sudah bisa mendahulukan mana yang seharusnya prioritas, mau halaqah atau mau ke tempat lain, ditentukan sesuai prioritas, kan sudah diajari mengenai adab izin.”

Ia adalah orang yang mempunyai banyak solusi dari berbagai permasalahan yang kuhadapi, “Carilah tempat yang tinggi, lihatlah tempat-tempat di bawah, dan tenangkan diri, kalau anti sedang sedih, minta sama Allah.” Semenjak itu, tempat-tempat tinggi menjadi tempat favorit ketika sedang tak enak kondisi hati.
Ia adalah orang yang mengatakan, “Anti akan jadi orang besar, karena pelaut ulung tak akan terlahir dari laut yang tenang.” Tak peduli apakah ia mengatakan  hal yang sama kepada orang lain juga, tapi apa yang ia katakan bisa menenangkan.

Ia adalah orang yang mengajarkan, “Ikhlas itu ketika semua perbuatan dilakukan karena Allah.” (Kami memaknai itu dengan sangat dalam, mengingat-ingat kembali apa yang kami lakukan selama ini, ketika masih ada makhluk di hati, ketika Allah bukan satu-satu nya di hati.)

Ia pun seperti dukun cinta, ia tahu kami telah dewasa, dengan tegas ia mengatakan, “Kita sebagai wanita harus menjaga izzah kita.”

Aku menyadari sepenuhnya Murobbi bukan orang yang sempurna, hanya saja ia telah berhasil membuat hati-hati ini jatuh cinta padanya. Dengan teladannya yang sederhana, tak banyak kata. Ia adalah orang tua kedua setelah orang tua di rumah. Ia adalah sahabat yang tak menuntut balas, bahkan sering hanya memberi tanpa menerima. Ia lah guru.


Ia seperti Nabi Muhammad yang tak sungkan satu rumah bersama menantu sekaligus mutarobbi nya, Ali. Seorang Murobbi akan baik di mulut dan baik di perbuatan, hingga ia tak perlu takut ketika harus tinggal satu rumah dengan Mutarobbinya hanya karena khawatir diketahui kekurangannya, karena ia adalah orang yang jujur apa adanya. Ia lah guru.

Selasa, 12 Agustus 2014

Mbak, kog Pake Kerudung Terus? (Aku Harus Jawab Apa?)

Sore ini,

Kebetulan, di tempat saya melaksanakan KKN (Kuliah Kerja Nyata) di desa Murangan VII, Triharjo, Sleman, ada banyak sekali anak-anak kecil. Mereka biasa bermain di depan posko kami. Ya. posko sederhana berukuran 8x5 meter yang kami jadikan rumah tinggal kami bertujuh itu ramai dikunjungi anak-anak saat siang atau sore hari.

Tiba-tiba ada yang masuk ke kamar. Mungkin mereka penasaran dengan kamar kami para mahasiswa cewek. Salah satu dari beberapa anak perempuan itu bertanya pada saya, "Mbak, kog mbak pake kerudung terus e?"

Saya sama sekali tak punya persiapan mau menjawab apa. Jujur saya kaget dan syok mendapat pertanyaan itu. Ya, wajar ia bertanya seperti itu, karena kebiasaan di kampung mereka ini, remaja dan anak-anak perempuan memakai kerudung ketika berangkat TPA atau pengajian di masjid atau mushola. Nyatanya, setelah kegiatan-kegiatan itu berlangsung, mereka melepas jilbab dan beraktivitas seperti biasa. Keluar rumah tanpa mengenakan jilbab, dengan rambut terurai, dan tak jarang mengenakan baju atau celana pendek.

Bagi anak-anak itu, saya yang setiap keluar rumah, dan bahkan di dalam rumah (red: posko) selalu mengenakan kerudung adalah orang yang aneh. Hingga ada salah satu dari mereka menanyakan hal itu. Mereka menganggap itu bukan hal yang wajar, sampai pertanyaan itu bisa secara lincah keluar dari mulut mereka.

Saya bingung, tak tahu harus menjawab pertanyaan itu dengan kalimat seperti apa. Jangankan kalimat, satu kata pun saya tak punya.

Tiba-tiba ada anak perempuan di samping saya yang menyeletuk, menjawab pertanyaan dari temannya tadi, "Kan Muslimah..."

Ah frasa sederhana itu...

sederhana namun mengena. Akhirnya saya perjelas, "Iya, kan muslimah..." kemudian saya tersenyum. Antara kaget dan lega dengan jawaban yang sudah terwakilkan.

Tidak sampai di sana,
hari ini, di Mushola Al Hudha, tempat TPA berlangsung ada seorang anak perempuan kelas 5 SD mendekati saya dan tiba-tiba bertanya, sambil memegang ujung kerudung saya. "Mbak kog pake kerudungnya panjang banget e..." ia memainkan ujung kerudung saya.

(haduh) Pertanyaan pertama saja saya bingung menjawabnya, ini dapat pertanyaan serupa tapi tak sama. Sepertinya anak itu sangat penasaran dengan jawabannya. Bagi anak kecil, pertanyaan "MENGAPA/KENAPA" itu adalah pertanyaan super yang harus mendapat jawaban dari orang tua/dewasa. Kalau tidak, mereka akan terus bertanya.

Saya tak enak ada banyak anak di sana, dan ada pula teman-teman KKN serta pengasuh TPA di sana, yang tidak mengenakan kerudung seperti apa yang saya kenakan. Tak sampai hati menjelaskan di depan mereka.

Akhirnya saya mnita ia untuk sedikit minggir dari barisan dan kemudian menjelaskannya, dengan bahasa yang mudah mereka mengerti.

"Jadi, sekarang kamu berdiri, bagus. Kamu tau apa saja yang jadi aurat perempuan?"

Ia menjawab dengan tepat, (dari atas hingga ke bawah kecuali telapak tangan dan wajah).

"Iya, dhek, itu kenapa mbak pake kerudung panjang, biar menutup dari atas sampai ke bawah, termasuk lekuk tubuh, karena lekuk tubuh juga aurat," aku menjawab dengan kata-kata yang kupilih dengan (sangat) hati-hati).

Tapi pertanyaan yang saya khawatirkan akhirnya terdengar juga, si adek bertanya dengan polos, "Kog mbak Nana sama mbak Nini (sebut saja begitu) gag pake kayak mbak Ihti?"

Allahuakbar, bagaimana saya harus menjawab?

Akhirnya hasil berpikir cepat dan ngawur saya begini, "Kamu pernah disuruh nyapu teras gag sama Ibuk?"

"Iya mbak..."

"Misal Ibuk nyuruh kamu sama adhek nyapu teras, kamu nyapu sampai ke kolong-kolong meja, tapi bisa jadi adikmu menyapu lantai gag sampai ke kolong-kolongnya, padahal sama-sama disuruh nyapu lantai..." Jawabku pusing.

Maksudkku menjelaskan dengan analogi di atas adalah bahwa penangkapan tiap-tiap kita terhadap sebuah perintah itu berbeda-beda. Bahkan untuk menerima perintah menyapu teras saja pengerjaannya jadi berbeda antara satu orang dengan orang lainnya.

"Maksudnya gimana mbak?"

"Maksud yang apa dhek...?"

"Maksud yang nyapu-nyapu itu tadi..."

alamak... akhirnya saya jelaskan perlahan... dan entah, jawaban saya bisa diterima atau tidak :D

Perlahan, belajar berkomunikasi dengan anak kecil...

Selasa, 22 Juli 2014

Mas Jody, (ustad) pengusaha Waroeng Steak and Shake

Bismillahirrahmanirrahim...

Sore kemarin, seorang teman saya mengajak saya ke Masjid Nurul Asri untuk mengikuti kajian menjelang buka puasa.

Setelah tahu temanya, yaitu tentang pengusaha sukses berjiwa qur'ani, saya bilang ke teman saya, "Di masjid ********* tema kajiannya apa sekarang? Aku gag nyambung sama tema ini." Teman saya langsung menodongkan pertanyaan, "Mau pindah tempat?"

Pertanyaan itu membuat saya tidak enak, dan saya juga pernah mendengar dari guru ngaji saya waktu kecil, "Kalau mau cari ilmu, tempati tempat dudukmu dari awal majelis sampai akhir majelis, biar malaikat tidak salah alamat ngasih pahalanya." Pesan itu masih saja saya bawa sampai sekarang, walau saya tau itu bukan alasan logis sama sekali. Mungkin maksud dari guru saya itu adalah memberikan semangat kepada murid-muridnya untuk tetap bersabar dalam 'mengunyah' ilmu, salah satunya dengan mempertahankan posisi duduk.

:::

Ada seorang ustad muda berada di depan, sepertinya dia pembicaranya. Moderator memperkenalkan sang ustad, tapi sang ustad bilang, "Jangan panggil ustad ya, panggil saja mas Jodhi, biar kelihatan awet muda."

Rupa-rupanya, yang di depanku sekarang adalah pemilik Waroung Group yang terkenal di Jogja itu. *Semakin tertarik untuk bertahan di tempat. Waroung Group sudah banyak dikenal di Jogja, banyak sekali macamnya, Waroeng Penyet, Waroeng Kopi, dan yang paling pertama adalah Waroeng Steak and Shake.

Waroeng selalu ramai dikunjungi, setiap saya lewat Waroeng Steak di jalan Colombo, selalu saja ramai. Jarang sepi pengunjung. Dan sekarang saya sedang mendengarkan penuturan langsung pemiliknya, yang kita tahu bersama, beliau bekerjasama dengan ustad Yusuf Mansur dalam membangun usaha. Beliau juga merintis konsep Spiritual Company dalam pembangunan usahanya.

Beliau memaparkan banyak sekali pengalaman usahanya, dan pengalaman spiritual yang dijalaninya selama menjalani usaha. Ternyata, Bebek Goreng Haji Slamet pun beliau ikut mengelola sampai ke cabang-cabangnya. Bayangan yang ada di pikiran saya adalah, "Hebat banget ini orang, pengusaha, sukses, pasti uangnya banyak, tapi dari penuturannya beliau tak pernah melupakan Allah dalam setiap usahanya, beliau selalu menyertakan Allah dalam do'a-do'anya, meskipun dunia ada di tangannya, tapi akhirat sepertinya sudah melekat kuat di hatinya.

Berikut beberapa penuturan beliau...

Beliau menjalani usaha pertama dengan perempuan yang sama dengan istrinya yang sekarang. (Ya, you know what i mean -pacarnya-). Beliau bilang, "Usaha saya yang pertama tidak berhasil -susu segar dan roti bakar- mungkin itu karena saya masih pacaran, haha *beliau pun tertawa*." Lalu beliau melanjutkan, "Makanya gag usah pacaran, nikah saja," ealah Pak Jodhi ini malah ngeledek kita-kita... 

Beliau juga bilang, "Kenapa saya memilih menjadi pengusaha? Karena pengusaha itu bisa pensiun di usia 45 tahun." Iya, usia beliau baru 40an, dan beliau mengatakan sudah 'pensiun' dari mengurusi Waroung Group, maksudnya, beliau sudah berhasil membangun sistem di Waroung Group, sekarang usahanya itu bisa ditinggal, dikelola oleh orang lain, beliau tinggal terima hasilnya. Enaknya...

Satu cerita menarik yang saya tangkap dari cerita kesuksesan beliau mengelola Waroung Group adalah kedekatan beliau dengan ibunya.

Beliau memegang teguh dan erat bahwa dalam kondisi seperti apapun, harus ingat ibu, ibu, ibu. Beliau menyebutkannya 3 kali seperti Nabi Muhammad menyebutkannya dalam hadits. Kata beliau, beliau merasakan betul, ketika dulu baru pertama kali mengelola Waroung Steak and Shake, beliau merayu Ibu nya untuk dapat berpindah ke Jogja, yang pada awalnya tidak diperbolehkan. Lalu, beliau menjanjikan akan pulang ke Solo setiap 2 kali dalam sepekan.

Awal usaha, usahanya laris, dan beliau bisa pulang 2 kali dalam sepekan, lama kelamaan 1 kali sepekan, lama kelamaan lagi, 1 kali per dua pekan, lalu satu kali dalam satu bulan, berkurang dan terus berkurang. Saat itu beliau merasakan bersama istri, Waroeng nya dalam kerumitan yang semakin menjadi setelah beberapa lama, lalu beliau teringat Ibu nya. Akhirnya beliau memutuskan untuk mengontrak 1 rumah lagi untuk ditempati sang Ibu di Jogja, beliau mengajak Ibuknya ke Jogja. Alhamdulillah, usahanya kembali lancar.

Bukan, bukan berarti Ibu nya yang membawa kelancaran dalam usahanya, beliau menjelaskan bahwa kita sebagai makhluk ciptaan Allah yang dilahirkan oleh Ibu kita, hendaknya kita terus menghormati dan memuliakan Ibu kita. Jika Allah memerintahkan seperti itu, turuti saja. InsyaAllah, Allah akan membukakan jalan kesulitan. Allah lah yang membukakan jalan rezeki kepada hamba Nya, jika hambanya memenuhi perintah Nya.

Cerita yang saya ceritakan di sini tidak terasa apa-apa, bukan apa-apa, tidak ada apa-apanya dibandingkan cerita live yang disampaikan beliau.

Mungkin di lain kesempatan, kita bisa menjadi pengambil hikmah dari beliau lagi, dan dari orang-orang lain yang diberikan nikmat keimanan oleh Allah.

Pesan beliau, "Minta sama Allah. Karena hanya Allah yang bisa dimintai pertolongan." Beliau juga bilang, saya sehabis maghrib selalu baca Yasin, bukan, tidak ada pengkhususan untuk surat Yasin, itu karena surat yang saya hafal dan bisa baca dengan lancar baru surat itu, beliau mengatakannya sambil tertawa kecil. Setelah hafal dan lancar membaca beliau rutin membaca Al Qur'an tiap habis Maghrib, dan sekarang beliau mengelola langsung Rumah Tahfidz yang ada di Deresan, belakang Nurul Asri. Subhanallah, semoga berkah Pak.

Siap Pak.

:::

Alhamdulillah, Allah menetapkan hati ini untuk tetap duduk di majelis itu. Meskipun tema nya tentang Pengusaha, tapi pelajaran yang dapat diambil dapat diaplikasikan ke semua lini kehidupan.

Semoga senantiasa bermanfaat untuk kita semua.

_Diana AR_

Minggu, 20 Juli 2014

Resiko Berada di Fakultas Teknik

  • Menjadi makhluk langka
Tak jarang, dalam beberapa forum, entah resmi atau santai, laki-laki menjadi sangat mendominasi dalam hal jumlah di sini. Sedangkan perempuan pasti dapat dihitung dengan jari (kecuali PTBB). Dari tiga atau empat orang, seringkali aku adalah satu-satunya perempuan. Innalillahi.

  • Makan hati
Gimana gag makan hati, bahkan aku baru tersadar sekarang, bahwa selama ini aku menggunakan metode yang salah. Mereka, para makhluk bernama lelaki, tak bisa memaksimalkan hati, mereka gag peka, gag punya basa-basi. Ckckckckck... pantas saja selama ini aku merasa tertekan, marah, hingga kupendam sendiri, ternyata gag membuahkan hasil, capek sendiri, mereka gag ada peka-pekanya, dan aku tersadar dengan ketidak pekaan mereka baru-baru ini, dengan perkataan temanku yang mengingatkanku bahwa laki-laki cenderung menggunakan logika, mana bisa menerka-nerka perasaan hati. Sakiiiiiiiiiit. Makan hati bener. Jadi kalo ngomong sama mereka, percuma mau memasang muka paling memelas sedunia pun gag akan berhasil membangkitkan kepekaan mereka, heran! Dipikir bisa bahagia kali terus-terus pake logika, tapi ya itulah fitrahnya manusia. Harus banyak bersabar menghadapi orang seperti mereka.
Tapi untungnya, ketika kita marah jadi gag lama-lama, soalnya mau marah kayak apa juga mereka gag peka, percuma mau marah di hadapan makhluk yang cuek tralala, kuncinya cuma sabar. Beda kalo sesama perempuan, marah, bisa sampe lama, soalnya sama-sama dirasa, panjang deh urusannya.
  • Capek
Karena kebanyakan adalah laki-laki, menjadi seorang perempuan di lingkungan ini harus tegas dalam bicara, ngomong harus ditata, gag boleh bermanja-manja. Kebiasaan itu terkadang membuat kita jadi lelah, menyeimbangkan nada mereka, gaya bicara mereka, hmmm, mana bisa sembarangan saja.

Tapi apapun itu, hikmahnya pasti luar biasa :)

_Diana Azhar Al Rasyid_

Ini Makalah atau Khutbah Jum'at?

Terinspirasi dari sebuah status facebook...

"Ilmu yang terbaik, paling utama dan pertama, yang paling kompatibel untuk seluruh orang di muka bumi, ilmu agama Islam. Karena Islam itu Rahmatan lil 'alamiin.Buku (kitab) yang paling kompatibel untuk seluruh umat di muka bumi, cuma Al-Qur'an.
Al-Qur'an itu manual book nya manuusia. Apapun masalahnya, cari solusinya di manual book. Cuma Al-Qur'an, yang berisi seluruh aspek-aspek kehidupan manusia. Terjaga kemurniannya dari dulu sampai kiamat, karena Allah sendiri yang meng-garansi kemurniannya, Allah yang akan menjaganya."Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya (Al-Hijr : 9)"

 _N Hidayat Ary-Sw_

Terimakasih mas Ari. Saya jadi tertarik untuk membahas sesuatu tentang ilmu dan Al Qur'an.

Saya dapat cerita ini di sebuah acara di Gedung Youth Centre Yogyakarta.

Saat itu sedang berjalan sebuah kelas di Pasca Sarjana sebuah universitas. Para mahasiswa S2 itu mendapat tugas oleh Sang Dosen untuk membuat sebuah makalah. Hari itu adalah hari presentasi makalah.

Tidak, saya tidak akan bercerita tentang apa yang akan dipresentasikan para mahasiswa S2 itu. Tapi ada sebuah fenomena unik yang terus terang mencambuk saya, dan mungkin bisa jadi, mencambuk teman-teman juga. 

Seluruh mahasiswa melakukan presentasi di depan mahasiswa lain, dan di depan Sang Dosen muda. Tiba giliran seorang mahasiswa, yang usianya lebih tua dari Sang Dosen. Dosen itu mengambil makalahnya yang ada di atas meja, ia angkat, dan bicara di depan kelas, "Ini bukan makalah ilmiah(!) Ini Khutbah Jum'at(!)".

Sang dosen berkata begitu karena rupa-rupanya, mahasiswa pemilik makalah itu mencantumkan beberapa ayat Al Qur'an dan Hadits ke dalam makalah yang dibuatnya. 

Lalu apa yang aneh? Tidak ada? Iya kah? Awalnya saya berfikir demikian. Tak aneh jika Pak Dosen mengatakan itu adalah khutbah Jum'at. Mana ada orang yang selama ini membuat sebuah makalah lalu mencantumkan ayat Al Qur'an sebagai sumber dan Hadits sebagai sumber penguat. Teman-teman pernah buat makalah ilmiah semacam itu? Siapa yang berani membuat makalah semacam itu. Bahkan saya tak pernah berfikiran untuk melakukannya sebelum ini.

Keanehan yang saya dapati adalah ketika pemateri mengatakan dan akhirnya menyadarkan saya, "Orang sekarang itu, menganggap bahwa Al Qur'an tidak ilmiah, sampai-sampai makalah yang mencantumkan ayat-ayat al Qur'an sebagai sumber nya adalah Khutbah Jum'at(!)"

Dalam suasana serius di ruangan itu, saya tersentak. "Iya benar. Selama ini, di antara saya dan teman-teman kelas saya, ketika membuat makalah, tak pernah mencantumkan ayat-ayat Al Qur'an dan Hadits ke dalamnya. Karena kami membedakan antaraa ajaran agama dan ajaran ilmu umum, seperti keduanya tak perlu direlevansikan."

Kami tahu benar teori bahwa ajaran Allah adalah semurni-murni ajaran, dan ajaran itu adalah ajaran yang menjadi sumber segala ajaran (sumber segala ilmu). Lalu dimana letaknya ilmu itu? ya, di Al Qur'an. Tapi dengan cara menafikkan ayat-ayat Al Qur'an dalam pembuatan makalah kuliah kami, kami seperti mengatakan dengan lidah sendiri bahwa Al Qur'an tidak ilmiah. Kami tahu teori, tapi rupanya kami belum bisa menerapkan teori itu selama ini.

Di sinilah saya disadarkan, bukankah Al Qur'an lah sebenar-benar sumber ilmiah yang ada. Ini adalah satu-satu nya buku yang terjaga selama beribu-ribu tahun lamanya, dan tak ada secuil pun yang berubah dari isi di dalamnya.

Konsistensi isi yang ada di dalam Al Qur'an menunjukkan segala hal ilmiah yang ada sekarang ini sebelumnya sudah tercatat di dalam Al Qur'an, hanya kita saja yang belum memahaminya. Hingga ketika suatu saat kita memahami isi dalam Al Qur'an, tak heran jika banyak para penemu yang pada akhirnya masuk islam dan mengakui kebenaran serta keilmiahan Al Qur'an.

"Al Qur'an berisi kalimat-kalimat Allah, tidak ada manusia atau makhluk lain yang dapat menirukan kalimat-kalimat itu meski hanya satu ayat. Kalimat itu langsung dari Allah. Lalu buku mana yang ke-ilmiahannya melebihi keilmiahan Al Qur'an? Sedangkan buku-buku lain berisi perkataan manusia."

kalimat dari pemateri di ruangan itu benar-benar membungkam mulut saya seketika. Membuat otak saya berpikir keras, dan membenarkan, "Benar."

:::

Pesan yang ingin saya sampaikan adalah: terkadang kita berfikir bahwa ilmu-ilmu eksak dan sains yang ada sampai sekarang ini adalah ilmu yang terpisah dari ilmu yang Allah berikan melalui agama - Nya.

Sampai tiba saatnya kelak, ketika kita semakin menguasai ilmu-ilmu itu, kita akan tahu betul bahwa ilmu itu datangnya dari Allah SWT, seperti halnya para ilmuwan dan para penemu. Mereka membuktikan keberadaan Allah dengan berfikir. Seperti dalam surat Fathir (35): 28
"Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama (orang yang berilmu)"

Semoga kita dikaruniai Ilmu yang cerah dan mencerahkan, dan dihindarkan dari kesombongan atas keberpemilikan ilmu.

Sabtu, 19 Juli 2014

Mela dan Nirna

Mela,
Kami telah melakukan perjalanan jauh menuju tempat KKN PPL bersama-sama, ia dengan tulus memberikan tumpangan untukku setiap akan menuju tempat KKN PPL. Kami pun telah bermalam bersama di tempat KKN PPL, di rumah baru kami, dengan udara yang sangat dingin, kami saling mengetahui kebiasaan kami sebelum dan setelah tidur. Kami pun tak merasa segan mengatakan sedang tak ada udang, dan kami saling menghutang ketika satu di antara kami tak ada uang.

Mela adalah orang yang sangat tulus. Ia cerewet mungkin, tapi apa yang ia katakan, apa yang ia lakukan, ia dasari dengan ketulusan. Ia sangat gampang merasa tidak enak pada orang lain. Ia mudah merasa berhutang pada orang lain. Itu mengapa aku bilang ia orang yang sangat tulus.

Nirna,
Sama dengan mela, kami sudah sering bepergian jauh bersama. Ia sering mengajakku menemaninya ke suatu tempat. Entah, ia sangat suka mengajakku kemana-mana. Padahal aku kira teman sepertiku tak akan ada orang yang suka, karena aku pendiam. Tapi ia seperti tak bermasalah sama sekali dengan sifat pendiamku, hingga suatu saat ia memintaku untuk membuat desain layout buku nya. Tak aku kira, ia percaya padaku.

Itu artinya kami telah melakukan 3 syarat menjalin kedekatan dalam persaudaraan sesama muslim. 

Tinggal 2 hal yang akan menentukan keberlanjutan kebersamaan kami sekarang ini, hati dan do'a. :)

Jika hati kami tak saling menyatu, tak saling ridho satu sama lain, dan jika tak diiringi do'a kepada Allah, bukan tidak mungkin kebersamaan kami selama ini dan yang selanjutnya tak akan berarti apapun, dan akan hambar begitu saja. 

Kami pernah berbincang membicarakan masalah kekuatan do'a, dan kami sangat percaya bahwa kekuatan do'a tak dapat disepelekan. 

Aku senang bersama keduanya, Mela dan Nirna. Mereka dapat menerimaku apa adanya. Benar-benar apa adanya, dengan sifatku yang pendiam, mereka tak pernah menuntut macam-macam.

Aku memang tak suka bercerita, tak suka banyak bicara. Banyak orang yang menuntut ini itu dengan sifatku yang pendiam. Banyak orang bilang aku tak peka, karena aku diam. Tapi mereka tidak, mereka yang baru saja mengenalku, sangat baik padaku, yang awalnya kupikir mereka akan sama dengan yang lainnya, merasa tak nyaman dengan sifatku yang pendiam, mereka sebaliknya, begitu tulus menerimaku sebagai teman baru.

Bahkan aku sangat nyaman bersama mereka. Kupikir begitu, karena biasanya, aku hanya akan bisa bertilawah di depan orang yang aku sudah nyaman dengannya. Dan itu kulakukan di depan mereka. Mereka menerimaku apa adanya. Tak banyak tuntutan.

Ya Allah, semoga persahabatan dan persaudaraan ini bisa mendatangkan manfaat yang tak terputus, begitupun dengan ikatan ini, semoga akan terus berlanjut sampai ke surga. 

Aku akan bantu kalian semaksimal aku bisa. Berjuang untuk KKN PPL ini... :)

hope it can be remembered until we are not young anymore.

_Diana AR_

Minggu, 13 Juli 2014

Wanita


...............======...............
Ia sungguh luar biasa,
Ia memandang lelaki itu kuat,
Karena ia menyadari dirinya lemah,
Tapi fitrah tak dapat dibantah.
Ya aku merasakannya dalam pasrah

Ia menahan sakit, tak ingin dianggap lemah
Padahal tubuhnya sebagai wanita memberontak, “cukup sudah!”
Namun ia terus berusaha tegar, tak ingin dianggap lemah
Ingin setara dengan lelaki, berbuat banyak dalam melangkah
Tapi tetap saja berbeda, tak bisa sama.

Terbatas dalam tingkah,
Menjaga diri tak banyak ulah,
Itulah penciptaan sempurna yang membuatnya indah.
Remeh, mungkin ia dipandang dengan mata sebelah
Ketika ia tak bisa membuat lelaki kalah.

Tapi kualami kini, tubuh ini kusadari
Seluruhnya, jasmani dan ruhani
Wanita... itulah diri ini.

Lelah, sakit, lara, sedih, semua begitu berat kurasa.
kumelihat para bunda
tak ada raut memelas dalam usahanya
padahal kumerasakannya sendiri, semua begitu berat.
Dengan semua keterbatasan yang kurasakan, lalu
Kumenyimpulkan
wanita itu kuat
Kumenjadi saksi,
BETAPA mereka hebat,
mereka luar biasa!

untukmu para bunda (dan calon)
_Diana Azhar AlRasyid_

 
Design by Wordpress Templates | Bloggerized by Free Blogger Templates | Web Hosting Comparisons