Senin, 15 Juli 2013

Mereka Dikenal sebagai Pedagang, Bukan Da'i

Mereka Berdakwah dengan Cara Mereka

Catatan ini sebenarnya adalah curhatan kekaguman setelah membaca sebuah buku referensi yang ruarr biasa, semoga berkenan membacanya, dan mari sama-sama lakukan perubahan ^_^

Bismillahirrahmanirrahim...
Sedikit tergelitik dengan sebuah kalimat di sebuah paragraf di sebuah bab di suatu buku #hah? :o ketika kita berbicara dakwah, maka yang akan menjadi titik singgung pertama adalah da'i. Bukan karena hal lain, melainkan karena da'i lah yang menjadi pelaku dakwah.

Dakwah yang sejatinya secara sederhana adalah mengajak manusia berbuat kebaikan dan mencegah pada kemungkaran untuk mendapatkan keridhoan Tuhan. Dan sebenarnya, aktivitas dakwah itu bagi para da'i memerlukan proses trial, error, and learn. Karena dakwah tidak sekedar mencentang a, b, c, atau d untuk memilih mana jalan dakwah yang terbaik, melainkan a, b, c, dan d bisa jadi bergantian menjadi pilihan yang benar ketika berada pada waktu dan kondisi yang berbeda.

Karena sebenarnya, Nabi pun sebagai seorang da'i memperlakukan seseorang dengan orang lain,  pada tiap orang itu berbeda, seperti dalam menentukan sebuah perkara dengan orang yang berbeda Nabi pernah memberikan jawaban yang berbeda pula. Tergantung bagaimana kondisinya. Dan kondisi selalu berganti, maka perlu penyikapan yang tepat dari seorang da'i.

Ya, itu sebenarnya pengantar saja, supaya pembicaraan kita terarah, dan kita memiliki frame dan cara pandang yang sama.

Berdagang.

Banyak yang mencetuskan, 'jadilah da'i sebelum menjadi apapun'. Memang benar perkataan tersebut, apapun profesi kita, siapapun kita, apapun jabatan yang kita miliki, dengan siapapun  kita bergaul, sebelum semua itu ada, kita adalah da'i. Karena profesi dan status sosial itu sebenarnya kebutuhan dan masalah pilihan, sedangkan menjadi da'i adalah keharusan. 

Itu artinya, mau tidak mau kita harus menjadi da'i, sedangkan status sosial adalah kebutuhan yang masih pada taraf pilihan.

Namun terlepas dari semua itu, sadarkah kita, bahwa yang menjadi objek dakwah kita adalah manusia, orang yang sama-sama memiliki pilihan dalam status sosialnya, bahkan objek dakwah kita berada di semua status sosial yang ada. Guru, pemerintah, murid, rakyat biasa, pedagang, pembeli, tetangga, keluarga, dan teman kita. Semua orang menjalankan perannya sesuai status sosialnya.

Dan sadarkah kita, bahwa yang kita butuhkan sekarang bukan lagi status da'i dalam berdakwah, karena pada dasarnya tanpa dilekatkan dan dipampang pun, status itu sudah melekat pada diri setiap muslim. Dan yang dibutuhkan dalam dakwah sekarang bukan lagi berdiam dalam rumah dan men-solih-kan diri sendiri, melainkan membaur dengan mereka para objek dakwah kita. 

Lalu bagaimana cara membaurnya? Bagaimana lagi kalau tidak dengan cara berperan maksimal sesuai dengan status sosial kita. Kenapa saya tidak katakan untuk 'berperan sesuai dengan status sosial kita' namun yang saya katakan adalah 'berperan MAKSIMAL sesuai dengan status sosial kita'? Hal itu karena pada dasarnya kita adalah seorang da'i. Dan da'i harus memberi teladan sebelum berdakwah. Maka teladan seperti apa yang diperlukan? Teladan bagi orang-orang di sekelilingnya. Kalau tidak maksimal bagaimana menjadi teladan?

Kemudian kenapa keteladanan itu harus hadir? karena itu lah yang diajarkan nabi Muhammad. Bayangkan, Allah mengangkat Nabi Muhammad sebagai Rasul pada usianya 40 tahun. Apa yang dilakukan Allah selama 40 tahun itu kepada Nabi Muhammad? Menjaganya sebagai orang yang berbudi baik. Ya. Allah menjaga Nabi Muhammad selama 40 tahun sebagai manusia yang baik, manusia yang bisa dijadikan teladan, meski gelar Nabi belum disematkan kepada beliau. Sehingga ketika Nabi Muhammad diangkat sebagai Nabi dan Rasul yang ditugaskan untuk berdakwah, yang orang lihat adalah kepribadian beliau, sebelum melihat dakwah yang dibawanya. 

Jadi mungkin akan lebih tepat, sebelum kita menjadi apapun, kita harus menjadi da'i,dengan catatan da'i yang memiliki keteladanan dalam diri. Karena sungguh kita bisa berdakwah dengan kata-kata yang indah, dan tersusun rapi, namun jika da'i tidak melakoni apa yang dikatakannya, maka semua orang, bahkan seorang pendusta pun bisa melakukannya. Dan itu jelas dibenci oleh Allah. Na'udzubillah mindzalik.

Lalu mana hubungannya dengan berdagang? Ya, yang membuat diri saya terkagum-kagum adalah sejarah yang mengatakan bahwa islam masuk ke Indonesia melalui para pedagang dari Timur. Subhanallah!

Kita mengenal mereka bukan sebagai da'i (ketika membaca buku sejarah). Yang kita tahu, mereka adalah P E D A G A N G !

Itulah yang membuat saya kagum. Bagaimana segerombol pedagang bisa menyebarkan agama Islam hingga ke pelosok Nusantara! Spektakuler! Yang mereka lakukan adalah MAKSIMAL dalam menjalankan peran sosialnya, seperti apa yang sudah tertulis di wacana atas tadi.

Ya, pada akhirnya, keteladanan para pedagang melalui perdagangan yang mereka lakukan itu lah yang bisa membuat mereka diterima oleh orang-orang di sekitar mereka. Mereka berdagang, menjual barang, dan berinteraksi dengan sesama penjual dan juga pembeli. Namun mereka memberikan keteladanan dalam berdagang, sesuai yang diajarkan oleh Nabi Muhammad tentang hukum mu'amalah. 

Dari keberterimaan mereka dengan status sosial mereka sebagai pedagang, mereka kemudian mulai berbicara soal Islam, menyebarkan ajaran islam kepada orang-orang, dan orang-orang percaya, karena mereka merasa para pedagang itu patut untuk diteladani.

Dan bersyukurlah kita, kita terlahir di Indonesia dalam keadaan Islam. Mungkin ini tidak lepas dari apa yang dilakukan oleh para pedagang itu. Pedagang yang sejatinya adalah da'i, da'i yang mengerti akan peran sosial yang ia jalankan, dan bisa memberikan keteladanan.

Dan bisakah kita buka mata kita? Kalau kita tuliskan ada berapa banyak peran sosial ataupun profesi yang ada di Indonesia? (ya Indonesia dulu lah, nanti kalau dah bisa bahasa Inggris dan Arab dakwahnya diperluas). Banyak pastinya. Dan dakwah kita masih kekurangan orang-orang pakar, orang-orang ahli di bidangnya. 

Lalu dimanakah posisi kita sekarang? Dalam lingkup sosial, peran apa yang sedang kita jalankan? Keahlian apa yang kita punya? Maka di sana lah ladang dakwah kita.

Para pedagang itu berdakwah dengan cara mereka! Dengan memanfaatkan keahlian dagang mereka. Lalu kita? 

Dakwah membutuhkan kader-kader dakwah yang pakar di bidangnya, ahli di tempatnya. Maka da'i itu beragam. Harus beragam! Kita harus menyebar! Tidak harus seperti Uje (Alm) yang berdakwah dengan jangkauan luas, di seluruh nusantara, dengan objek dakwah yang beragam, jika kita belum mampu. Namun kita bisa berdakwah dari lingkungan terkecil kita, dengan objek dakwah yang se-ragam dengan kita.

Para pedagang itu memiliki objek dakwah sesama pedagang, dan juga pembelinya (ada keseragaman antara da'i dan objek dakwah), mungkin dari lingkungan yang kecil, namun efeknya luar biasa, karena mereka mengawali dengan keteladanan. Kita pun bisa, dengan komunitas dalam peranan sosial yang kita pegang sekarang. 

Sekali lagi, dakwah ini memerlukan orang-orang ahli dan pakar di bidangnya masing-masing, mengingat objek dakwah kita pun beragam, dan menyebar di berbagai bidang. Berawal dari keteladanan diri sendiri sebagai seorang manusia, da'i memiliki modal untuk merebut hati mad'u nya (objek dakwah nya).

Dan mahasiswa adalah peran sosial yang luar biasa tanggung jawabnya, jadi tau apa yang harus kita lakukan sebagai seorang mahasiswa sekaligus da'i? #saya yang menulis dengan sadar pun masih belajar, namun belum terlambat untuk memulai, pun bagi diri saya. Saya mereasa, ilmu yang saya dapatkan terlalu sayang untuk tidak saya tuliskan, sehingga saya tuliskan dalam kesempatan ini. 

_Diana Azhar_

0 comments:

Posting Komentar

 
Design by Wordpress Templates | Bloggerized by Free Blogger Templates | Web Hosting Comparisons