Selasa, 23 April 2019

Berdesakan dengan Para Nenek

Bismillahirrahmanirrahim,

setelah sekian lama menahan cerita, dan akhirnya banyak cerita-cerita yang tidak tertahan, saya pikir ini adalah waktu yang tepat untuk saya menuliskannya, meramunya menjadi tulisan yang sedap, dan bisa mengenyangkan pembacanya.

Ya, cerita ini tentang cerita para Nenek. Allah memberikan pelajaran bertubi-tubi, dan saya merasa tidak peka dengan pelajaran tersebut. Akhirnya disentil berkali-kali, barulah saya peka dengan sentilan dari Allah yang satu ini.

Kita yang masih muda sangat tidak pantas jika harus berdesakkan dengan para nenek. Para nenek yang cara jalannya sudah "thuyuk-thuyuk" (membungkuk-bungkuk dan pelan) sangat rajin menemui Allah dengan semangat yang membara, dan memalukan bagi kita jika kita berdesakan dengan mereka dalam menuju Allah, apalagi jika harus berjalan di belakang mereka pasti hal itu jauh lebih memalukan bagi kita.

Hari dimana semua orang dikumpulkan di sebuah padang yang sangat lebar, lalu kita akan melihat dan menyadari bahwa kita sedang berdesakan dengan para nenek yang kita lihat di dunia dulu, atau lebih buruk lagi kita berada di belakang para nenek, betapa kita sangat terpuruk saat itu, betapa kita akan sangat malu pada Allah. "Kenapa kamu bisa berdesakkan dengan para nenek? bahkan kamu berada di barisan belakang para nenek?"

Kita sebagai perempuan muda masih punya banyak tenaga, masih punya banyak waktu, masih punya banyak potensi untuk melakukan amalan-amalan solih. Tapi justru seringkali amalan solih kita sama kuantitas dan kualitasnya dengan amalan para nenek, atau bahkan jauh lebih buruk dan lebih sedikit dari amalan para nenek. Seharusnya kita berlari jauh lebih depan daripada mereka. Tapi nyatanya mereka jauh lebih rajin datang ke masjid untuk solat, mereka sangat rajin mengaji qur'an meski terbata, dan mereka selalu berdo'a melebihi doa-doa kita.

Ini adalah tentang amalan ibadah kita. Kita akan berdesakkan dengan siapa kelak? berdesakkan dengan sesama muda, atau berdesakkan dengan para nenek yang kita lihat di dunia?

Nenek 1.

Pengalaman ini adalah pengalaman spiritual pertama kali yang saya alami bersama para nenek. Suatu hari saya dan teman-teman BEM FT 2013 berkunjung ke kota Apel, Malang. Kami beristirahat di saat Subuh di Masjid Besar Batu, dekat dengan taman kota. Kebetulan kami sampai kurang lebih jam 3 pagi, waktu itu gerbang masjid belum dibuka, baru setelah mendekati azan subuh sekitar jam 4, gerbang mulai dibuka. Keheranan demi keheranan terkumpul tidak sengaja. Saya melihat satu nenek telah mengenakan mukena putih memasuki masjid, dengan jalannya yang sangat pelan, padahal azan subuh belum terdengar, tapi si nenek sudah sampai di masjid mendahului jama'ah lainnya. Keheranan selanjutnya adalah: ternyata ia bukanlah nenek yang pertama kali datang ke masjid. Sudah ada beberapa nenek duduk dengan menggoyangkan badannya menikmati dzikir ke kanan dan ke kiri di dalam masjid, saya bertanya dalam hati, "Hey? ini baru jam berapa?" dengan wajah bengong dan keheranan. Cuaca nya saaangat dingin saat itu. Lalu keheranan-keheranan selanjutnya terus bermunculan. Ada nenek yang menggunakan kursi, ketika sampai di masjid ia tak duduk seperti nenek lain, ia duduk di kursi, pikirku "Nenek ini kenapa repot-repot datang ke masjid?"

Di dalam masjid tersebut saya dihujani banyak sekali pertanyaan-pertanyaan yang mengusik kenyamanan. Lalu saya menangis pada satu titik. Titik kondisi dimana saya menyaksikan dengan mata kepala saya sendiri, bahwa barisan para nenek dengan mukena yang mayoritas putih ada lebih dari 3 barisan, nenek yang datang ke masjid sebelum iqomah dilantunkan jumlahnya saaaangat banyak. Ini masjid besar, satu shofnya bahkan memuat banyak orang, dan sungguh pemandangan yang luar biasa ada di hadapan saya. Saya menangis, merinding, tersedak, tak ada teman-teman BEM yang melihatnya, karena memang mereka belum sampai ke dalam masjid, saya sengaja mendahului mereka, dan saya memilih duduk di bagian belakang masjid. Hal yang membuat saya jaaaauh lebih merinding adalah saat setiap ada nenek yang datang, ia akan menyalami beberapa nenek di samping kanan kirinya, namun bukan dengan salaman biasa (tangan dengan tangan), namun para nenek saling bersalaman dengan mencium pipi kanan dan kiri, saling memegang pipi, saling merangkul, dan saling melemparkan pandangan penuh kesyahduan. Efek slow motion yang menjadi fitrah nya para nenek membuat suasana semakin tak terdefinisikan. Seperti banyak kelopak bunga putih yang berguguran di depan pandangan.

Di mata mereka terlihat dan terpancar kasih sayang satu sama lain, sambil mencium pipi kanan dan kiri mereka mengucap salam, lengkap dengan gerakan serba hati-hati khas para nenek. Anggun, bagi saya itu sangat anggun. Wajah mereka cerah luar biasa. Saya menangis. Saya merinding. Saya sesenggukan melihat satu persatu nenek datang, melihat mereka saling bersalaman, mendengar mereka saling melempar salam....suasana di dalam masjid menjadi suasana syahdu yang tidak pernah saya temukan di tempat lain. Lama dan lama akhirnya suasana menjadi jauh lebih ramai, karena nenek-nenek yang datang semakin banyak. Suara dzikir dan bacaan alqur'an terbata khas nenek-nenek seperti dengung lebah di sana.

Ya Allah... Ya Allah... Ya Allah... pertunjukkan luar biasa baru saja saya saksikan. Saya seperti melihat para bidadari, barangkali perilaku bidadari surga sama dengan perilaku para nenek ini. Mereka rajin beribadah, mereka mengasihi satu sama lain. Mereka berlomba-lomba siapa lebih dulu melakukan kebaikan, tetap dalam keanggunan. Mereka tak dikalahkan oleh dingin yang menyerang, seolah ada yang membuat tubuh mereka menjadi hangat kapan saja, yaitu hati mereka. Biarpun fisik mereka sangat lemah, tapi hati mereka sangat kuat. Kita tahu sendiri kota Malang adalah kota yang sangat dingin. Tapi luar biasa bukan para Nenek ini? Allahu...Allahu...

Setelah iqomah dikumandangkan, saya mencoba mendekat, benar-benar ingin berdesak-desakkan dengan para Nenek. Dengan wajah masih sangat kentara dengan bekas tangis dan nafas yang terdengar jelas, saya merapatkan barisan bersama mereka. Lalu salah satu nenek menjulurkan sajadahnya untuk dibagi dengan saya. Ya Allah itu adalah solat subuh paling indah dalam hidup saya. Setelah solat, saya ikut bersalaman dengan para nenek. Mereka ramah, belum pernah saya dapati yang seperti ini sebelumnya.

Sampai keluar masjid pun saya masih merinding. Selain jamaah nenek, jamaah kakek juga banyak, bahkan ketika keluar dari pintu masjid, saya berpapasan dengan kakek yang terkena struk dan separuh badannya tidak bisa digerakkan normal, sehingga ia agak kesulitan untuk berjalan.

Nenek 2.

Di saat saya menepati jadwal les privat matematika, saya dibukakan pintu oleh si kembar. Begitu pintu terbuka, ternyata saya melihat di ruangan sebelah nenek masih menggunakan mukena dan sedang membaca mushaf besar nya yang ia taruh di pangkuannya. Saya kaget melihat hal tersebut. Bukan, bukan meragukan si nenek, melainkan saya heran. Keluarga si kembar ini adalah keluarga yang bisa dibilang "tidak islami". Ibunda si kembar bekerja di semacam EO konser musik dan sering pulang malam karena tuntutan pekerjaannya. Dari sana saya menyimpulkan bahwa keluarga ini biasa saja. Tapi ternyata sang nenek sangat perhatian dengan masalah akhiratnya, dengan ia membaca mushaf alqur'an di malam hari semacam ini, saya yakin hal itu timbul sebagai sebuah kebiasaan, bukan hal yang dilakukan kadang-kadang. Pasti nenek ini sudah terbiasa sebelumnya.

Nenek 3.

Saya bertemu dengan nenek yang berprofesi sebagai polisi, ia sangat disiplin melaksanakan solat berjamaah dan solat duha. Ia selalu menyempatkan diri mampir ke masjid untuk solat ketika bepergian kemana saja. Bukan hanya solatnya yang disiplin, namun juga puasa sunnah nya. Tidak hanya puasa sunnahnya, bahkan ia selalu menerapkan prinsip hidup positif, bahwa segala sesuatu harus dipandang positif, karena yakin bahwa Allah sudah mengaturnya. Bahkan nenek ini selalu mengajak anak-anaknya untuk solat sunnah.

Ketika terdengar adzan isya, ia langsung pamit sebentar untuk melaksanakan solat isya di rumah. Ia menceritakan banyak hal tentang hidupnya. Ia sangat mengutamakan Allah dalam tiap kehidupannya. Aku hanya bisa terdiam mendengar ceritanya, tersenyum dan merefleksikan cerita itu ke dalam diri sendiri. Rasanya jaaauuuh sekali amalan-amalan yang saya lakukan daripada yang nenek ini lakukan. Kali ini bahkan saya tidak bisa berdesakkan bersamanya, karena nyatanya nenek ini telah satu baris lebih depan dari saya, meninggalkan saya di belakangnya. Ia sangat rajin beribadah dan selalu berpikir positif.

...

Semua cerita nenek-nenek itu membuat saya trauma, dan mempertanyakan, "Untuk apa tenaga saya selama ini?" Malu rasanya harus berdesakkan dengan para nenek. Seharusnya kita (dan saya khususnya) berada di depan, berlari lebih kencang dari para nenek, berlomba lebih baik lagi melakukan amalan-amalan solih, dengan segala yang Allah berikan sebagai kelebihan para muda.

Allah yang memasukkan siang ke dalam malam, dan memasukkan malam ke dalam siang. Allah sangat mudah mengatur segala sesuatu. Menjadikan sesuatu itu menjadi sangat mudah, atau menjadikan sesuatu menjadi sangat susah. Allah yang memudahkan, dan Allah yang menyulitkan. Allah yang mengatur segala sesuatu, maka kita layak untuk terus merayu dan berusaha dekat dengan Nya, lebih dekat-dan terus dekat, lebih dekat dari para nenek. Kita harus cemburu dengan para nenek. :")

1 comments:

Layla Hasanah mengatakan...

Assalamualaikum mba ihti, subhanallah menyentuh sekali ceritamu. semoga banyak lagi para pemuda pemudi yang sadar akan tenaganya lebih bermanfaat bagi dunia dan akhiratnya dan tidak lupa akan tujuannya sebagai khalifah Allah. jazakillah atas ceritamu mba :)

Posting Komentar

 
Design by Wordpress Templates | Bloggerized by Free Blogger Templates | Web Hosting Comparisons