Sabtu, 03 Mei 2014

Sumpah, Gue Salut!

Kalau salah satu teman saya cerita, katanya ketika dia menggunakan kata ‘gue’ dalam kalimatnya, itu artinya dia sedang memberikan penekanan lebih, artinya dia sedang bicara serius, atau bisa dibilang sangat serius.

Ya, kali ini saya serius. Salut!

Begini ceritanya...

08.46

Ini baru namanya pasar! Awesome! Kalau dulu aku pernah menulis tentang “Mengapa Allah Membenci Pasar”, kini aku menemukan hal yang bisa ku kagumi dari pasar.

Yaitu pengorbanan dan kerja keras.

Motor ku parkirkan, ditata oleh tukang parkir berseragam orange. Pagi-pagi seperti ini si bapak sepertinya sudah sangat sibuk, banyak motor yang harus ditata. Sepertinya tata pasarnya belum begitu settle, belum ada lahan parkir yang cukup, jadi bapak ini harus bekerja lebih keras. Mulut bapak itu jarang mengatup, or you can call it: mlongo.

Bukan, bukan mlongo karena keterbatasan mental, atau pikiran kosong. Wajar, bagi pekerja keras seperti si bapak ini, ia akan sangat terbantu dengan mulut yang terbuka, sebagai jalan nafas tambahan. Karena paru-parunya memompa udara lebih cepat, karena gerak yang ia lakukan juga cepat, sehingga membutuhkan udara lebih banyak pula. Seperti halnya atlet, ia sesekali bernafas dengan mulutnya, untuk memasok oksigen lebih banyak ke darahnya.

Ia tak banyak bicara, bukan karena bisu, bukan karena tak mampu berbahasa, tapi karena tangannya selalu sibuk bekerja. Kalaupun mulutnya berbicara, bicaranya pun merupakan kerja. Seperti memasukkan motor yang baru parkir, mengeluarkan motor yang telah selesai parkir, menanyai pemarkir akan menuju ke arah mana, memutar posisi motor, kemudian berlari lagi menuju motor lain, belum lagi jika ada motor lain pula yang datang sebelum motor sebelumnya selesai diparkir. Begitu seterusnya. Kau tau betapa rumitnya?

Belum selesai pemandangan itu, dan belum selesai juga pikiran-pikiran salutku pada pak tukang parkir, aku harus segera bergegas karena parkiran penuh, aku harus memberi space pada orang lain.

Baiklah, aku menuju ke dalam pasar. Dan aku melebarkan mata, meregangkan alis, dan terpesona seperti seorang ratu yang berhasil menemukan putera mahkotanya yang lama hilang #huek. Excited. Aku membayangkan seisi pasar berada pada kondisi slow motion. Lalu lalang para pembeli dan kesibukan para penjual menjadi panggung pertunjukkan yang menarik untuk dilihat di setiap sisinya.

Penjual klitikan duduk berdiam dengan mulut yang sibuk mengunyah makanan, membiarkan para calon pembeli memilah dan memilih dagangannya. Ia paham sangat, tak setiap calon pembeli akan membeli dagangannya, banyak yang hanya melihat-lihat dan berkomentar, “Ah yang ini kurang bagus, gag jadi beli aja.”

Lain sisi, di kiri gang pasar, penjual jajanan pasar sibuk mengusir lalat dari atas jajan-jajan tradisionalnya yang berwarna warni. Sembari menanyakan kepada pembeli, “Yang lain lagi mbak? Ada onde-onde, klepon, atau lumpia ini... ini mbak, atau cucur.” Dan mengakhiri usahanya merayu pembeli jika pembeli gagal dirayu dengan mengatakan, “Oh ya, semuanya sepuluh ribu mbak.” Namun tak pantang menyerah, ia masih mencoba lagi, “Yang ini juga enak lho mbak.” Dan hanya dibalas senyum oleh para pembelinya, atau kemungkinan terburuk adalah ditinggal pergi begitu saja, masih untung jika ada yang membalas, “Sampun bu, cekap (sudah bu, cukup)”

Suara penjual jajanan pasar tak membuatku cukup fokus, ada hal lain yang lebih menarik, dan memang menjadi tujuan utamaku. Penjual daging ayam potong.

Bayangkan, dalam satu lokal, yang hanya berjarak 1 meter satu sama lain, bahkan kurang, ada begitu banyak barang dagangan yang beraneka rupa, karena masih pagi, kau tak akan begitu merasakan baunya bercampur. Ah sayang sekali ya :D

Tapi ini luar biasa, kalung, gelang, aksesoris, berjajar dengan jajanan pasar, berjajar pula dengan daging ayam potong, berjajar pula dengan sepatu sandal dan tas, lalu berjajar di sebelahnya kelopak-kelopak mawar berbau semerbak untuk nyekar (menabur bunga di kuburan), tak kalah juga buah berbau harum seperti sirsak, apel, berjejal juga di dalamnya baju celana rok, aku mengakhiri pandangan slow motion ku, dan tersenyum. “Ih wow! Keren!” :D

Sampai tiba pada saat aku berhadapan langsung dengan ibu penjual daging potong. Ya Allah, apa yang harus aku katakan pertama kali. Ohya, tanya harga, “Berapa bu satu kilonya,” mungkin kau bingung kenapa aku bingung menentukan kata pertama.

Bukan, bukan karena aku tak pernah ke pasar dan gagap dengan hal seperti itu. Tapi aku berpikir, Tuhan, kalau Kau jadikan aku ada di posisi mereka, aku tak akan sanggup sepertinya.

Ibuk penjual daging potong itu menggunakan baju panjang, seperti daster, dengan kerudung kecil menutupi bagian kepalanya yang menjadi aurat, dan menggunakan celemek yang sudah kotor terkena darah dan cipratan ayam potongnya, yang sepertinya bukan hanya darah hari ini saja, tapi sepertinya celemek itu sudah lama dipakai menemaninya bertahun-tahun berjualan, karena darah hari-hari sebelumnya berbekas dan membuat celemek itu terlihat sangat lusuh, mungkin sudah dicuci berkali-kali.

“Dua puluh lima ribu mbak,” Tuhan kata apa yang selanjutnya harus aku ucapkan, “Dua Puluh Lima sudah tidak bisa kurang ya Buk?” Dalam hati aku mengutuki diriku, “Berani beraninya kau menawar Ih!”

Si Ibuk hanya menjawab, “Seharusnya dua puluh enam mbak,”. Aku tak akan memikirkan kata apa lagi yang harus kuucap. “Ohya bu, satu setengah kilo ya Buk.”

Sembari ibuk itu memotong-motong daging pesananku, aku hanya memperhatikan sekelilingnya, “Maaf ya aku tak sarapan duluan, sendirian ini,” kata seorang perempuan sebaya di sampingnya yang duduk tak begitu jauh, kulihat tempat nasi itu berisi nasi putih dan lauk beberapa potong, dan sayur gori (nangka).

“Iya, duluan aja gag papa buk.” Kata si Ibuk dan teman satu lagi di sampingnya. Ibuk yang duduk itu makan dengan lahap.

Allahuakbar. Ya Allah, gue pengen meledak! Gue balik lagi dengan pandangan slow motion. Apa yang terjadi dengan dunia gue?!  Kemana aja gue selama ini? Hidup dimana gue? Hidup di buminya siapa? Kemana syukur gue selama ini?

Selama ini gue banyak mengeluh ini itu, mengumpat diri sendiri seolah ujian paling berat di dunia ini Tuhan limpahin ke gue semuanya. Gila ya, ada orang-orang kayak si ibuk-ibuk ini yang sabar banget ngadepin idup. Gue gag ngebayangin kayak apa anak-anaknya di rumah, yang minta dihidupi disekolahin, dicukupin kebutuhannya. Gue salut! Ok stop slow motion nya.

Ibuk penjual daging potong ini sangat cekatan dengan pisau besarnya. Sebuah koyo persegi berwarna putih menempel di dagunya, sepertinya ibuk ini sedang sakit gigi, tak peduli dengan sakitnya itu ia terus melanjutkan memotong daging di meja kecilnya yang hanya sepetak. Aku tak ingin lagi menawar harga, biarlah kumakan ayamnya, dan ibuknya mengambil untung dari penjualan ayam itu. Aku kembali melihat sekeliling.

Tuhan, kalo gue dilahirin jadi anaknya, mau gimana gue? Bisa apa gue? Gue jadi mulai kepikiran, sebenernya sebagai siapa lo dilahirin, itu adalah keberuntungan doang. Beruntung lo dilahirin dengan keadaan orang tua berkecukupan. Atau sekarang pilihannya, kalo elo dilahirin jadi ibuk penjual daging potong itu, lo bisa apa?

Ternyata hidup gue selama ini payah!

Kemana syukur gueeee? Dikit aja cobaan gampang ngeluh. Payah!

Aku salut buk, aku salut dengan apa yang ibuk lakukan, bertahan dan terus bekerja keras dalam keadaan sesempit apapun, tak peduli berjejal dengan penjual lain, tak peduli harus sakit-sakitan dan tetap menjalankan usaha.

Salut!

Tak hanya pada si ibuk, tapi juga pada teman-temannya, yang mensyukuri makanan yang dimakannya, yang senang dengan apa yang dimakannya, yang tak sungkan berbagi dalam kesempitan. Pada orang-orang di pasar yang bekerja keras tangan daripada mulut.

Buk, Pak, semoga anak-anak bapak dan ibuk jadi orang-orang yang hebat kelak, dan tetap berbakti pada kalian, hingga ketika kalian tua nanti, tak usah lagi bekerja, biarkan mereka yang membalas jasa.

Begitupun dengan gue, semoga gue bisa segera membuat orang tua gue rehat, gag usah kerja, biar gue yang kerja.

09.25
Aku mulai menuliskan cerita di atas. Dan mengambil pelajaran, aku bersyukur dengan apa yang aku punya sekarang, bahagia dan indah rasanya, dan berpesan pada adek-adekku di rumah, “Makan ayamnya dihabisin ya, kasian yang capek motong-motong.
Sekian. Maaf kali ini aku mengutip bahasamu bercerrita (“Gue”) dalam cerita kali ini, Dek.




Dedicated for: Adek Tri Nurhayati, dan Ibuk Penjual daging potong.

3 comments:

Unknown mengatakan...

Keren (y)
Ini di Cilacap? Mungkin cerita tentang tukang parkir akan berubah kalo liat pasar di tempat saya hehe
Over all tulisan kamu keren haha

Ihtisyamah mengatakan...

emang pasar di Kalimantan semacam apa?

Unknown mengatakan...

Ribet.. Kepanjangan kalo ditulis, takut ndak salah tangkep.

Posting Komentar

 
Design by Wordpress Templates | Bloggerized by Free Blogger Templates | Web Hosting Comparisons