Kamis, 07 April 2016

Jaga Kesehatan tanpa Micin, Jaga Hati tanpa Dosa

Bismillah...

Tulisan ini meski akan berbicara perihal makanan, namun juga akan menyerempet masalah lain, karena makanan di tulisan ini akan mengantarkan kita pada sebuah analogi sederhana.

Saya adalah orang yang sangat sensitif dengan micin dan pemanis buatan. Sekali saya makan makanan bermicin, maka anggota tubuh pertama yang bereaksi adalah tenggorokan. Setelah makan makanan bermicin, tenggorokan saya akan terasa sangat gatal, akhirnya batuk2. Jika kondisi badan tidak fit, maka batuk2 akan berlangsung selama berhari2. Dan kalau abah dengar lewat telfon bahwa saya sedang mengalami batuk akut (batuk yg sangat parah) pasti akan bilang, "Diobati(!) kalau gag sembuh-sembuh pulang." Dalam hati seperti berteriak "Horeeeeee pulaaaaang". Tapi ancaman itu bukan ancaman main2, sebenarnya menyenangkan untuk pulang, tapi seluruh pekerjaan di Jogja tidak bisa ditinggal dengan alasan, "Batuk dan harus pulang." Jalan satu-satu nya adalah mencari obat yg bisa menyembuhkan.

Maka dari itu selama di Jogja, saya mencari makanan tanpa micin. Salah satu favorit saya adalah sup khas Solo di Maguwoharjo, yang juga dijadikan langganan Ustad Deden Anjar sekeluarga. Sup sayur ini adalah sup yang bumbunya murni rempah-rempah. Dan rempah-rempahnya sangat banyak, sehingga rasanya juga sangat enak untuk ukuran sup.

Biasanya, obat yg saya gunakan ada 3 macam.Pertama adalah obat batuk (apapun merknya), kedua adalah suplemen penjaga imun tubuh (saya paling suka minum habbatussauda 3 pil sekali minum atau madu beberapa sendok) dan yang ketiga adalah   istirahat.

Istirahat adalah poin yg mutlak. Ada satu kebiasaan yg saya mulai kenali pada tubuh saya, bahwa ketika saya diserang batuk atau flu hebat, saya harus minum suplemen  lalu istirahat full selama minimal 1 hari 1 malam. Bangun hanya untuk solat, bersih-bersih, dan makan. Tidak harus minum obat batuk, jadi obat nomor 1 sifatnya sunnah. Dari sana saya meyakini, bahwa batuk bukan inti penyakit yg harus saya obati, bahkan batuk bukan sebuah penyakit, melainkan alarm dari penyakit yang ada di dalam tubuh kita. Artinya, jika saya batuk karena makan makanan bermicin, ada penyakit yg sedang bereaksi di dalam tubuh saya.

Pernah suatu aaat saya makan bakso, setelah pulang, saya sakit demam flu batuk dll, terpaksa bedrest selama dua hari. Setelah itu sembuh berangsur2. Kasus terakhir adalah karena saya makan mie dokdok. wkwkwk, penyebab penyakit yg sangat tidak elit.

Ternyata tubuh kita jika sudah dibiasakan makan makanan tanpa micin lalu makan micin sedikit saja, tubuh jadi sensitif, alarm nya mudah menyala.

Lalu saya memikirkan sesuatu.
Ini tentang sensitifitas dosa.

Pasti sudah tau arah pembicaraannya kemana... hemmm iya. Betul. Jika orang terbiasa menjauhkan diri dari dosa, maka ketika terciprat dosa sedikit saja, ia akan mudah merasakannya. Kemudian secara otomatis karena mudah merasakan dosa, orang tersebut akan lebih sering meminta taubat. Berdasarkan sebuah riwayat, Rasulullah memohon ampun kepada Allah seratus (100) kali sehari, padahal Rasulullah telah dijaminkan surga oleh sang Pemilik surganya langsung, siapa lagi kalau bukan Allah SWT. Sungguh nikmat ya kalau kita bisa merasakan hal semacam itu. Hati yang mudah tersentuh dan hidup, sebentar-sebentar beristighfar, mudah menahan pandangan dari hal kecil yang menyulut dosa, mudah menahan telinga mendengar hal-hal kecil yang menghimpun dosa, dan anggota-anggota tubuh lain mudah ditahan dari perilaku penuh dosa. Hingga kita menjadi orang yang perangainya tenang dan tak tergesa. Semoga kita diberikan karunia untuk menghidupkan hati kita, bisa memiliki sensitifitas dosa sampai pada tingkat dosa terkecil jika bisa.

Kata ustad, hati yang hidup itu seperti rumah yang terrawat dengan baik, sekali ada yang bolong di salah satu bagian rumah, segera diperbaiki, selalu dibersihkan setiap hari, sehingga rumah itu menjadi rumah yang bersih dan sedap dipandang. Hati juga begitu kan? Hati yang bersih ketika kotor sedikit saja, langsung merasa sensitif kemudian segera dibersihkan. Maka hati yang mati seperti rumah yang tidak lagi dihuni. Rumah yang sudah tidak dihuni akan terdapat banyak lubang, dimana dari lubang-lubang itu akan masuk banyak hama seperti tikus, ular, serangga, dan ditumbuhi tumbuhan liar. Maka dengan kedatangan hewan-hewan tersebut, rumahpun menjadi bertambah kotor dan jorok, tidak ada yang membersihkan. Hati yang kotor ketika didatangi penyakit, penyakit sombong, ujub,iri, dengki, benci, mudah tersinggung, kasar, suka mencela, dan lain sebagainya tidak merasa risih.

Lalu bagaimana mengasah sensitifitas dosa?
Sepertinya sudah terjawab. Seperti menjaga sensitifitas tubuh dari micin, kita menjauhkan tenggorokan kita dari micin maka sekali tenggorokan menelan micin akan mudah merasa. Mengasah sensitifitas hati dari dosa adalah dengan menjauhkan diri dari dosa.

Kata ustad, untuk mendapatkan hati yang hidup dan peka terhadap dosa, kita harus menghidupkan hati dengan alqur'an. Ternyata iya, nyata nya banyak kasus dari beberapa orang yang saya temui, seperti adik mentoring saya yang dulunya tergerak hatinya untuk ikut mentoring karena sebelumnya ia dekat dengan alqur'an. Sampai pada ibu-ibu tua yang tertarik untuk datang kajian awalnya karena ia dekat dengan alqur'an, membacanya tiap hari meskipun sedikit-demi sedikit. Orang yang dekat dengan alqur'an akan sangat mudah tersentuh. Ia sangat mudah mengalun seperti alunan ayat-ayat alqur'an yang berisi ancaman dan berita gembira. Merasa terancam ketika melakukan dosa, dan gembira ketika akan mendapat pahala.

Mari kita semangat berdekat-dekat dengan alqur'an. Semangat jaga keehatan tubuh dengan makan makanan sehat, dan semangat jaga kesehatan hati dengan makan-makanan ruhani. Sesungguhnya ini adalah nasihat yang terus berlaku untuk diri saya sendiri, sepanjang hayat, sebelum mati.

Ihtisyamah Zuhaidah


0 comments:

Posting Komentar

 
Design by Wordpress Templates | Bloggerized by Free Blogger Templates | Web Hosting Comparisons