Minggu, 10 November 2013

Tuhaaan Aku Temukan Dunia!

Tuhaaaan, aku temukan dunia!

Tiga anak perempuan kecil berseragam pramuka turun dari becak, dan bersegera memetik bunga di pinggir jalan. Ah sudah seperti lagu saja. Tapi tidak, ini bukan lagu. Ini yang kusebut dunia!

Pasti aksi tawar-menawar 3 anak kecil ini dengan si tukang becak sangat lucu. Bagaimana mungkin ada penumpang becak yang minta turun sebentar hanya untuk memetik bunga, lalu naik lagi. Ah aku membayangkan keributan yang sangat lucu ketika mereka meminta turun sebentar. Dan terlihat si tukang becak hanya tersenyum melihat kurcaci-kurcaci mungil ini berbahagia dengan bunga mereka.

Ini lah dunia. Dunia yang tidak hanya membicarakan mata kuliah ini, mata kuliah itu. Nilai ini nilai itu. Tugas ini tugas itu. Dunia penuh persaingan.

Kutemukan dunia. Dunia yang tanahnya basah oleh air hujan, dan dijejali kehidupan sosial manusia-manusianya. Dunia sebenarnya.

Tuhaaaan, aku temukan dunia!

Aku bertanya-tanya, bagaimana bisa ia menjemputku dengan waktu yang SANGAT CEPAT, padahal jaraknya lumayan jauh. Ia tampak tenang, tidak ada raut tergesa. Bagaimana mungkin. Kecepatannya sekarang hanya 50 km/ jam. Ah bagaimana bisa.

Sampai di depan pintu garasi, ia memerintahkanku mengambilkan selang air dan menghidupkannya. Kakinya belepotan tanah basah, lumpur. Bagian bawah motornya juga.

Ia pintar sekali menyembunyikan usahanya. Di musim hujan seperti ini, jalan aspal pun berlumpur. Dan tak mungkin sampai sekotor itu jika ia tak mengebut.

Dunia macam apa yang kutemui ini. Bapak yang berpura-pura di depan anaknya, berpura-pura menutupi usaha kerasnya, menutupi kegelisahannya. Inikah dunia yang sebenarnya?

Aku terlalu lama menutupi mata dengan kertas-kertas tugas, kertas-kertas nilai, dan kertas-kertas berbau persaingan lainnya. 


Kini aku menikmati malam-malam di rumah, dan aku temukan dunia, dengan Orang-orang di sekelilingku, termasuk ayah. Sepenggal dunia yang kutemukan ketika pertama kali tiba di kampung laman:

Aku terkaget, "Ya Tuhan... jenggotnya sudah memutih."

Aku terkaget seolah lama sekali tak pernah melihatnya. Datang ia dengan suzuki biru kesayangannya, dengan gestur dan suara motornya yang tak mungkin ku lupa. Satu yang berbeda, uban-uban putih itu. Abah.

Ah tidak, aku mulai membenci uban. Entahlah. Aku harap semoga aku hanya sedang mencari kambing hitam atas usianya yang mulai menua.
~Pertemuan malam romantis di stasiun.

0 comments:

Posting Komentar

 
Design by Wordpress Templates | Bloggerized by Free Blogger Templates | Web Hosting Comparisons