–tepatnya menginspirasi untuk tidak melakukan hal yang sama-.
“Silakan kelompok 1 mengunjungi Ustad Solihun untuk menggali tema tersebut,” kata ammah musrifah (pemandu).
Singkat cerita kami memutuskan untuk menghubungi beliau, Ustad Solihun, seorang ustad yang dinanti-nanti untuk memberikan ceramah di Asma, namun beliau sangat sibuk. Benar saja, ketika kami sms tak ada respon dari beliau, seperti nya ustad bingung mau jawab apa, jadi smsnya tidak dijawab. Selang satu hari pasca sms yang tak berbalas itu, kami –dengan antusias seusai kelas- membuat janji untuk berkunjung langsung ke rumah beliau menanyakan tentang keluangan waktu beliau. Keputusan terakhir pasca kelas pagi berlangsung adalah dua orang dari kami langsung datang ke rumah Ustad menanyakan jadwal luang ustad untuk dikunjungi.
Kami sepakat. Dan yang bisa berangkat pagi itu hanya saya dan Ade Pipin. “Ok Ade, nanti jam 8 ya,” kami semangat membuat janji. Masing-masing dari kami bergegas keluar kelas untuk melanjutkan aktivitas, yang salah satunya adalah sarapan pagi. Seperti biasa, sarapan pagi adalah waktu yang dinanti-nanti seluruh santri. Aktivitas setelahnya bebas. Saya bersiap-siap di kamar dengan menyiapkan ini dan itu untuk keperluan seharian di kampus. Seperti biasa dengan tas ransel saya yang besar, saya menata keseluruhan keperluan di dalam tas itu, supaya saya tak perlu bolak balik kampus-pondok pondok-kampus, karena jaraknya terlalu jauh. Entah apa yang dilakukan Ade Pipin.
Pukul 08.00
“Assalamu’alaikum, Aaaadeeee...” saya ke depan kamarnya bermaksud mengajak Ade pergi ke rumah Ustad sesuai janji.
Lama tak ada jawaban, saya buka kamarnya, dan: kosong.
“Dimana Ade?” gumam saya. Saya mencoba mencari di kelas.
Dan benar, ada Ade di sana. Tertidur di kursi tempat ustad/ustadhah mengajar, dengan wajah panda nya ia bangun –setelah saya bangunkan-. Sepertinya hampir tak mungkin Ade terbangun tanpa dibangunkan.
“Ayo De, jadi ke tempat ustad Solihun kan?”
“Emmm, aku ngantuk mbak, kalau mbak aja gimana?”
“Sendirian De?”
“Iya, berani kan mbak?”
Singkat cerita, saya mengiyakan. Ade biasanya begadang setiap malam mengerjakan tugas kuliah, wajar, tugas mahasiswa D3 itu sangat banyak, biar dia istirahat saja. Tiba-tiba seperti ada bundaran putih di atas kepala saya.
Tanpa memelas pun wajah pandanya sudah membuat saya luluh. Tapi rumah Ustad Solihun itu tidak lain dan tidak bukan adalah pondok ikhwan. Apa yakin saya ke sana sendirian? Mengunjungi rumah yang isinya laki-laki semua? Bundaran putih di atas kepala saya pecah, dan berganti dua tanduk merah, tapi belum sampai tanduk itu muncul ke permukaan, saya segera membulatkan tekad. Karena ini kepentingan kelompok, tak apa lah, lagi pula pasti ada istri ustad di rumah ustad. Seperti ada sepasang sayap putih tumbuh di punggung saya. Saya meyakinkan diri untuk berangkat sendiri. Ini adalah kunjungan terekstrim yang pernah saya lakukan.
Tapi sempat terbersit untuk membatalkan, karena jam 8 itu juga saya sudah mempunyai janji, untuk menyambut tamu dari BEM FT UNESA (Universitas Negeri Surabaya) di FT UNY. Pesan singkat-pesan singkat untuk segera hadir di tempat penyambutan berdatangan satu persatu. Tapi, kalau tidak saat itu juga ke tempat Ustad Solihun kapan lagi, pikir saya. Akhirnya, bulatlah tekad saya.
Hupt!
“Ini mbak kunci motornya, tapi sabar ya sama motorku,” begitu pesan Ade Pipin kepada saya, curiga saya, ada apa dengan motornya? Tapi saya tak ambil pusing, saya harus bergegas, sudah di tunggu teman-teman BEM, harus bersegera.
Saya keluarkan motor dari parkiran Asma Amanina. Saya pencet starter: tidak bisa. Oh, berarti harus dislah. Slah pertama: gagal. Baru genjotan pertama, sepatu cantik seharga 35.000 milik saya langsung melengkung bagian bawahnya (red: solnya), tak dapat kembali seperti semula. Mau bagaimana lagi, sepatu 35.000.
Slah kedua: masih gagal. Slah ketiga: gagal juga. Entah berapa kali slah, akhirnya saya berhasil menyalakan motor. Ah, Ade Pipin terlalu berlebihan waktu mengatakan harus sabar. Hanya beberapa kali slah sudah bisa nyala kog, tidak sampai menguji kesabara. Hanya menguji kualitas sepatu saja.
Saya menuju IC (Islamic Center) Seturan, Yogyakarta. Sebuah pondok mahasiswa khusus laki-laki.
Sekali lagi, semoga cerita ini tidak merontokkan daun-daun pohon mangga di depan Asma ketika saya lewat, atau menjadikan kucing besar tetangga Asma mengeong, memprotes kehadiran saya di Asma. Semoga.
Sampailah saya di depan IC Seturan, saya langsung parkir di depan rumah Ustad, yang langsung berdampingan dengan pondoknya. Saya berpikir keras, bagaimana hukumnya seorang akhwat pergi sendirian menuju ‘sarang’ ikhwan. Alhamdulillah kostum saya bukan kostum yang menarik perhatian, dengan warna warni baju yang lucu-lucu seperti yang dipakai akhwat di kampus. Kostum saya saat itu lebih mirip kostum satpam, atau kostum pegawai kereta api, rok hitam dengan baju atasan berupa PDL (Pakaian Dinas Lapangan) BEM FT yang berwana dominan hitam dan orange, kemudian kerudung orange. Bismillah, saya ketuk pintu, dua kali ketuk pintu tak terdengar jawaban dari dalam. Ternyata ada suara motor dari belakang saya. Ternyata itu Ustad Solihun. Ah, beruntungnya saya. Santri solihah memang disayang Allah.
Intisari dari kunjungan saya ke rumah Ustad mendapat titik terang, bahwa Ustad tidak bisa dikunjungi pekan ini, kecewa, tapi mau dikata apa. Saya pamit pulang, mengambil motor Ade Pipin yang saya parkir di depan. Teman-teman tahu IC Seturan? Di sana ada tempat parkir, yang gerbangnya agak sempit. Saya mencoba menghadapkan motor ke gerbang tersebut, kemudian dengan nyaman melakukan aksi penge-slah-an motor, berharap setelah itu bisa langsung keluar gerbang sempit itu lalu berlenggang ke kampus.
Berkali-kali saya lakukan penge-slah-an itu, dan hasilnya: nihil! Ada santri IC keluar dari pondok, saya bergegas menuntun motor keluar dari gerbang, memosisikan motor di pinggir gerbang, supaya tak begitu terlihat oleh santri-santri di pondok, karena kebetulan gerbangnya agak tertutup pohon.
Saya mencoba lagi, menggenjot pedal slah, berkali-kali pula. Sampai akhirnya telinga saya menangkap ada suara motor akan keluar dari gerbang, sepertinya santri IC. Saya berharap mas santri nya tidak melihat keberadaan saya, dan tidak melihat aksi yang baru saja saya lakukan. Hosh-hosh, nafas saya sudah tersengal-sengal. Saat sedang tersengal-sengal itu, tiba-tiba ada suara dari samping dengan nada tanya, “Bisa mbak?” ah rupanya si mas santri.
Kaget sebenarnya, refleks saya ambil hape di saku, berusaha mengatur nafas, dan berusaha untuk tetap cool, “Ah hehe, bisa kog mas, bisa, bisa,” saya menghadap layar hape berusaha mengacuhkan masnya. Berusaha memberikan kode bahwasannya saya tak membutuhkan bantuan, saya duduk di atas motor Ade Pipin yang belum berhasil saya nyalakan gasnya, dengan tangan kiri bersedekap, dan tangan kanan memegang hape. Saya berlagak seperti sedang sibuk dengan hape.
Melihat saya yang sepertinya terlihat baik-baik saja, si mas santri itu tadi pergi dengan motornya. Punggung mas santri sudah tidak terlihat. Saya menurunkan hape, dan melepas napas yang tertahan, hosh-hosh-hosh. Gengsi lah kalau sampai ada santri ikhwan menolong saya, kasihan mas santri nya juga, nanti sampai ke dalam pondok di cie cie lagi sama teman-temannya, -suudzon saya-.
Belum selesai usaha saya, saya coba genjot lagi! Hosh! Sepertinya mantra dari Ade Pipin harus digunakan, saya mengingat-ingat lagi kata per kata dari Ade Pipin, “Harus sabar ya mbak sama motorku.” Jadi ini yang kau maksud De? Baiklah. Aku bersabar De. Aku benar-benar bersabar. Tidak kah kau tau aku terus berusaha, dan itu adalah tanda kesabaran bukan? Aku terus berusaha De, aku selalu ingat pesan darimu. Percayalah.
Hiks. Tapi kenapa tak menyala juga gasnya? Sepatu 35.000 ini juga sepertinya sudah sangat melengkung, kasihan dia. Akhirnya saya menuntun motor itu lagi, mendekatkan diri pada bangunan yang sedang dibangun, barangkali bapak-bapak tukang bangunan yang melihatku dari atas bangunan mau membantuku. Aku usaha lagi. Hosh. Apa yang terjadi? Aha! Berkali-kali, sekali lagi saya tekankan berkali-kali saya mencoba, dan?
Belum juga berhasil saudara-saudara!
Dan parahnya, aksi saya sepertinya tidak menarik bagi bapak-bapak tukang bangunan. Saya dikacangin. Rupanya harga kacang mulai mahal, mungkin seiring kenaikan BBM sampai berefek pada kacang. Astaghfirullah.... Mungkin salah, saya seharusnya mendekatkan diri pada Allah semata, ini malah mendekatkan diri pada bangunan yang sedang dibangun.
Baiklah, saya menuntunnya lagi, berharap setelah menuntun beberapa lama bisa terpancing gas motornya. Saya coba lagi!
Eh, sebentar, ada mas-mas baju biru kuning dari kejauhan. Itu mas santri yang tadi.
Saya rasanya ingin mengambil meja Asma Amanina, terus bersembunyi di bawahnya, berharap mas santri nya tidak melihat saya. Meja, mana meja?!
Tolong Ihti, tolong stay cool, jangan panik. Baik, saya sudah tenang, begitu masnya mendekat, teman-teman bisa membayangkan seperti apa wajah saya?
Saya seperti sudah tidak punya wajah lagi >_< Malu.
Saya turun dari motor,
Terus terpaksa saya mengatakan: “Hehe, mas nya, minta bantuannya ya mas.”
Mas nya berceletuk, “Nah kan.”
Saya biasa menulis, bisa menyulap angin menjadi bait-bait romantis. Saya seorang kaderisator, biasa merawat bibit menjadi tunas. Saya anak pertama, biasa menjadi anak paling dewasa. Tapi momen itu, merontokkan semuanya. Malu, sangat malu pada mas nya. Konyol. Menggelikan.
Belum selesai, ternyata mas nya juga mengalami kesusahan untuk menyalakan motornya. Tapi pada akhirnya bisa. Motor kembali diserahkan kepada saya. “Ini mbak.”
“Ya, terimakasih banyak ya mas. Terimakasih. Terimakasih”
Baru saja saya naik di atas motor, gasnya mati lagi.
“Ah, saya coba dulu mas, saya coba, barangkali bisa.” Hosh-hosh-hosh. Berkali-kali, wajah saya saya hadapkan membelakangi mas santri itu, dan saya berdo’a, Ya Allah, pertahankan wajah saya agar tetap berada di tempatnya tidak bergeser 1 cm pun, semoga wajah saya terlihat wajar, dan biasa saja.
Tapi nyatanya, itu kejadian luar biasa.
Saya lemas, dan turun lagi dari motor ajaib itu. Menyerah, saya mengatakan, “He, minta tolong lagi ya mas.”
Hening.
Beberapa lama kemudian.
“Ini mbak, nanti kalau susah dinyalakan lagi, chock nya diturunin aja.”
Saya menjawab dengan sigap, ingin menyegerakan urusan. “Ohya mas.”
“Makasih ya mas.”
Saya beranjak pergi dengan motor Ade Pipin tercinta.
De, nasihatmu tetap aku pakai sampai detik akhir penghabisan De, tapi mau bagaimana lagi, aku sudah berkeringat pagi-pagi De, benar-benar kehabisan nafas saat itu. Aku tak ingin meneruskan kekonyolanku, keras kepalaku, jadi di ujung kesabaranku, aku meminta tolong masnya De, merontokkan seluruh gengsiku.
Siap. Barang yang diminta sudah saya beli. Saya mau menuju parkiran kopma, dan berdo’a semoga tak terulang. Tapi apa daya do’a tak terkabul. Sepertinya tidak cukup solih untuk dikabulkan do’anya.
Belum juga hilang ngos-ngosan, dari IC, nafas masih hangat, ternyata hal itu terulang lagi >_<
Tak ingin berkeringat konyol seperti semula, saya langsung meminta tolong Pak satpam. Hehe, “Pak boleh minta tolong nge-slah motor pak?”
“Oh, ya mbak, yang mana motornya?”
Alhamdulillah pak satpamnya baik.
Mukaku, Allahurabbi, mukaku. Masihkah utuh seperti semula aku berangkat dari Asma?