Sabtu, 24 Januari 2015

Aku Menjaga

Bismillahirrahmanirrahim,

Dulu, dulu sekali, saat masih usia SMP, pernah dapat marah dari Umi, "Umi lihat kemarin di sekolah kamu pegang-pegang temen laki-laki."

"Kapan Mi? Ihti gag pernah pegang-pegang temen cowok."

"Itu kemarin kamu neplek temenmu itu."

"Itu kan gag langsung ke kulit Mi, ada bajunya."

"Ya tetep aja..."

Sepanjang obrolan saya membantah apa yang disampaikan Umi, walaupun dalam hati saya sudah sepenuhnya mengalah, saya mengaku salah.

Dari apa yang disampaikan Umi sebenarnya saya mengerti apa maksudnya. Ingin menjaga saya dari hal-hal yang tidak seharusnya. Khalwat.

:::

Kemudian terjadi lagi,
Dengan kemasan masalah yang berbeda, di masa kuliah. Saya dan teman-teman saya berkunjung ke rumah dengan menggunakan satu mobil. Di dalam mobil ada teman perempuan dan teman laki-laki. Sepanjang perjalanan saya dag dig dug tidak keruan, takut, dan khawatir. Khawatir ini menjadi perkara yang tak ada habisnya. Saya hanya diam di dalam mobil, sepanjang perjalanan, tak banyak bicara, benar-benar hanya seperlunya. Saya takut sesampainya di rumah saya hanya akan kena marah.

Ternyata diluar dugaan awal, sesampainya di rumah, kedua orang tua saya menyambut saya dan teman-teman saya dengan sambutan yang luar biasa hangat. Sedangkan saya masih menjadi manusia setengah zombi, yang belum berani memperkenalkan teman-teman saya dengan lepas.

Itu pertama kalinya teman-teman dari Jogja berkunjung ke rumah. Mungkin orang tua saya ingin memberikan kesan terbaik.

Sepanjang saya berada di rumah, saya masih seperti zombi. Bergerak tenang tanpa ada banyak kata keluar dari mulut. Saya tidak tahu kalau-kalau ketika saya sedang di dapur tiba-tiba disidang oleh kedua orang tua saya, sedangkan teman-teman saya ada di ruang tamu, wallahualam.

Tapi ajaibnya, tidak ada kemarahan sama sekali, sampai kami pamit kembali ke Jogja.

Saya masih heran, tapi lega. Paling tidak saya bisa duduk bersandar, hilang ketegangan.

Ternyata oh ternyata.

Beberapa hari kemudian saya mendapat telefon, saya lihat kontak yang muncul, "Umi."

Rasanya tidak mungkin sekali Umi menelefon. Tidak pernah Ibu menelefon kalau tidak ada yang penting dan mendesak. Saya angkat telefonnya. Dan....

jadi masalah ternyata :)

Ketakutan saya selama perjalanan benar-benar terjadi. Umi mempermasalahkan kunjungan kami ke rumah. "Bisa-bisanya kamu satu mobil dengan laki-laki, perjalanan jauh seperti itu."

Saya bukan tipe orang yang suka menyelesaikan masalah lewat telefon. Saya katakan pada Ibu, bahwa saya akan pulang menunggu beberapa hari ke depan. Saya ingat sekali, waktu itu saya sedang ada di taman kampus. Sedang berada dengan teman-teman saya. Saya bilang saya akan jelaskan saat saya pulang.

Perjalanan pulang saya mempersiapkan kalimat terbaik. Saat sampai di rumah, sorenya damai tenteram tiada asap mengepul. Malam lewat jam sembilan, biasanya semua orang sudah tidur. Tapi Abah dan Umi belum. Saya berada di tengah antara mereka. Sidang dimulai. Berakhir pukul sekitar dua belas malam, dan Abah hanya diam.

Ya, saya salah.

Masih ada beberapa kasus lain yang menggambarkan betapa kedua orang tua saya sangat tak ingin "saya kenapa-kenapa".

_______________
Ya, aku menjaga.

Saya tahu kedua orang tua saya bukan orang yang overprotektif, mereka menjaga sesuai dengan apa yang diperintahkan. Saya anak perempuan, anak pertama pula. Bukan, bukan karena persaingan antar orang tua yang suka membangga-banggakan anak nya di depan orang tua lain. Tapi karena orang tua saya menginginkan yang terbaik untuk saya.

Islam melarang khalwat dan ikhtilat.

_______________
Ya, aku mengerti arti menjaga.

Belajar dari orang tua saya, yang sangat mengkhawatirkan saya, saya bertanya, kenapa saya sendiri tidak khwatir dengan diri saya sendiri?

_______________
Meski menjaga itu sulit.

Saat saya mengikuti kajian di DS, ustadhah bilang, "Bayar harganya, dapatkan barangnya."
Maksudnya adalah, ketika kita menginginkan sesuatu di masa depan, di masa mendatang, maka sudah selayaknya kita menabung dari sekarang untuk membayar harga yang pantas dibayarkan untuk sesuatu yang kita inginkan tersebut.

Jika ingin menjadi perempuan yang memiliki rahim yang nantinya melahirkan calon ulama, maka harus bayar harganya, cicil dari sekarang.

_______________
Menjaga diri sendiri, artinya menjaga jodoh, menjaga keturunan.

Apa yang saya lakukan di masa muda adalah tabungan untuk mendapatkan cita-cita saya di masa tua. Tidak, bukan saya. Tapi kita sebagai perempuan pasti punya cita-cita. Maka cita-cita yang akan kita dapatkan ke depan adalah hasil dari tabungan kita sekarang.

Lucu memang jika dikaitkan dengan jodoh. Menjaga diri sendiri sama dengan menjaga jodoh kita. Mungkin akan mudah diartikan apabila diceritakan menggunakan cerita teman saya di pondok. Ia dan teman sekamarnya punya kebiasaan tidur masing-masing. Karena merasa diri sendiri sulit untuk dibangunkan, maka ia berpesan ke teman kamarnya, "Kalau aku gag bangun-bangun bangunin pake cara ini ya..." Benar, suatu saat dipraktikkan. "Am, ayo bangun, kalo masih tidur terus, jangan-jangan sekarang jodohnya lagi tidur juga lho." Bukannya bangun ia malah senyum-senyum geli, dan akhirnya bangun.

Iya, ada benarnya ketika orang mengatakan, wanita yang baik untuk pria yang baik. Jika kita sebagai wanita hobi tidur (dalam artian tidak produktif) jangan-jangan kelak yang menjadi jodoh kita pun adalah orang yang tidak produktif. Pastinya bukan itu yang kita inginkan, maka tidak heran jika teman saya satu ini langsung bangun ketika dibangunkan dengan kalimat di atas. Lucu, tapi ada benarnya.

_____________
Maka aku (berusaha) terus menjaga.

Upaya kedua orang tua saya mengajari saya untuk menjaga diri sendiri sangat berharga bagi saya. Benar sekali rupanya, keyakinan bahwa menjaga hati di masa muda, menjaga indera dari hal-hal yang tak seharusnya, adalah upaya mendapatkan masa tua yang bahagia. Jika di awal dikatakan, kita punya ketakutan apabila kita tidur jangan-jangan jodoh kita juga sedang tidur, tidak beraktivitas produktif, maka kita seharusnya punya keyakinan yang sama, apabila kita menjaga, mungkin Allah mempersiapkan jodoh yang sama-sama menjaga. Begitupun dengan keturunan. Ibunda Imam Syafi'i adalah orang yang hebat, hingga bisa melahirkan Imam Syafi'i dan mendidiknya menjadi seorang ulama. Saya yakin, ibunda Imam Syafi'i ini memiliki masa muda yang luar biasa. Ia pasti menabung dengan sangat getolnya.

Jadi, :) kita sebagai perempuan memang sudah selayaknya menjaga diri dari pergaulan yang menjerumus ke khalwat dan ikhtilat. (terus berusaha menjaga).

0 comments:

Posting Komentar

 
Design by Wordpress Templates | Bloggerized by Free Blogger Templates | Web Hosting Comparisons