Senin, 26 Januari 2015

Menyanding Rasa dan Logika

Menyanding rasa dan logika.
Laki-laki dan perempuan seringkali tidak cocok? Wajar. Keduanya (laki-laki dan perempuan) menyanding hal yang berbeda. Satu mengedepankan rasa, sisanya mengedepankan logika. Terkadang berdebat hebat, tak jarang berseteru seru, saling beradu.
Tidak perlu khawatir atau bersedih saat bertengkar.
Kita hanya sedang lupa, bahwa ada Allah. Terkadang kita lupa ada Allah. Sampai bertengkar hebat, adu pendapat.

Kenapa bertengkar?
sebetulnya (hanya) karena logika kita yang tak sampai.
Kenapa berselisih?
sebetulnya (hanya) karena rasa kita yang tak sampai.

Logika dan rasa kita terbatas. Tapi kita sering meng-agung-kannya. Menganggap rasa dan logika kita paling benar. Padahal ada Allah yang Maha agung dan Maha benar. Allah, seringkali memberikan solusi di luar batas logika dan rasa. Ya, hanya permasalahan logika dan rasa kita saja yang tak sampai.
Maka, loby Allah untuk menyelesaikan permasalahan kita. Berhenti loby manusia yang berimbas pertengkaran. Percaya, Allah punya solusi di luar batas rasa dan logika smile emoticon

Do'a!

-Allah Maha besar kog-

Ya, berselisih paham itu tidak enak rasanya.

Lalu bagaimana solusinya? Biar saya kutipkan penggalan paragraf dalam buku Dalam Dekapan Ukhuwah yang ditulis oleh Salim Afilah untuk mengantarkan ke cerita saya,

“Dalam satu segi, menJaga harmoni memang berarti menghindari konflik. Adalah lebih baik diam jika bicara justru memperkeruh suasana. Lebih baik mengalah jika menang berarti membuat luka...”

Menjaga hubungan baik kita sepakati bersama sebagai hal yang akan terus kita usahakan. Tapi terkadang, seperti apa yang dipaparkan dalam buku Man Are From Mars, Women Are From Venus, tidak jarang terjadi benturan antara laki-laki dan perempuan. Satu sangat peka dengan rasa, satu sangat kokoh dengan logika.

Tapi memang keduanya berbeda. Satu dari Mars dan satu dari Venus.

Begini ceritanya, Makhluk Mars yang gagah menemui makhluk perasa di Venus, kemudian keduanya menyepakati bersama untuk berpindah ke Bumi. Saat berada di Venus keduanya saling memahami bahwa masing-masing mereka berbeda. Hingga mereka selalu memberi pewajaran, dan mencoba mengerti dengan perbedaan. Ya, mereka sadar, kemudian mencoba memahami satu sama lain. Tapi lain cerita di Bumi.

Ketika di Bumi keduanya lupa darimana masing-masing berasal. Mereka lupa mereka berasal dari tempat yang berbeda, yang mereka ingat, mereka sudah sama-sama tinggal di Bumi. Karena lupa itu lah, mereka mulai saling menyalahkan. Karena mereka lupa maka mereka tak bisa saling memahami.

Berawal dari lupa.

Begitulah dipaparkan dalam buku psikologi orang Barat, tentang perbedaan laki-laki dan perempuan. Setidaknya dari sana saya mendapat referensi bahwa laki-laki dan perempuan memang beda. Dan orang Barat memberikan solusi dengan cara “mengembalikan ingatan makhluk Mars dan makhluk Venus bahwa mereka berbeda, lalu mulai saling memahami kembali.”

Sejauh ini saya tidak menentang pendapat tersebut. Hanya saja saya butuh pegangan yang lebih kuat yang belum saya dapatkan di dalamnya.

Kemudian saya dibuat kagum dengan penjabaran teori “cara bersaudara yang baik” dalam buku Dalam Dekapan Ukhuwah yang ditulis oleh Salim Afilah, dimana dalam buku tersebut banyak pemaparan sudut pandang Islam mengatasi permasalahan dua manusia atau lebih (baik laki-laki maupun perempuan).

Dari sana, ada dua hal yang kemudian menggelitik saya untuk mengumpulkan yang terserak, mencoba menerapkan dua hal tersebut dalam permasalahan saya sehari-hari. Hal pertama, Latar belakang pemikiran laki-laki dan perempuan yang berbeda dan kedua solusi yang ditawarkan islam menghadapi perbedaan.

::::

Ya, hari kemarin adalah hari yang sangat hebat bagi saya. Berat, namun penuh kejutan.
Perdebatan saya dengan bapak saya di Pondok, ya, kita sebut beliau sebagai bapak. Ustad pengasuh pesantren mahasiswi tempat saya menimba ilmu.
Dalam cerita saya ini, saya merasakan betul perbedaan ketika saya harus berbicara dengan Umi dan berbicara dengan ustad. Yang dalam permasalahan ini, umi adalah perempuan, dan ustad adalah laki-laki.

Saya tidak ingin mengerucutkan seberapa jauh perbedaan laki-laki dan perempuan. Tapi saya justru ingin menjadikan perbedaan itu sebagai sebuah pemakluman, dan pewajaran. Dan selayaknya kita akan terus berusaha menjaga hubungan baik. Perwujudan akhlak seorang muslim. Hanya butuh saling memahami.

Begini  awal mulanya...

Saya dan teman-teman pengurus harian BEM FT UNY 2014 sedang membuat sebuah agenda silaturahmi yang menjadi tradisi dari tahun ke tahun. Silaturahmi akan dilaksanakan selama 3 hari berturut-turut, keliling Jawa Tengah. Dimulai dari Kulonprogo, Purworejo, Purbalingga, Wonosobo, Magelang, kemudian kembali ke Jogja.

Kemudian saya memberanikan diri untuk izin dari pondok. Malang sungguh malang, acara dilaksanakan di hari Senin hingga Rabu. Itu adalah hari efektif perkuliahan semester dua di Pondok. Saya sudah mempersiapkan diri untuk memberanikan diri meminta izin.

Permintaan izin ini alot hingga dua hari.

Hari pertama, saya bertemu Umi.

Ini dia. Saya berbicara panjang dan lebar dengan Umi. Saya jelaskan keperluan saya, saya jelaskan maksud saya, “Ini adalah masa akhir kepengurusan saya di BEM Umi, kalau selama ini saya izin karena urusan BEM, izinkan saya untuk izin sekali ini lagi saja. Saya sudah meniatkan diri untuk fokus di Asma satu setengah tahun ke depan.”

Saya menjelaskan bahwa agenda silaturahmi ini sangat penting bagi saya, karena rombongan akan mengunjungi rumah-rumah pengurus, “Setelah ini saya akan sulit bertemu lagi dengan mereka Mi, ini agenda silaturahmi terakhir.”

Umi memahami itu, kemudian menanyakan teknis perjalanan dan teknis menginap. “Perjalanannya tiga hari di dalam mobil Mah?” Saya menimpali dengan cepat, “Iya Umi.”
“Itu perlu hati-hati, apalagi bercampur laki-laki dan perempuan dalam satu tempat, dan dalam waktu yang panjang, ya tergantung pribadi masing-masing. Terus menginapnya bagaimana?” Umi sedang mempertimbangkan banyak hal.

Sejauh ini, Umi dengan nada lembut mencoba menghargai apa yang saya sampaikan. Juga menghargai keperluan saya untuk bersilaturahmi dengan dengan teman-teman.
Keputusan ditunda sampai esok harinya. Saya diminta untuk menunggu pagi hari di hari berikutnya.

______
Hari berikutnya pun tiba. Beban pikiran saya sangat banyak hari itu. Menumpuk menjadi satu. Dari mulai Orang tua wali dari adik les privat saya meminta saya memberikan les dari pukul 10 sampai pukul 15, sedangkan saya tak ada pinjaman motor, kalaupun ada saya hanya bisa meminjam hingga waktu dhuhur. Saya mau menolak tawaran tersebut tidak sampai hati. Tapi terus terpikir.
Jadwal ngaji yang tiba-tiba diagendakan ba'da asar, di tempat yang jauh, dan permasalahan lain yang tidak perlu saya sebutkan.

Saya menemui Umi jam 6, Umi bilang, “Nanti ya Mah, Abi belum pulang, Umi belum sempat ngobrol soal ini dengan Abi. Nanti jam 8an ya.”

Saya menunggu dalam cemas. Masih dengan pikiran, ke siapa saya bisa pinjam motor. Jam 10 sampai jam 15 itu adalah waktu yang sangat panjang.

Jam 8 saya tanyakan lagi, kata Umi, “Sebentar ya mah...”

Sampai pukul 09.30 saya mendapat pesan masuk, “Ammah, sekarang sudah bisa ke RBU.”

Hemmm. Baiklah. Apapun keputusannya, saya sudah meniatkan diri ikhlas. Karena kemarin Umi bilang, bahwa pertimbangan terbesarnya adalah ketika saya berada di dalam mobil bercampur dengan laki-laki dalam perjalanan yang panjang, itu tidak ahsan. Pertimbangan tersebut juga yang dulu membuat Umi saya di rumah marah, maka dari itu ketika Umi di Pondok mengatakan bahwa pertimbangan besarnya adalah itu saya legowo jika tidak diizinkan. Saya sangat menerima alasan tersebut.

Tapi hal yang tidak disangka, yang datang ke RBU bukan Umi. Tapi Ustad.
Saya kaget.

Kemudian ustad duduk, “Ada apa mbak Ihti?” Beliau memanggil saya dengan panggilan mbak, berbeda dengan Umi yang memanggil  saya dengan panggilan Ammah, karena memang para santri lebih dekat dengan umi.

Saya menjelaskan pendek, “Saya mau minta izin, ustad.”

“Ada acara apa?”

Dari gerak dan gestur ustad saya tahu bahwa ustad sebenarnya sudah tidak membutuhkan jawaban saya, karena ustad bertanya dengan pandangan matanya sibuk dan nadanya datar.

Tidak seperti saat saya berbicara dengan umi, saya menyampaikan kalimat-kalimat saya dengan sangat pendek, tentang keperluan saya silaturahmi akhir kepengurusan BEM FT UNY 2014.

“Buat saya agenda ini sangat penting ustad,” saya mencoba meyakinkan.

Ustad menyampaikan, “Ini kan hanya agenda kultural. Dan ini hanya fase dari rentetan waktu.”

Darrr!

Serasa meledak hati saya. Saya yang tadinya sudah legowo dengan alasan umi di awal, sudah menyiapkan diri untuk tidak diizinkan karena alasan yang dipaparkan umi, karena umi mengkhawatirkan saya, sekarang berkebalikan, saya lemas dan merembes.

“Ini kan hanya agenda kultural. Dan ini hanya fase dari rentetan waktu.”

Ketika ustad menyampaikan itu, air mata saya mengalir, pikiran saya tak fokus dan otak saya mulai membuka kembali ingatan tentang lembaran-lembaran buku Man Are From Mars, Women Are From Venus.

Dalam buku itu, makhluk Mars adalah makhluk yang gagah, sangat mempedulikan kinerja, seragam, jabatan, pemecahan permasalahan. Mereka tak akan ragu bersaing untuk mendapatkan semua itu. Jika ada orang yang datang kepada mereka dengan membawa masalah, maka mereka percaya bahwa orang tersebut sedang membutuhkan solusi darinya.

Berbeda dengan makhluk dari Venus. Mereka menyukai kelembutan, kehangatan hubungan, dan keindahan. Ya, kehangatan hubungan, bagi makhluk venus, ketika mereka bercerita dengan kawannya, mereka bukan sedang mencari solusi, tak peduli apakah masalah mereka dapat selesai atau tidak, yang penting bagi mereka adalah mereka dapat berbagi cerita dan menjalin hubungan.
Itu mengapa, ada banyak perempuan  yang marah ketika mereka mengeluhkan sesuatu ke laki-laki, “Aku lelah dengan tugas-tugas ini,” kemudian si laki-laki menjawab, “Ya sudah, keluar saja dari organisasi itu. Jika kau tak suka dengan tugas-tugasnya.” Bermaksud baik, namun tidak tepat.

Karena wanita datang untuk bercerita ke orang lain bukan untuk mencari solusi, melainkan hanya butuh bercerita, butuh mengeluarkan kata-kata. Wanita suka menjalin hubungan dengan sesamanya melalui cerita, saling bertukar cerita satu sama lain. Dan ketika berkumpul dengan sesama wanita mereka merasa senang, karena ketika mereka bercerita maka temannya akan menyahut meng iya kan, atau meneruskan pembicaraan, bukan menelurkan solusi.

Bagi wanita yang tadi mengeluhkan tugasnya, jawaban “keluar dari organisasi” bukanlah jawaban yang diinginkan. Ya memang, tugas itu melelahkan, tapi wanita itu tetap mencintai apa yang ia kerjakan. Ia hanya sedang ingin bercerita dan didengar, bukan diberi solusi. Memang solusi keluar dari organisasi akan menghilangkan lelah, tapi sekali lagi, wanita hanya sedang ingin mengutarakan cerita untuk didengar, untuk didukung, dan untuk menjalin hubungan.

Wanita tadi akan senang jika si laki-laki menjawab, “Kamu lelah ya, ya sudah istirahat dulu, pasti kamu sudah bekerja keras seharian.” Maka jika mendapat jawaban seperti kalimat tersebut, si wanita akan melanjutkan perbincangan, “Iya, tadi tugasnya sangat berat, aku dan teman-teman bekerja sangat keras, kita kecapean, tapi ini hari yang luar biasa.” Wanita itu akan dengan senang hati melanjutkan perbincangan jika mendapat jawaban semacam itu, terus, dan terus, wanita itu tidak marah, bahkan kembali sumringah, karena ceritanya didengar. Karena mereka suka menjalin hubungan. Dengan bercerita, mereka merasa mereka dapat menjalin hubungan dengan orang lain.

Itu yang saya dapatkan dari buku Man Are From Mars, Women Are From Venus. Dari sana, saya dapati bahwa laki-laki tidak begitu peduli dengan jalinan hubungan, hal yang lebih mereka pedulikan adalah pemecahan masalah dengan begitu mereka akan merasa pantas disebut laki-laki.

Perkataan ustad, “Ini kan hanya agenda kultural. Dan ini hanya fase dari rentetan waktu. Mbak Ihti bisa malakukan ini di lain waktu, secara individu.”

Mendengar perkataan ustad tersebut, saya perlahan meng iya kan isi buku tersebut. Kenapa saya merasa sangat sakit ketika ustad mengatakan kalimat tersebut. Dan ustad sangat enteng menyampaikan itu di hadapan saya. Kenapa terjadi begitu?

Saat itu saya sadar, apa yang saya rasakan tak sama dengan apa yang ustad pikirkan. Kata “hanya” di kalimat tersebut terdengar sangat pedas di telinga saya. Air mata saya terus saja merembes. Saya menunduk malu apabila sampai terlihat ustad. Tapi sepertinya ustad sudah mengetahui bahwa saya menangis.

Kemudian ustad mengatakan, “Tidak usah menyertakan emosi untuk hal-hal semacam ini, mbak Ihti ingin pergi silaturahmi ini hanya karena rasa ingin berkumpul dengan teman-teman. Itu emosi yang berlebihan. Mbak Ihti datang dan tidak datang kan sama saja”

“Tidak usah menyertakan emosi untuk hal-hal semacam ini, mbak Ihti ingin pergi silaturahmi ini hanya karena rasa ingin berkumpul dengan teman-teman. Itu emosi yang berlebihan. Mbak Ihti datang dan tidak datang kan sama saja

Kali ini sudah bukan lagi air mata yang tak sanggup dibendung, tapi badan saya saya bungkukkan ke depan menahan suara tangis yang hendak keluar. Saya malu menangis di hadapan ustad.

Saya mendengar suara lain dari arah samping saya. Selama ustad berbicara dengan saya, saya tidak berani memandang ustad. Kemudian suara di samping saya itu, saya tahu itu suara umi. Umi menanyakan, “Ammah Ihti, itu perjalanannya tidak bisa diganti di hari lain?”

Saya menolehkan kepala saya ke kanan, dan memandang umi, menjawab apa yang ditanyakan umi dengan nada lembut, wajah saya terlanjur basah, “Tanggalnya sudah ditetapkan umi.”
Saat itu saya merasakan perbedaan yang sangat jauh ketika saya berbicara dengan ustad, dan berbicara dengan umi. Perbedaan berbicara dengan laki-laki dan dengan perempuan.

Saya kembali membenarkan lembaran-lembaran buku Man Are From Mars Women Are From Venus yang saya ingat itu. Nada berbicara ustad, dan nada berbicara umi, kalimat-kalimat ustad, dan kalimat-kalimat umi, jauh berbeda. Ya, saya merasa lebih senang berbicara dengan umi.

Dari kalimat ustad, saya menangkap mungkin benar dalam pikiran laki-laki hal-hal semacam menjalin hubungan tak begitu penting, sedangkan secara spontan saya menitikkan air mata ketika keinginan untuk berkumpul bersilaturahmi dengan teman-teman ditolak dengan perkataan “hanya agenda kultural”.

Saya stuck. Saya tak mungkin mendebat ustad. Ustad tak mengerti saya, dan saya tak mengerti ustad. Begitu pikir saya.

Saya pamit, dan berdiri meninggalkan ruangan.
Mungkin benar perkataan ustad bahwa saya sangat mengedepankan emosi. Hingga saya tak dapat menahan air mata.

Benar apa yang dikatakan dalam buku itu, bahwa perempuan lebih perasa...

Saat itu sudah lebih dari pukul 10. Saya telat ke tempat les. Pikiran dan hati saya sudah tak karuan. Saya paksakan dengan pikiran dan hati yang compang camping pergi ke Prambanan, tempat adik les menunggu saya. Saya akhirnya mendapat pinjaman motor.

Di sini lah, Allah menembus batas rasa dan logika saya.

Di sinilah Allah memberikan solusi di luar nalar.

Keajaiban pertama.

Sesampainya di Prambanan, ternyata pihak sekolah mengadakan les fisika secara mendadak untuk para santri di asramanya. “Ya sudah dhek, kamu ikut kelas saja dulu. Nanti ba’da duhur mbak ke sini lagi,” saya menyampaikan itu dengan pegal-pegal di bagian kelopak mata yang saya rasakan, ya mata saya masih terasa berat. Dengan les fisika tersebut, berarti saya bisa menggunakan waktu untuk beristirahat menenaagkan pikiran. Allah memang pengertian... Les fisika dadakan ini di luar batas kemampuan saya. Allah lah yang mengubah keadaan.

Saya memutuskan untuk berhenti dan rehat di masjid. Sesampainya di masjid, dengan hati saya yang compang camping, saya menggerutu di dalam hati. Terus mengutuki apa-apa yang ada di sekeliling saya, “Ini masjid besar-besar gini kog pintunya digembok. Gimana sih. Masjid buat ibadah atau buat pajangan(!).” Sambil mengunyah roti saya masih saja mengeluhkan apa saja yang bisa saya keluhkan dalam hati. Saya masih sangat sedih tidak bisa ikut bersilaturahmi bersama teman-teman.

Keajaiban di luar batas mampu manusia, kedua.

“Karena kendala peserta, opsi jalan-jalan bem sekarang ada dua, di hari Senin-Rabu (banyak yang tidak bisa), dan opsi kedua Hari Sabtu dan Minggu (semoga banyak yang bisa),” pesan singkat masuk ke hape saya.

Allahuakbar...

Seketika saya punya ide untuk mengirim pesan ke umi, “Umi, hari silaturahminya dipindah sabtu ahad... Ihti diizinkan ya Umi?” Tapi tidak jadi saya kirim. Saya senang, tapi tidak ingin terlalu larut dalam kesenangan.

Setelah itu ada orang datang membukakan pintu masjid. Allahuakbar... ternyata ada takmirnya, ternyata masjid ini dibuka, padahal sebelumnya saya sudah lemas bingung mencari masjid di sekitar sini. Mungkin ini keajaiban ke tiga.

Keajaiban-keajaiban itu datang di luar batas logika saya. Di luar batas rasa saya. Di luar batas kemampuan saya.

Saya menyadari seharusnya saya tidak berlebihan sampai menangis, cukup dengan menerima keputusan secara legowo tidak perlu dimasukkan terlalu dalam di hati, dan mungkin juga ustad perlu menyampaikan 'tidak diizinkannya saya' dengan kalimat yang lebih halus. Cukup dengan menyampaikan, "untuk kepentingan mbak Ihti, sebaiknya mbak Ihti tidak usah ikut"  hal itu menunjukkan kepedulian, bukan larangan.

Saat semacam itu, saat masing-masing bersikukuh dengan dengan pendapatnya, saya merasakan betul, betapa saya lupa, bahwa Allah lah yang Maha membolak-balik hati manusia. Ada Allah yang Maha agung di hadapan manusia sombong seperti saya yang mengedepankan rasa. Saya lupa. Ada tangan lain yang Maha menentukan. 

Saya akhirnya memahami sepenuhnya bahwa yang diinginkan ustad sebenarnya adalah membuat saya disiplin dengan waktu, ketika saya berkomitmen di pondok, sudah seharusnya saya mengikuti kegiatan di pondok secara penuh.

Ustad ingin seluruh santrinya menaati peraturan pondok. Mengedepankan ilmu agama dibandingkan acara atau agenda yang bisa mendatangkan mudhorot karena bertabrakan dengan jadwal perkuliahan.

Ini hanya permasalahan dimana saya tidak dapat memahami ustad. Tapi memang sudah seharusnya saya legowo dengan semua keputusan.

Perempuan lekat dengan rasa, laki-laki kuat dengan logika.

Keajaiban-keajaiban di luar logika dan rasa yang Allah datangkan, membuat saya sangat senang. Seperti saya lah orang paling bahagia di dunia saat itu. Itu keajaiban luar biasa yang tidak dinyana. Siapa yang bisa merubah jadwal manusia dengan begitu mudahnya, menjadikan ada les fisika dadakan. Siapa yang bisa menggerakkan hati ini untuk berhenti di masjid, dan menjadikan saya bersabar menunggu waktu solat tiba hingga masjid dibuka. Siapa yang bisa membuat jadwal pertama hari Senin hingga Rabu berubah karena keadaan. Hanya Allah, Allah saja yang bisa berbuat semacam itu.

Yang jelas, saya merasa sangat bahagia. Benar apa yang orang bilang, setelah kesusahan, pasti ada kemudahan, dan Allah tidak membebani hambanya dengan sesuatu yang tidak bisa dijangkaunya. Usaha saya sudah maksimal sampai saya berdarah-darah :D berlinang air mata (sangat malu sebenarnya), kemudian Allah melihat bahwa itu sudah di luar batas mampu saya, maka tangan Allah lah yang bergerak mengubah semua keadaan. :) Ada Allah... ada Allah...

Islam mengajarkan, agar kita mengembalikan segala permasalahan kepada Tuhan, yang Maha menentukan. Dan tidak memperpanjang perdebatan.

Menyanding rasa, dan logika, keduanya sangat indah dalam padu padan,
sangat menyenangkan dalam dekapan ukhuwah,
terlebih, ketika kita ingat bahwa Allah memperhatikan hamba Nya, tanpa luput...

3 comments:

Unknown mengatakan...

Yang sabar ya mbak..

Ihtisyamah mengatakan...

:D
saya ragu sama tulisan saya sendiri, kalo komennya "yang sabar ya mbak" jangan-jangan pesannya gag tersampaikan malah cerita sedihnya lebih nonjol gkgkgk #salahNulisIni

Unknown mengatakan...

Menurut saya memang terlihat seperti itu mbak, maaf ya. Mungkin saya selama baca gagal fokus, atau mungkin karna saya laki-laki hehe

Posting Komentar

 
Design by Wordpress Templates | Bloggerized by Free Blogger Templates | Web Hosting Comparisons