Kamis, 27 Oktober 2011

Jati Diri dalam Keterpurukan

Ketika aku sedang dalam keterpurukan sebagai pelajar, ayahku menghiburku,”Menjadi seseorang yang sukses di masa mendatang, kau tidak harus menjadi siswa yang memiliki rangking pertama dan juara pertama di kelas ataupun di sekolah. Namun orang sukses di masa mendatang adalah orang yang di masa sekarang berhasil mengatasi keterpurukan dan kegagalannya. Yaitu dengan bangkit dari kajatuhan dan percaya bahwa Allah tak pernah menyia-nyiakan kesungguhan seorang hamba. Seorang siswa tak pantas menyebut dirinya gagal ketika mendapat nilai jelek, karena jika ia tahu sungguh menyesal dirinya, karena apa? Karena bahkan Allah meninggikan derajat orang-orang yang berilmu beberapa tingkat. Namun bukan berarti kau boleh terus merasa nyaman mendapat nilai jelek, kau harus bangkit dan berusaha.” Seketika itu aku tersadar. Ayahku juga mengajarkan padaku, Allah itu membenci orang yang pandai dalam urusan dunia namun bodoh dalam urusan akhirat, maka imbangilah ilmu itu dengan iman. Terimakasih Ayah. 

Ketika aku sedang dalam keterpurukan sebagai seorang teman, yang merasa telah melakukan kesalahan paling besar dalam sejarah persahabatan, Ayahku menenangkan hatiku, bahwa seorang teman tak selamanya benar, wajar ketika kita melakukan kesalahan, karena kehidupan itu perlu adanya proses Trial and Error. Seorang teman yang marah pada kita seolah ingin menunjukkan pada kita bahwa kita adalah orang terdekatnya. Seseorang berani marah, karena ia merasa kita adalah orang yang telah mengenalnya dengan sangat dekat, dan merasa kita telah mengenalnya lebih dekkat pula, jika dibandingkan orang lain. Ia tak mungkin marah pada orang yang belum ia kenal. Dan kini aku berusaha lebih baik untuk menjadi seorang sahabat bagi para temanku.



Ketika aku merasa gagal sebagai seorang manusia, Ayahku menceritakan cerita seekor kerang. Ada seekor kerang yang bertanya pada manusia saat manusia itu melempari batu ke laut seolah putus asa. “Hai manusia, engkau ini sombong sekali rupanya, ketika kau dirundung kesulitan, kau berputus asa seolah Tuhan tak adil padamu, kau malah mengutuk dan melempar sumpah serapah pada alam. Kau begitu sombong, padahal kau itu tak ada apa-apanya dibandingkan aku. Aku harus selalu menjaga harta yang diamanatkan Tuhan padaku, mutiara yang selalu diincar manusia serakah sepertimu, tapi aku terus bersabar atas tugas ini, yang kutahu hanyalah patuh pada Tuhanku. Lalu engkau? Baru ditimpa masalah seperti itu saja kau berputus asa. Kau kira kesabaranmu telah habis? Padahal masih banyak makhluk yang lebih sabar darimu. Jika kau berputus asa tak ada guna kau menjadi khalifah di bumi Allah ini. ” Aku percaya kini, Allah selalu bersama orang-orang yang sabar.

Ketika aku dirundung sedih, adikku menghiburku, “Hai Kak, hanya sebesar itukah senyummu untuk hidupp ini? Lihat aku, meskipun aku jelek, aku tetap menghargai pemberian Tuhan padaku ini. Ya meskipun dulu aku seperti Pasha, tapi sekarang aku tetap seperti Aril. Kau Tahu itu?” Kulihat ia begitu gigih menghibur dirinya sendiri, mewarnai hidup dengan senyum dan rupanya aku harus belajar darinya.

Ketika Aku merasa gagal sebagai seorang anak, Ayahku mengatakan padaku, bahwa sebagai anak bagus jika kau menyesal telah berbuat salah. Namun kau harus tahu, bahwa tak ada satupun orang tua yang menginginkan anaknya menderita, maka orang tua akan segera memaafkan kesalahan anaknya ketika anaknya telah meminta maaf. Maka dari itu kau harus menghibur dirimu, bahwa Ayah dan Ibu sangatlah sayang padamu.

Ayahpun selalu mengajariku untuk berserah diri pada Allah Azza Wajalla, dengan mengatakan, “Ya Allah, tiadalah Engkau menciptakans emua ini dengan sia-sia.”
Ketika di lain waktu aku gagal, Ayahku menasihatiku,”Wahai anakku, kegagalan adalah bumbu kehidupan, kurasa kau tahu itu, tak perlu lagi aku mengajarimu, karena kau telah dewasa kini. Namun mungkin kau lupa, dan Ayah ingin mengingatkanmu. Sambutlah kegagalan dengan senyuman dan bangkitlah kejar kesuksesan! Waktumu masih begitu banyak. Kenapa kau harus senyum? Karena di saat kau dewasa nanti dan kau telah berada dalam kesuksesan, ceritakanlah pada anak cucumu, bahwa dulu kau pernah mengalami kegagalan, ya kegagalan yang pahit, namun dirimu bisa menjadi orang yang paling sukses di antara orang sukses yang dulu pernah sukses. Maka betapa senang dan bangga anak cucumu mendengar perkataan mu itu. Dan bangkitlah anakku! Bangkit! Bangkit atau kau akan kehilangan momentum untuk menceritakan kegagalanmu yang menambah manis kesuksesanmu pada anak cucu! Bangkit Ananda!”

Ayah yang terhormat, kau lebih kuhormati daripada seorang kepala sekolah, kau lebih kuhormati dari seorang presiden, kau lebih kuhormati dari seorang Pahlawan. Karena bagiku, kau pembimbingku. Kau motivasiku, kau inspirsiku. MaSihkah akan kau tanyakan apa aku mencintaimu? Aku tak harus mengatakannya Ayah, karena kutahu bahwa kau tahu.

0 comments:

Posting Komentar

 
Design by Wordpress Templates | Bloggerized by Free Blogger Templates | Web Hosting Comparisons