Kamis, 17 Januari 2013

Dewasa dalam Dakwah *trending topic

Bismillah

Dengan menyebut Asma Allah Pemberi warna indah pada bunga, Pembuat tegak angkasa, salawat serta salam semoga senantiasa tercurah pada Nabi Muhammad, Nabi yang namanya tertulis di Injil, di Taurat, dan di Al Qur’an.

Kehidupan dalam dunia perkuliahan seperti yang sedang saya alami, membawa banyak perubahan dalam diri saya. Terutama dalam memberikan definisi tentang satu kata: dewasa. Tidak. Bukan berarti saya mengklaim bahwa saya sekarang ini sudah bertindak dewasa, tapi seperti banyak orang mengatakan, bahwa tua itu pasti, namun dewasa itu soal kelulusan *lho salah* dewasa itu pilihan.

Dewasa yang saya maksud adalah dewasa dalam hal pemikiran, dalam hal sikap, dalam hal pengambilan keputusan. Biarlah orang lain mengutuki saya sok dewasa, atau mencaci saya sok nggaya. Tapi berpikiran ingin menjadi dewasa itu lebih baik menurut saya daripada terdiam dan tak mau berpikiran untuk mencapainya. Meskipun benar, dalam dunia nyata, dewasa itu seiring usia. Namun bukan masalah bilangan usianya, tapi masalah pengalaman hidupnya. Definisinya bisa beragam, tapi saya mendefinisikan semua yang ingin saya tuliskan di sini dalam satu kata: dewasa.
Berangkat dari latar belakang saya di SMA, saya adalah anak rohis. Ya, saya sangat sangat sangat mengakui bahwa dulu saat SMA anak-anak rohis sangatlah ‘polos’ dan ‘lugu’ termasuk saya *atau jangan-jangan ada anak rohis yang tidak mau mengakui bahwa saya anak rohis, karena sepolos-polosnya anak rohis saya lah yang sepertinya paling ‘tercemar’ hoooo.*

Polos dan lugu yang saya maksud adalah sifat anak rohis yang bahkan bisa dilihat dari penampilannya yang berbeda dengan anak-anak lainnya, mulai dari penampilan (simat) yang tidak neko-neko, mulai dari matanya yang bisa dibaca dia orang yang sederhana dalam bertindak namun rapi, juga bisa dilihat dari cara memandangnya yang menunduk tak banyak berkeliaran pandang, dan dari cara berbicaranya yang sopan *definisi anak rohis versi saya*.

Jangan membayangkan saya seperti itu, karena saya dicap sebagai anak rohis karena saya masuk ke organisasinya *fanatisme organisasi-red: dulu*, bukan karena saya pantas jadi anak rohis *sepertinya begitu*, tapi saya dulu waktu SMA sangat-sangat sok-sok-an memantaskan diri sebagai anak rohis, ya, sebutannya dulu di SMA saya adalah remas (remaja masjid). Saya  sangat menjaga bagaimana saya berpakaian, ketika saya menggunakan seragam dari sekolah yang berasal dari bahan baju yang minimalis saya selalu mencari cara bagaimana supaya baju itu tidak ketat dan tidak membentuk badan *alias ngepress kalau bahasa saya*. Ketika ada mata pelajaran renang, saya mempertahankan jilbab saya *susah lho renang pakai jilbab, berat*, tapi saya diteguhkan dengan keloyalan teman-teman saya, mereka yang perempuan beramai-ramai mengenakan jilbab ketika olahraga lapangan dan olahraga renang, saya senang saya mendapat dukungan.

Semasa SMA, saya sangat-sangat benci dengan orang yang diajak solat tapi menolak *grrr h!* sepertinya ada dua tanduk yang keluar dari kepala saya seketika itu juga. Saya langsung membencinya dan menjauhinya. *kekanak kanakan*

Ya, itu lah masa-masa SMA,  masa-masanya gontok-gontokkan. Siapa yang tidak suka dengan cara saya, boleh mendaftarkan diri dalam daftar ‘musuh’ saya. Wah, inilah ekstrim nya waktu-waktu SMA. Keukeuh dan alhamdulillah tak terkalahkan *lho*. Saya selalu menganggap diri saya benar, dan yang lain salah *tapi tetap polos kog*. Saya seolah ingin marah dan berteriak pada teman-teman saya yang sukanya hura-hura, sukanya tongkrongan, sukanya menghabiskan waktu tidak jelas (red: pacaran), mungkin jika diekspresikan seperti ini, “Kalian itu! Uang dikasih orang tua! Sekolah dibayarin orang tua! Dihabisin buat hura-hura! Mbok  ya ngaji di rumah, bantu-bantu orang tua di rumah, atau belajar biar pinter! Jangan hura-hura!”. Ya, begitulah masa SMA yang gentar menghadang caci dan maki, apalagi didukung oleh murobbiah untuk terus mensyiar-kan islam, dengan segala jenis halangan dan rintangan pokoknya harus diterjang. Tapi alhamdulillah, SMA saya tidak begitu ekstrim lingkungannya, jadi islam dengan damai bisa tersebar, tanpa banyak tanduk keluar dari kepala saya.

Setelah saya masuk kuliah, dan merasakan iklim Jogja yang  luar biasa, saya melihat banyak sekali mahasiswa yang *huh* sangat-sangat ekstrim, ekstrim perilakunya, moralnya, pemikirannya, kompleks sekali. Awal masuk kuliah, sifat keukeuh dan tak mau kalah itu masih terbawa. Jika ada yang merokok, nongkrong, diajak solat menolak, sukanya pacaran wah mulai keluar tanduk di kepala saya, merah padam muka saya. Tapi saya sadar, ini bukan wilayah saya, saya tidak bisa marah dan melampiaskan rasa benci saya, dikatakan benci? Ya saya benci, namun saya hanya menahannya dengan sejuta tongkol *eh* dongkol di hati saya. Itulah warna Jogja, si Kota Budaya, si Kota Pelajar, yang mulai pudar warnanya, karena terwarnai oleh pendatang yang begitu banyaknya.

Eksklusif, ya mungkin itu definisi sikap saya yang tepat. Merasa paling benar, dan yang lain salah. Saya tak mau berteman dengan orang-orang ‘nakal’ yang saya definisikan sendiri. Karena saya sangat membencinya. Parahnya, itu bertahan sampai mungkin satu tahun. Hingga akhirnya saya mengenal yang namanya dakwah fardliyah (dakwah personal) dan juga Isti’ab (kapasitas daya tampung rekrutmen). Indah sekali ketika saya berkenalan dengan dua istilah itu. Serasa tercerahkan, seperti ada saklar dalam otak saya yang dipencet dan menyala lah lampu bohlam di dalamnya *ting aha*. Lalu apa hubungannya dengan definisi dewasa yang saya singgung di awal tadi? Ya, nantinya catatan ini akan sama-sama mengajak kita (saya dan Anda) untuk bersikap dewasa sebagai seorang yang bisa dikatakan da’i/  da’iyah, dalam menghadapi objek dakwah.

Saya pun masih layak untuk di dakwahi (menerima dakwah), namun bukan berarti saya diam dengan ilmu yang saya punya hanya karena merasa belum pantas menjadi da’i. Saya mencoba menikmati indahnya hadits satu ini, “Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat” (HR. Bukhari). Pasti indah jika  dilakukan oleh setiap manusia.

Dengan keberagaman kultur yang ada di lingkugan Jogja, dan dengan adanya teori dakwah fardliyah dan isti’ab, saya mulai mencoba mempraktikannya menggabungkannya *mix and match*, dan benar sangat indah. Cara berpikir yang ada dalam pikiran saya *yang sudah diterangi lampu bohlam* seketika berubah. Bahwa dakwah itu indah, dakwah itu penuh cinta *tanpa melonggarkan syariat*. Pasca saya dibelajar-kan tentang dakwah fardliyah saya belajar mencintai dalam berdakwah, saya belajar memahami dan  menyesuaikan. Ada banyak tipe orang, dengan segala tabiatnya, dan saya meyakini pasti ada meski kecil, tabiat baik dalam diri setiap orang yang bisa dikembangkan.

Teori dakwah fardliyah atau dakwah personal bukan berarti man to man marking seperti dalam permainan sepakbola dan basket, atau satu orang mendakwahi (merangkul) satu orang, tapi satu orang ‘dirangkul’ oleh banyak orang. Jadi targetnya satu, tapi yang merangkul banyak. Intinya adalah pendekatan secara personal, secara kultural. Dulu saya menganggap bahwa dakwah itu ya beda dengan pertemanan, beda dengan belajar kelompok, beda dengan tongkrongan, tapi ternyata dakwah personalia ini membutuhkan kemampuan memanusiakan manusia, me-neman-kan teman, me-mahasiswa-kan mahasiswa.

Dulu saya anggap kita berteman ya berteman, saya berdakwah beda dengan cara saya berteman, saya bertindak sebagai teman ketika berteman, dan saya bertindak sebagai da’i ketika berdakwah, tapi rupanya saya harus belajar men-dewasa-kan diri, bahwa menjadi da’i itu tak memerlukan waktu khusus dan tempat khusus, ketika berteman, di sana pula lah tempat dan waktu yang harus kita gunakan untuk berdakwah, menjalankan peran sebagai teman yang senantiasa membawa *cinta* dakwah. Jadi tak ada double kepribadian, atau double sikap, karena seharusnya, kita sebagai teman harus tetap mengingatkan teman kita yang melakukan kesalahan walau mengingatkan kesalahan mungkin adalah tugas da’i, dan kita sebagai da’i harus memperlakukan teman kita dengan lemah lembut, memberi salam keselamatan, saling mendo’akan, dan saling menyayangi meski itu sejatinya adalah tugas seorang teman. Ya, karena dakwah islam itu harus menyeluruh, sama seperti islam, menyeluruh di setiap bidang.

Saya pun akhirnya memahami arti ayat berikut:
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu[246]. kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” Q.S. Ali Imran: 159.

Padahal ketika SMA saya belum bisa memahami ayat ini bahkan cenderung meremehkan, dan tidak memperhatikan isinya, walau masuk dalam ujian pelajaran agama *nah!*. Setelah dipraktikkan, ayat ini sungguh sulit rupanya. Betapa tidak sulit, saya harus menyesuaikan diri untuk tidak mengeluarkan tanduk di kepala ketika melihat para pelaku kemungkaran, harus memadamkan muka merah saya seketika itu juga, untuk mencapai kategori lemah lembut seperti yang disebutkan dalam ayat di atas untuk mencapai tujuan dakwah. Seperti dalam Isti’ab, setiap orang itu berhak menerima dakwah kita tak terkecuali.

Jadi intinya, sifat dewasa dalam berdakwah yang saya maksud *dari hasil diskusi* adalah, sikap dan pemikiran kita ketika mendapati lingkungan dan objek dakwah yang beragam. Jika dibilang objek dakwah yang sangat sulit dirangkul adalah tanah tandus, maka kita sebagai da’i lah yang harus berperan menjadi petani yang sabar. Dalam menyikapi objek dakwah harus dengan perilaku yang lembut, sabar,  dan tidak semua objek dakwah dirangkul dengan cara yang sama. Ada tanah tandus yang tidak bisa langsung ditanami padi, maka jangan sama ratakan semua tanah, tangani dengan cara yang berbeda, maka tanami tanah itu dengan tanaman palawija, agar tanah itu bisa subur, begitulah objek dakwah, mungkin ada yang tidak bisa langsung diajak untuk berbuat baik, solat tepat waktu, maka perlu dirangkul dengan cara yang berbeda, bisa melalui pendekatan personal sebagai teman, dari berteman timbullah loyalitas dan kepercayaan, maka setelahnya kita bisa berdakwah ke tingkatan yang lebih tinggi, mengajak ia solat, dan beramal salih, dan seterusnya, inilah dakwah fardliyah.

Dakwah itu mengenal yang namanya tahapan, dan tahapan-tahapan dakwah itu sangat membutuhkan fokus pelaku dakwah dalam menjalankan dakwah personal. Jika kita bersikap dewasa, maka setiap objek dakwah kita perhatikan tingkatannya dan sudah sejauh mana tahapan perkembangannya, lalu ditindak lanjuti. Jangan sampai, gencar melakukan dakwah di awal, kemudian lupa memperhatikan objek dakwah yang seharusnya kita ‘rawat’. Penyakit lupa kali ini akan sangat berbahaya dalam sistem dakwah, maka harus diperbaiki. Fokus, dan fokus. Maka sikap dewasa itu akan tumbuh seiring waktu, karena seiring waktu itu pula kita memahami bahwa waktu yang kita punya ternyata sangat sedikit, dan bahkan lebih sedikit dari tugas yang kita punya. Dewasa itu bukan tanpa usaha.

Kemudian saya merenungkan dakwah di masyarakat. Mungkin di kampus dakwah terbilang ‘enak’ karena objek dakwah bisa ‘dirauk’ dengan ‘jaring’ seperti ikan. Tapi di masyarakat, kita yang harus mendatangi objek dakwah, bukan objek dakwah yang datang kepada kita, memang siapa kita? Tokoh? Kiai? Ustad/ ustadhah? Kita adalah hanyalah mahasiswa, belum punya nama. Itu lah tadi, bersikap dewasa dalam menghadapi berbagai macam objek. Me-masyarakat-kan masyarakat, memperlakukan tetangga sebagai tetangga, maka di setiap perlakuan itu kita selipkan dakwah, dan itu tidak mudah. Maka dewasa-lah. Sibukkan tangan kita dengan kerja-kerja peradaban, sibukkan pikiran-pikiran kita dengan pemikiran peubah zaman, dan bersihkan mulut kita dari keluhan dan umbar kelebihan.

Bersabarlah dan bersikap lemah lembutlah, karena jelas bahwa:
“Orang yang bergaul dengan masyarakat dan bersabar terhadap gangguannya lebih baik daripada orang yang tidak bergaul dengan masyarakat dan tidak sabar terhadap gangguannya.” H.R.Tirmidzi dan Ibnu Majjah.

Dan janganlah bersikap seperti anak SMA :) *dalam definisi saya*

_Diana Azhar Al Rasyid_

0 comments:

Posting Komentar

 
Design by Wordpress Templates | Bloggerized by Free Blogger Templates | Web Hosting Comparisons