Minggu, 31 Agustus 2014

Jika Kau Bertanya Apa Itu Murobbi, Biar Kujawab (dengan Sederhana)


Ia adalah orang yang mau meluangkan waktunya untuk janjian bertemu meski harus bersusah payah. Meski pada akhirnya hanya satu atau dua orang yang datang, dari tujuh orang yang dinantikannya.

Ia adalah orang yang mau memberi kami rechease nabati di kala jam-jam pertemuan. (Meskipun hanya sebuah rechease, yang ia maksudkan adalah di setiap pertemuan ia bisa membawakan sesuatu meski hanya barang kecil, dan ia melakukannya rutin di tiap pertemuan dengan pemberian-pemberian kecil lain. Ia ingin semua mutarobbi nya mendapatkan hadiah kecil darinya, hingga tak ada satu yang terlewat)

Ia adalah orang yang mengatakan, “’Afwaan ya motor mbak gag bisa ngebut, belum diservis” (Ia adalah orang yang tak ingin memberatkan orang tuanya dengan kegiatan-kegiatan di kampusnya, ia pergunakan fasilitas dengan bijaknya, motornya sudah bertahan sangat lama bersamanya, menemani perjalanan-perjalanan jauh pertemuan-pertemuan kita, prambanan, gunung kidul, kulonprogo, alkid). Menikmati perjalanan pelan bersamanya di antara hiruk pikuk kota bukan hal yang buruk, bahkan ia begitu romantis).

Ia adalah orang yang siap mendengarkan ceritaku, keluh, di kala aku butuh didengar, meski ia hanya mengangguk-angguk kemudian tersenyum, dan akhirnya aku malu, tak seharusnya aku mengeluh seperti itu di depannya, “Kegiatanku padet banget mbak, bla bla bla... targetanku jadi sulit tercapai,” lagi-lagi ia hanya mengangguk dan mengunyah makanannya yang ada di mulut, tersenyum memperhatikanku kemudian mengalihkan pandangannya ke padang panas alkid. (Aku terdiam, tak seharusnya aku meneruskan keluh itu, karena ia pasti mengalami hal yang tak lebih mudah dariku, hari-harinya pasti dipenuhi kepadatan, dipenuhi kesibukan). Akhirnya ia mengeluarkan kalimat pamungkasnya, “Dulu waktu mbak KKN PPL kondisinya juga sama seperti Ihti (tersenyum), masih memegang amanah kadept di b*m).” Malu rasanya.

Tapi ia tak marah aku bercerita demikian, ia tetap mau mendengarkan. Ia lah Murobbi.

Ia adalah orang yang dengan tegas mengatakan, “Kog belum dimulai? Jam berapa ini? Kalian itu sudah besar, mbak sudah izin telat, mbak berikan susunan acaranya, seharusnya kalian bisa memulai halaqah mandiri, tidak harus menunggu.”

Atau ‘memarahi’ kami,
“Anti itu sudah dewasa, sudah bisa mendahulukan mana yang seharusnya prioritas, mau halaqah atau mau ke tempat lain, ditentukan sesuai prioritas, kan sudah diajari mengenai adab izin.”

Ia adalah orang yang mempunyai banyak solusi dari berbagai permasalahan yang kuhadapi, “Carilah tempat yang tinggi, lihatlah tempat-tempat di bawah, dan tenangkan diri, kalau anti sedang sedih, minta sama Allah.” Semenjak itu, tempat-tempat tinggi menjadi tempat favorit ketika sedang tak enak kondisi hati.
Ia adalah orang yang mengatakan, “Anti akan jadi orang besar, karena pelaut ulung tak akan terlahir dari laut yang tenang.” Tak peduli apakah ia mengatakan  hal yang sama kepada orang lain juga, tapi apa yang ia katakan bisa menenangkan.

Ia adalah orang yang mengajarkan, “Ikhlas itu ketika semua perbuatan dilakukan karena Allah.” (Kami memaknai itu dengan sangat dalam, mengingat-ingat kembali apa yang kami lakukan selama ini, ketika masih ada makhluk di hati, ketika Allah bukan satu-satu nya di hati.)

Ia pun seperti dukun cinta, ia tahu kami telah dewasa, dengan tegas ia mengatakan, “Kita sebagai wanita harus menjaga izzah kita.”

Aku menyadari sepenuhnya Murobbi bukan orang yang sempurna, hanya saja ia telah berhasil membuat hati-hati ini jatuh cinta padanya. Dengan teladannya yang sederhana, tak banyak kata. Ia adalah orang tua kedua setelah orang tua di rumah. Ia adalah sahabat yang tak menuntut balas, bahkan sering hanya memberi tanpa menerima. Ia lah guru.


Ia seperti Nabi Muhammad yang tak sungkan satu rumah bersama menantu sekaligus mutarobbi nya, Ali. Seorang Murobbi akan baik di mulut dan baik di perbuatan, hingga ia tak perlu takut ketika harus tinggal satu rumah dengan Mutarobbinya hanya karena khawatir diketahui kekurangannya, karena ia adalah orang yang jujur apa adanya. Ia lah guru.

Selasa, 12 Agustus 2014

Mbak, kog Pake Kerudung Terus? (Aku Harus Jawab Apa?)

Sore ini,

Kebetulan, di tempat saya melaksanakan KKN (Kuliah Kerja Nyata) di desa Murangan VII, Triharjo, Sleman, ada banyak sekali anak-anak kecil. Mereka biasa bermain di depan posko kami. Ya. posko sederhana berukuran 8x5 meter yang kami jadikan rumah tinggal kami bertujuh itu ramai dikunjungi anak-anak saat siang atau sore hari.

Tiba-tiba ada yang masuk ke kamar. Mungkin mereka penasaran dengan kamar kami para mahasiswa cewek. Salah satu dari beberapa anak perempuan itu bertanya pada saya, "Mbak, kog mbak pake kerudung terus e?"

Saya sama sekali tak punya persiapan mau menjawab apa. Jujur saya kaget dan syok mendapat pertanyaan itu. Ya, wajar ia bertanya seperti itu, karena kebiasaan di kampung mereka ini, remaja dan anak-anak perempuan memakai kerudung ketika berangkat TPA atau pengajian di masjid atau mushola. Nyatanya, setelah kegiatan-kegiatan itu berlangsung, mereka melepas jilbab dan beraktivitas seperti biasa. Keluar rumah tanpa mengenakan jilbab, dengan rambut terurai, dan tak jarang mengenakan baju atau celana pendek.

Bagi anak-anak itu, saya yang setiap keluar rumah, dan bahkan di dalam rumah (red: posko) selalu mengenakan kerudung adalah orang yang aneh. Hingga ada salah satu dari mereka menanyakan hal itu. Mereka menganggap itu bukan hal yang wajar, sampai pertanyaan itu bisa secara lincah keluar dari mulut mereka.

Saya bingung, tak tahu harus menjawab pertanyaan itu dengan kalimat seperti apa. Jangankan kalimat, satu kata pun saya tak punya.

Tiba-tiba ada anak perempuan di samping saya yang menyeletuk, menjawab pertanyaan dari temannya tadi, "Kan Muslimah..."

Ah frasa sederhana itu...

sederhana namun mengena. Akhirnya saya perjelas, "Iya, kan muslimah..." kemudian saya tersenyum. Antara kaget dan lega dengan jawaban yang sudah terwakilkan.

Tidak sampai di sana,
hari ini, di Mushola Al Hudha, tempat TPA berlangsung ada seorang anak perempuan kelas 5 SD mendekati saya dan tiba-tiba bertanya, sambil memegang ujung kerudung saya. "Mbak kog pake kerudungnya panjang banget e..." ia memainkan ujung kerudung saya.

(haduh) Pertanyaan pertama saja saya bingung menjawabnya, ini dapat pertanyaan serupa tapi tak sama. Sepertinya anak itu sangat penasaran dengan jawabannya. Bagi anak kecil, pertanyaan "MENGAPA/KENAPA" itu adalah pertanyaan super yang harus mendapat jawaban dari orang tua/dewasa. Kalau tidak, mereka akan terus bertanya.

Saya tak enak ada banyak anak di sana, dan ada pula teman-teman KKN serta pengasuh TPA di sana, yang tidak mengenakan kerudung seperti apa yang saya kenakan. Tak sampai hati menjelaskan di depan mereka.

Akhirnya saya mnita ia untuk sedikit minggir dari barisan dan kemudian menjelaskannya, dengan bahasa yang mudah mereka mengerti.

"Jadi, sekarang kamu berdiri, bagus. Kamu tau apa saja yang jadi aurat perempuan?"

Ia menjawab dengan tepat, (dari atas hingga ke bawah kecuali telapak tangan dan wajah).

"Iya, dhek, itu kenapa mbak pake kerudung panjang, biar menutup dari atas sampai ke bawah, termasuk lekuk tubuh, karena lekuk tubuh juga aurat," aku menjawab dengan kata-kata yang kupilih dengan (sangat) hati-hati).

Tapi pertanyaan yang saya khawatirkan akhirnya terdengar juga, si adek bertanya dengan polos, "Kog mbak Nana sama mbak Nini (sebut saja begitu) gag pake kayak mbak Ihti?"

Allahuakbar, bagaimana saya harus menjawab?

Akhirnya hasil berpikir cepat dan ngawur saya begini, "Kamu pernah disuruh nyapu teras gag sama Ibuk?"

"Iya mbak..."

"Misal Ibuk nyuruh kamu sama adhek nyapu teras, kamu nyapu sampai ke kolong-kolong meja, tapi bisa jadi adikmu menyapu lantai gag sampai ke kolong-kolongnya, padahal sama-sama disuruh nyapu lantai..." Jawabku pusing.

Maksudkku menjelaskan dengan analogi di atas adalah bahwa penangkapan tiap-tiap kita terhadap sebuah perintah itu berbeda-beda. Bahkan untuk menerima perintah menyapu teras saja pengerjaannya jadi berbeda antara satu orang dengan orang lainnya.

"Maksudnya gimana mbak?"

"Maksud yang apa dhek...?"

"Maksud yang nyapu-nyapu itu tadi..."

alamak... akhirnya saya jelaskan perlahan... dan entah, jawaban saya bisa diterima atau tidak :D

Perlahan, belajar berkomunikasi dengan anak kecil...

 
Design by Wordpress Templates | Bloggerized by Free Blogger Templates | Web Hosting Comparisons